Mohon tunggu...
Kariza Putri Junaidi
Kariza Putri Junaidi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Peranan dan Inklusivitas Gender dalam Upaya Peacebuilding: Studi Kasus Konflik Gerakan Aceh Merdeka

17 Mei 2024   17:05 Diperbarui: 17 Mei 2024   17:06 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

      Hubungan Internasional kerap kali diidentikkan dengan upaya penciptaan perdamaian serta keamanan bagi seluruh entitas internasional. Tindakan perang, upaya resolusi konflik, diplomasi, dan lain sebagainya kerap kali dianggap sebagai ranah yang hanya bisa dilakukan oleh laki-laki. Sebaliknya, peranan perempuan kerap kali terkubur dalam selimut tebal patriarki. Superioritas laki-laki dalam pembahasan mengenai agenda perdamaian ini menimbulkan kondisi tumpang tindih terkait dengan kesempatan yang dimiliki oleh perempuan dalam berkontribusi pada agenda perdamaian dan keamanan. Faktanya, tak jarang peranan perempuan hanya digambarkan sebagai sebuah ‘omong kosong’ belaka. Fenomena ini kemudian bisa dikaji melalui kacamata gender dalam agenda perdamaian dan keamanan. Dalam tulisan ini, penulis berusaha menjabarkan peranan gender dalam agenda perdamaian dan keamanan dengan mengacu kepada studi kasus yang menunjukkan bagaimana peranan perempuan dalam konflik Gerakan Aceh Merdeka mampu menjadi bukti belum terwujudnya inklusivitas gender dalam pertahanan dan keamanan. 

      Pembahasan mengenai perang dan damai kerap kali berakar dari pemikiran yang berbasis pada gender. Asumsi dasar yang kemudian kerap kali muncul ke permukaan ialah laki-laki yang membuat perang sedangkan perempuan yang akan membuat perdamaian (Guhathakurta 2001). Peranan perempuan dalam agenda perdamaian dan keamanan kerap kali terkubur oleh banyaknya image yang melekat bahwa perempuan dianggap lebih lemah dibandingkan laki-laki. Fukuyama (1998) kemudian menganalogikan fenomena ini dengan menggunakan simpanse, dimana meskipun simpanse betina bisa memiliki kemampuan untuk menyerang, bersikap agresif dan kompetitif, namun tidak bisa dihindari bahwa simpane jantan jauh lebih mampu menciptakan kekerasan yang lebih buruk. Tesis yang disampaikan oleh Fukuyama ini justru memperlihatkan bahwa perempuan yang cenderung lebih peaceful mendorong mereka tidak akan pernah mau dan mampu untuk terlibat dalam konflik. Argumen yang seperti ini yang kemudian semakin menutup kesempatan perempuan untuk dapat berkontribusi dalam agenda perdamaian dan keamanan. Faktanya, sedikit objektifitas yang ada dalam upaya melindungi perempuan dan ketika perempuan bersuara, biasanya mereka jarang dianggap. 

      Perempuan kerap kali mendapatkan lebih banyak dampak buruk dari kehadiran perang. Lebih dari sekedar pembunuhan dan kekerasan, perempuan juga masih harus dihadapkan dengan dampak dari post-war yaitu berupa trauma. Perempuan harus menghadapi kenyataan bahwa dalam kondisi perang sekalipun, mereka masih kerap kali direpresi, diperkosa, diperbudak, dan tindakan keji lainnya. Faktanya, dalam kondisi perang, perempuan lebih banyak mendapatkan tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dibandingkan kaum laki-laki (Guhathakurta 2001). Hal ini terjadi karena adanya asumsi bahwa perempuan dianggap lebih lemah dan lebih cocok berperan sebagai ‘pemuas’ dalam kehidupan sosial. Stigma akan lemahnya perempuan dalam agenda perdamaian dan keamanan coba untuk dihapuskan seiring dengan munculnya perspektif Feminimisme dalam Hubungan Internasional. Kemunculan perspektif ini menjadikan konsep keamaman negara bergeser menjadi keamanan manusia (Hudson 2005). Feminisme mendorong pemahaman akan pentingnya peranan perempuan dalam agenda perdamaian dan keamanan. Seperti yang ditegaskan oleh Charleswoth (2008) bahwa perempuan memiliki hak yang sama untuk dapat berpartisipasi dalam perdamaian dan keamanan internasional. Feminisme mendorong munculnya mekanisme yang mulai mengatur keterlibatan perempuan dalam konflik, salah satunya ialah United Nation Security Council Resolution 1325. 

