Mohon tunggu...
Karman Mustamin
Karman Mustamin Mohon Tunggu... profesional -

Achieved a certificate from Jim Russell Racing Drivers School (JRRDS) at Donington Park, in 1993 and held a single seated racing drivers licensed from Royal Automobile Club (RAC), UK.\r\nFounder Smart Driving Institute (SDI). SDI particularly motivating and learning to the road user how to come as a low risk drivers and also develop their driving behavior.\r\nFollow me on twitter: @karman_mustamin

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Ayrton Senna dan Saya, 18 Tahun Silam

1 Mei 2012   18:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:52 3742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanggal 1 Mei, 18 tahun silam, tepatnya 1 Mei 1994, sebuah tragedi di ajang olahraga otomotif terjadi. Ketika itu, pembalap flamboyan dan paling dielu-elukan di ajang Formula-1, Ayrton Senna, tewas di sirkuit Imola setelah kecelakaan di tikungan Tamburello. Bagi saya, peristiwa itu sulit untuk dilupakan. Pasalnya, tak hanya karena saya hadir di sirkuit Imola ketika peristiwa itu terjadi. Tapi juga, ada rangkaian pengalaman sebelum tragedi itu mengisi sederet pengalaman saya dengan Senna dan dunia Formula-1. Saya mengenal Ayrton Senna pertama kali di sirkuit Donington Park, Inggris pada tahun 1993. Saat itu, di bulan April digelar Grand Prix Eropa. Di tengah guyuran hujan, Senna yang membela tim McLaren terlibat pertarungan sengit dengan Alain Prost dari tim Williams. Saking sengitnya pertarungan yang diselingi dengan kesibukan pit crew untuk melakukan penggantian ban, almarhumah Lady Diana pun merasa perlu turun ke pit-lane untuk bertemu langsung dengan Senna usai penganugerahan trophy pemenang. Saya bisa bertatap muka langsung dengan Senna di motorhome McLaren, berkat bantuan Agnes Carlier yang sudah saya anggap sebagai ibu sendiri. Waktu itu, Agnes memangku jabatan penting di Philip Morris Eropa (EEC Region). Perusahaan yang memproduksi Marlboro ini, memang mensponsori hampir seluruh pembalap di F1 waktu itu. Terutama untuk tim McLaren dan Ferrari. Tapi, semua orang di F1 tahu, tak mudah menjalin hubungan akrab dengan Senna. Apalagi, dia sedang di puncak kariernya. Maka ketika banyak waktu selama berlangsungnya GP Europe itu saya habiskan di motorhome McLaren, saya malah lebih akrab dengan Mika Hakkinen. Maklum, Hakkinen ketika itu baru direkrut sebagai tester McLaren sehingga waktunya pun lebih banyak dihabiskan di motorhome selama balapan. Sesungguhnya, bukan hal itu yang menjadi inti dari cerita saya tentang Senna. Kembali ke tahun 1994, ketika itu saya bekerja di Tabloid Otomotif dan tengah bersiap menyusun rencana perjalanan liputan ke daratan Amerika. Jadwal yang saya susun, meliput balap NASCAR, lalu Indycar dan terakhir ke Vancouver untuk kembali menyaksikan balap F1 di GP Kanada. Semua korespondensi sudah rampung dengan pihak penyelenggara dan saya hanya perlu terbang ke Amerika Utara lalu mengambil ID Card di sekretariat masing-masing penyelenggara. Namun, di hari Sabtu, 23 April 1994, saya tiba-tiba mendapat selembar faksimili. Isinya, undangan dari Carraro Cicli yang akan meluncurkan sepeda gunung di kota Padova, Italia. Yang luar biasa, undangan itu ditandatangani langsung oleh Ayrton Senna. Intinya, mengharapkan kehadiran saya di Padova untuk menyaksikan peluncuran sepeda gunung yang diberi nama Senna. Jujur, saya menjadi amat bimbang. Di tahun 1994 itu, saya mulai jenuh menyaksikan pertarungan F1 dan ingin pengalaman baru. Yakni, melihat langsung balap Indycar dan NASCAR yang sangat popular di Amerika Serikat. Juga, ingin melihat pusat industry mobil Amerika di Detroit. Saya pun berkonsultasi dengan Agus Langgeng, pemimpin redaksi Tabloid Otomotif ketika itu. Jawaban yang saya terima; “Lebih baik ke Padova. Mana ada orang Indonesia yang diundang langsung secara pribadi oleh Ayrton Senna?” kata Agus. Betul juga. Ini sebuah kehormatan yang tak boleh disia-siakan. Singkat cerita, Senin, 25 April 1994 malam, saya sudah berada di perut pesawat Lufthansa untuk menjalani penerbangan ke Frankfurt dan selanjutnya menuju Bologna di Italia. Pagi hari sebelumnya, saya tak lupa mengirim faksimili kepada Agnes. Intinya, berharap Agnes bisa menyiapkan ID Card untuk liputan F1 San Marino yang digelar di sirkuit Imola pada 1 Mai 1994. Hal lain, lagi-lagi minta bantuan Agnes untuk pemesanan hotel. Saya tahu, ini permintaan yang sulit karena penerbitan ID Card Formula 1 ketika itu mestinya dimintakan minimal dua minggu sebelum penyelenggaraan event. Kamar hotel? Sama sulitnya. Imola bukanlah kota besar. Yang paling memungkinkan adalah menginap di Bologna. Meskipun sebelumnya, di tahun 1993, saya bisa mendapatkan akomodasi hotel di sebuah kota kecil bernama Riolo Terme. Kota ini, banyak menjadi pilihan para wartawan F1. Selain berada di pegunungan yang tenang, kota ini paling dekat dengan sirkuit Imola. Tapi sekali lagi, Agnes bukanlah orang biasa di lingkungan F1. Saya yakin itu. Berbagai pengalaman dengan dia membuktikannya. Suatu ketika, di Italia, saya ingin bertemu dengan pembalap touring car yang juga mantan pembalap F1, Emanuelle Pirro. Alasannya, Pirro bersama Steve Soper berencana mengadakan ekshibisi di sirkuit Sentul atas undangan BMW Indonesia. Agnes pun mengundang Pirro di sebuah jamuan makan malam bersama wartawan paling senior di F1, almarhum Gerard ‘Jabby’ Crombac. Di kesempatan lain, di sirkuit Imola tahun 1993, Agnes tahu persis saya sebagai muslim tentu haram menyantap babi. Maka dalam sebuah jamuan makan malam di hari Sabtu menjelang GP esok harinya, Agnes sengaja meminta panitia menyediakan menu khusus dengan lauk ayam. Juga di saat saya berkunjung ke markas McLaren di Woking Surrey, Inggris, Agnes sudah berpesan agar saya dijamu dengan nasi. Selasa sore, dengan menumpang kereta api dari Bologna untuk kemudian menyambung menggunakan bus – satu-satunya sarana transportasi umum ke Riolo Terme - saya tiba di kota kecil itu. Saya langsung menuju sebuah hotel kecil bernama Hotel Senio, tempat saya menginap tahun sebelumnya. Saya tahu persis, Agnes pasti akan meninggalkan pesan di hotel itu.

13358954651303194381
13358954651303194381
Benar saja, Di saat melakukan check-in, petugas front office langsung menyerahkan surat konfirmasi untuk pengambilan ID Card. Bukan itu saja…, ternyata masih tersedia kamar untuk saya. “Ini kamar khusus,” kata petugas hotel. Sungguh, saya tidak mengerti maksud sang petugas ketika itu. Tapi ketika diantar untuk masuk kamar, saya baru tahu. Kamar yang diperuntukkan buat saya, ternyata selama ini dihuni oleh sang pemilik hotel. Betul-betul sangat istimewa dan private. Rabu pagi, saya bergegas kembali ke Bologna dan membeli tiket kereta api ke Padova. Saya tiba di kota yang terkenal sebagai kota sepeda di Italia itu masih siang hari. Sisa waktu, saya manfaatkan berkeliling untuk melihat berbagai objek menarik, termasuk ke Universitas Padova yang merupakan universitas tertua kedua di Italia. Kamis, 28 April 1994, pagi hari setelah sarapan, dengan menumpang taksi saya menuju Hotel Sheraton Padova, tempat acara peluncuran Senna Carraro Cicli. Tidak lama berselang, Senna pun hadir dengan menumpang helicopter dari Castel San Pietro, sebuah resort yang terletak sekitar 10 km dari Imola, tempat yang selalu dipilih Senna setiap GP Imola. Acara peluncuran tidak berlangsung lama. Setelah pemilik Carraco Cicli, Giovanni Carraro menjelaskan detil sepeda gunung yang akan diproduksinya serta alasan memilih nama Senna, sepatah dua kata pun disampaikan Ayrton Senna. Di kesempatan itu, saya berusaha meminta komentar Senna tentang ancaman yang mulai diperlihatkan Michael Schumacher terhadap dominasi Williams yang tahun itu dibela Senna. Schumacher sendiri, bernaung di bawah tim Benetton. Namun, jadwal yang sangat ketat tidak memungkinkan untuk itu. Senna hanya berpesan, mudah-mudahan dia ada waktu di sirkuit Imola. Saya pun maklum. Usai acara di Sheraton, saya pun kembali ke Bologna dan seterusnya menuju Riolo Terme. Jumat, 29 April 1994, saya ke sirkuit menumpang mobil yang disewa Gerard ‘Jabby’ Crombac. Sepanjang jalan, lelaki yang selalu menghisap tembakau cangklong ini bercerita tentang pengalamannya di motorsport yang ditekuni sejak tahun 1948. Tiba di sirkuit, saya bertemu dengan Richard Kock, wartawan asal Belgia. Richard ternyata belum berhasil mendapatkan kamar hotel. Saya pun mengajaknya untuk bergabung di kamar saya saja di Riolo Terme. Richard ternyata menempuh perjalanan dari Belgia melalui darat dengan mobil kesayangannya, Mazda5. Walhasil, simbiosis mutualis pun tercipta. Richard mendapatkan hotel dan saya dapat tumpangan hingga hari Minggu dari hotel ke sirkuit yang berjarak sekitar 18 km. Hari Jumat itu, sebenarnya gejala tentang akibat dari regulasi F1 mulai tampak. Malam sebelumnya, di saat santap malam, saya sempat berdiskusi dengan Gerard ‘Jabby’ Crombac tentang gagasan otoritas di F1 untuk mengubah regulasi dengan menurunkan kapasitas mesin mobil F1 menjadi 2.500 cc saja. Tapi itu baru rencana. Dan pada hari Jumat, sebuah kecelakaan sudah menimpa Rubens Barrichello. Tenaga mobil Jordan yang dikemudikan tidak bisa dikuasai dan terbang menerjang pagar pembatas sirkuit. Lengan Barrichello pun keseleo dan terpaksa digips. Sabtu, 30 April 1994, tragedy maut pun mulai menghampiri dunia balap F1. Dalam latihan resmi pagi hari jelang kualifikasi, Roland Ratzenberger mengalami kecelakaan di tikungan Villeneuve. Nyawa pembalap Jerman yang merupakan sahabat dekat Schumacher itu pun tak bisa diselematkan. Minggu, 1 Mei 1994, cuaca di atas sirkuit Imola cerah. Hingga balapan dimulai, matahari bersinar terang. Sepertinya, semua akan berjalan lancer. Peristiwa yang menimpa Ratzenberger sudah mulai terlupakan.
13358955091523370069
13358955091523370069
Hingga kemudian, tragedy memilukan itu pun terjadi. Ayrton senna tengah memimpin saat melintas di trek depan pit. Schumacher membuntuti. Sambil memandang dari ruang kacar di media centre, saya menyaksikan para penonton mengelukan para jagoan masing-masing. Dukungan terhadap Schumacher cukup mencolok dengan banyaknya kibaran bendera Jerman di tribun. Namun, tidak berapa lama kemudian, suasana di ruang media centre tiba-tiba hening. Layar monitor menunjukkan, bagaimana mobil Williams yang dikemudikan Senna, bergerak lurus kea rah dinding pembatas sirkuit ketika melintas di tikungan Tamburello. Tim medis berlarian. Kain penutup dibentangkan. Dokter Sid Watkins tampak sibuk. Beberapa detik berselang, sirine ambulans meraung-raung. Menit-menit berikutnya, tidak ada penelasan resmi tentang apa yang terjadi. Hanya suara raungan mesin helicopter yang tinggal landas disusul informasi bahwa Senna terluka parah dan diterbangkan ke rumah sakit di Bologna. Saya sudah check out dari Hotel Senio di Riolo Terme dan Richard bersedia mengantarkan saya ke Bologna sebelum melanjutkan perjalanan kembali ke Belgia. Hingga saya masuk ke salah satu hotel Albergo Centrale di Bologna, saya belum tahu apa sesungguhnya yang terjadi dengan Senna. Malam itu, kota Bologna agak sepi. Maklum, ada peringatan hari Buruh. Dan berkaitan dengan itu, kabarnya tak aka nada Koran yang terbit. Karena kelelahan, saya pun tertidur. Namun, beberapa jam kemudian, suara di televisi yang lupa dimatikan, membangunkan saya. Di layar, tampil gambar-gambar Senna dengan slow motion. Saya pindah ke beberapa channel. Tapi, semua menayangkan hal sama; tentang Senna. Saya lantas tersadar, Ayrton Senna tewas akibat kecelakaan siang tadi. Senna telah tiada. Saling sapa saya dengannya, ternyata yang terakhir di hotel Sheraton Padova itu. Karena di sirkuit Imola, Senna nyaris tidak pernah terlihat santai. Selentingan kabar, dia tidak puas dengan performa mobil Williams yang dikemudikannya. Dan seperti biasa, dalam kondisi Senna tidak mood, tidak seorang pun yang akan berani mengusiknya. Termasuk Ron Dennis sewaktu dia masih di tim McLaren. Saya termangu sendiri di dalam kamar hotel. Lama, sampai kemudian kantuk membawa saya kembali terlelap. Dan hingga 1 Mei 2012 ini, setelah tragedy itu berlalu 18 tahun silam, memori tentang Ayrton Senna tetap saja melekat. Bagi saya, dia tak sekadar seorang kampiun. Lebih dari itu, Senna mewakili sosok atlet balap yang berhasil menautkan teknologi konvensional dengan modern untuk meraih kemenangan demi kemenangan. Senna, bagi saya adalah legenda.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun