Gerakan zero waste yang digagas civil society menjadi contoh nyata gebrakan ramah lingkungan. Gerakan ini mendorong perubahan gaya hidup, menghindari penggunaan barang sekali pakai, dan pengelolaan sampah organik melalui pengomposan. Konsep 3R dapat menjadi pegangan utama untuk permasalahan sampah.Â
Reduce berarti mengurangi konsumsi barang yang berpotensi menjadi sampah. Hal ini bisa dilakukan dengan cara berbelanja secukupnya, menghindari penggunaan barang sekali pakai, dan memilih produk dengan kemasan minimal. Reuse bermakna menggunakan Kembali barang yang bisa dipakai.Â
Tas kain bisa menjadi alternatif tas plastik, wadah bekas bisa digunakan untuk menyimpan barang lain, dan pakaian lama bisa didonasikan atau didaur ulang menjadi barang baru. Recycle berarti mendaur ulang sampah menjadi barang baru. Botol plastik bekas bisa diubah menjadi pakaian polyester, kertas bekas menjadi produk kertas baru, dan sampah organik bisa menjadi kompos untuk menyuburkan tanaman.Â
Selain 3R, ada konsep lain yang bisa diterapkan, yaitu refuse (menolak) dan rot (mengomposkan). Refuse berarti menolak penggunaan barang yang tidak dibutuhkan, seperti menolak kantong plastik kresek yang ditawarkan di kasir. Sedangkan rot berarti mengolah sampah organik menjadi kompos yang bermanfaat untuk menyuburkan tanaman.
Selain mengubah kebiasaan individu, Gerakan civil society juga dapat mendorong perubahan sistemik. Civil society mendesak pemerintah untuk memperkuat peraturan pembatasan plastik.Â
Mendukung program daur ulang, dan meningkatkan akses masyarakat terhadap fasilitas pengelolaan sampah yang memadai. Namun, perjalanan civil society tak lepas dari rintangan. Keterbatasan dana, minimnya akses media, dan pihak-pihak yang dirugikan oleh perubahan kebijakan menjadi hambatan yang harus dihadapi.
Dari sinilah kolaborasi menjadi kunci. Civil society perlu membangun hubungan dengan pemerintah, sektor swasta, dan akademisi. Kolaborasi ini memungkinkan untuk saling memperkuat dan memperluas jangkauan gerakan.Â
Pemerintah dapat mendukung civil society dengan menyediakan dana, mempermudah perizinan, dan melibatkan mereka dalam penyusunan kebijakan. Sektor swasta dapat berpartisipasi dengan mengembangkan produk ramah lingkungan, menerapkan sistem "refill" (isi ulang), dan mengurangi penggunaan kemasan sekali pakai.
Akademisi dapat berkontribusi melalui penelitian tentang inovasi pengelolaan sampah dan teknologi daur ulang yang lebih efisien. Dengan kolaborasi ini, civil society dapat menjadi kekuatan pendorong yang efektif. Mereka dapat menjadi sarana untuk perubahan perilaku individual maupun kebijakan publik.
Sampah bukan hanya bukti ketidakpedulian, tetapi juga cerminan kerumitan hubungan manusia dengan lingkungan. Civil society, dengan kolaborasi dan strategi yang tepat, dapat menjadi kekuatan pendorong untuk mengubah paradigma pengelolaan sampah dan membangun masa depan yang lebih lestari bagi bumi. Perjalanan ini tak akan mudah, namun dengan tekad dan semangat bersama kita dapat mentransformasi tumpukan sampah menjadi peluang untuk membangun masyarakat yang bertanggung jawab dan ramah lingkungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H