      Peranan perempuan dalam konflik mulai semakin bermunculan seperti halnya yang terjadi dalam Gerakan Aceh Merdeka yang terjadi di Aceh, Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara yang menyetujui Convention on Elimination all Form Discrimination Against Women (CEDAW) sejak tahun 1948. Hal ini merupakan salah satu komitmennya untuk menciptakan adanya kesetaraan gender dalam kehidupan sosial dan praktik pemerintahan. Jauh sebelum adanya konflik Gerakan Aceh Merdeka, perempuan Aceh sudah berdiri tegak dalam berupaya melawan kolonialisme di wilayah mereka. Di masa kepemimpinan Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Mukammil, perempuan Aceh dilibatkan dalam proses pertahanan, yang ditunjukkan dengan terbentuknya Inong Balee (Ocktaviana dan Suraiya 2021). Konflik Gerakan Aceh Merdeka diwarnai dengan adanya pemerkosaan, kekerasan seksual, represi terhadap perempuan dan tindakan keji lainnya. Hal ini tentunya memberikan dampak negatif bagi perempuan, dimana perempuan harus mengalami adanya penindasan, kekerasan, hingga marjinalisasi. Kehadiran konflik ini namun disatu sisi juga memberikan perubahan signifikan terhadap sejarah perjuangan perempuan. Perempuan mewakili sekitar sepertiga keanggotaan GAM (Inong Balee), dimana banyak dari perempuan Aceh berusaha untuk belajar menggunakan senjata, strategi berperang, dan negosiasi. Dalam praktiknya, Inong Balee tetap saja menjadi sasaran korban konflik dan kerap kali tidak tersorot bahkan tidak mendapat ruang untuk didengar dalam proses negosiasi perdamaian di Aceh (Nurzahra et.al 2021). 

Dari tulisan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa selimut tebal patriarki masih belum bisa dihapuskan dari upaya penciptaan perdamaian dan keamanan. Adanya stigma-stigma negatif yang memberikan framing tentang bagaimana perempuan dan laki-laki berperan dalam proses penciptaan perdamaian, di satu sisi justru semakin memperburuk posisi perempuan. Dalam konflik yang terjadi di Aceh, sepertiga keanggotaan Gerakan Aceh Merdeka memang diisi oleh perempuan tangguh di Aceh (Inong Balee). Sayangnya, dalam praktinya Inong Balee tetap mendapatkan perlakuan represi selama konflik dan tidak mendapat kesempatan untuk ‘didengar’ dalam proses negosiasi konflik Aceh. 

Referensi: 

Charlesworth, Hilary, 2008. “Are Women Peaceful? Reflections on the Role of Women in Peace-Building”, Fem Leg Stud, 16: 347 – 361. 

Fukuyama, Francis, 1998. “Women and the Evolution of World Politics”, Foreign Affairs, 77 (5): 24 – 40. 

Guhathakurta, Meghna, t.t. “Women in Peace-Building”.

Hudson, H., 2005. “Doing Security as Though Humans Matter: A Feminist Perspective on Gender and the Politics of Human Security”, Security Dialogue, 36 (2): 155-174. 

Nurzahra, Tasya Adi, et.al., 2021. “Peran Perempuan Sebagai Agen Perdamaian Pascakonflik Aceh (Studi Kasus Liga Inong Aceh pada Reintegrasi Inong Balee Pascakonflik di Aceh Tahun 2005), Jurnal Damai dan Resolusi Konflik, 7 (2): 206 – 231. 

Ocktaviana, Sentiela, and Suraiya Kamaruzzaman, 2021. “Women, Peace, and Security Agenda in Aceh, Indonesia”, Jurnal Masyarakat dan Budaya, 23 (2): 127-140. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun