Malang - Indonesia, sebuah negara yang dikenal dengan keaneka-ragaman suku, agama, ras, budaya, dan masyarakatnya ini merupakan salah satu negara kesatuan yang menganut sistem pemerintahan Presidensial dengan bentuk pemerintahan Demokrasi. Namun, sungguh disayangkan jika proses pemilu yang menjadi sebuah pesta demokrasi rakyat dalam menentukan para wakil mereka justru berubah menjadi sebuah ajang kekerasan dan kerusuhan sebagai penyalur atas kekecewaan aspirasi dan keinginan-keinginan yang tidak dapat diwujudkan. Seringkali kita dengar bahwa pemilihan umum atau pemilu kerap berakhir dengan konflik, khususnya pemilukada di daerah-daerah. Kerusuhan yang terjadi pada proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ini menjadi salah satu isu panas yang sering menjadi bahan perbincangan dalam masyarakat. Maraknya kerusuhan dan konflik dalam Pilkada akhir-akhir ini mengindikasikan bahwa belum adanya kesiapan pelaksanaan yang matang baik dari segi sistem, regulasi, peserta, penyelenggara dan pengawasannya.
Pilkada yang berlangsung sejak tahun 2005 sampai saat ini sering kali dibarengi dengan konflik-konflik. Seperti pada periode 2010 dimana dilaksanakan 244 Pilkada gubernur, bupati dan walikota. Pemilukada yang baru berjalan dua bulan ini sudah menuai banyak persoalan dengan banyak ditemukannya ribuan pelangggaran dan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (www.dpd.go.id, 2010). Bahkan, pelanggaran yang terjadi ada yang berujung dengan kerusuhan. Salah satunya ialah yang terjadi di Mojokerto, Jawa Timur pada tahun 2010. Kerusuhan terjadi lantaran massa calon bupati/wakil bupati tidak terima cabup/wacabup yang mereka unggulkan tidak dapat maju ke tahap selanjutnya. Mereka menuding KPUD telah berlaku tak adil. Banyak kecurangan yang dilakukan oleh komisi dalam pelaksanaan pilkada kali ini. Mereka pun menuduh pemilihan bupati sarat dengan rekayasa. Kerusuhan ini mengakibatkan 10 buah mobil dinas terbakar dan 15 buah mobil dinas lainnya rusak berat. Selain itu, terdapat delapan mobil pribadi, dua di antaranya turut terbakar. Kerugian ditaksir mencapai mencapai hampir Rp 2 milyar dan sebanyak 13 orang jadi tersangka (Suteja, 2012). Â
Dari sudut pandang Psikologi, terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan tentang sebuah perilaku, dalam hal ini adalah fenomena mengenai kerusuhan yang terjadi dalam Pilkada. Munculnya perilaku simpatisan dalam dunia politik ini dapat dijelaskan dengan menggunakan teori interdependensi. Menurut teori interdependensi atau yang disebut dengan teori ketergantungan, Interdependensi terjadi ketika dua atau lebih orang saling memengaruhi perasaan, pikiran dan perilaku satu sama lain. (Taylor dkk, 2009). Ketika dua orang saling memengaruhi pemikiran, perasaan, atau perilaku masing-masing, mereka dikatakan saling terhubung (interdependen). Dalam hal ini, pemikiran, perasaan dan perilaku dari si calon bupati/calon wakil bupati akan mempengaruhi pemikiran, perasaan dan perilaku dari para simpatisan mereka dalam bentuk sebuah dukungan. Begitu pula sebaliknya, pemikiran, perasaan dan perilaku dari para simpatisan akan mempengaruhi pemikiran, perasaan, dan perilaku cabup/cawabup. Contoh utama dari pendekatan interdependensi ini adalah social exchange theory atau teori pertukaran sosial. Teori ini menganalisis interaksi sosial dari segi hasil (keuntungan minus kerugian) yang dipertukarkan masing-masing individu. Saat cabup/cawabup memberikan kebutuhan yang dibutuhkan simpatisan, maka cabup/wacabup tersebut akan memperoleh dukungan dari para simpatisan mereka yang notabene menjadi kebutuhan dari cabup/cawabup tersebut. Kebutuhan yang diberikan dapat berupa kebutuhan fisiologis, rasa aman, ataupun kekuasaan karena nantinya jika cabup/cawabup yang mereka dukung lolos mejadi bupati/wakil bupati, makan para simpatisan akan mendapatkan apa yang menjadi kebutuhan mereka tersebut. Begitu pula sebaliknya, dalam melakukan sebuah dukungan terhadap cabup/cawabup yang akan mereka dukung, mereka juga akan memperhitungkan dari segi hasil yang mereka terima. Para simpatisan juga tidak mungkin akan mau mendukung jika mereka tidak mendapatkan apa yang menjadi kebutuhan dan hal itu menjadi motivasi mereka.
Selanjutnya, Teori Motivasi dapat digunakan untuk menjelaskan munculnya perilaku agresi yang dilakukan oleh para simpatisan tersebut. Ketika apa yang menjadi kebutuhan simpatisan tidak dapat terpenuhi dengan tidak terpilihnya cagub/wacagub yang mereka unggulkan, maka akan mendorong munculnya rasa frustasi di dalam diri simpatisan yang menjadi salah satu sumber terjadinya perilaku agresi para simpatisan yang berujung pada kerusuhan. Frustasi berasal dari terhambatnya, atau dicegahnya upaya untuk mencapai tujuan (Taylor, 2009).
Sumber :
DPD RI. 2010. Kerusuhan Pemilukada Akibat Sistem Pemilukada Kurang Terintegrasi.
Diperoleh dari http://www.dpd.go.id/artikel-kerusuhan-pemilukada-akibat-sistem-pemilukada-kurang-terintegrasi
Suteja, Amar. 20102. Kekerasan dalam Demokrasi Analisa Kasus Pemilukada Mojokerto Persepektif Psikologi Komunikasi. Diperoleh dari http://amarsuteja.blogspot.co.id/2012/10/kekerasan-dalam-demokrasi-analisa-kasus.html
Taylor, E.Shelley, dkk. 2009. Psikologi Sosial Edisi Kedua Belas. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H