Dunia terasa semakin sempit, bukan karena overpopulasi, tapi karena sempitnya ruang untuk simpati dan empati. Kita dibanjiri informasi, gambar-gambar menyayat hati berseliweran di feed media sosial kita. Bencana alam, konflik bersenjata, kemiskinan ekstrem, semuanya hanya satu swipe jauhnya. Tapi, apakah kita benar-benar merasakannya? Atau hanya sekadar like, lalu scroll lagi?
Simpati: Air Mata Buaya di Era Digital
Simpati adalah rasa iba atau turut prihatin terhadap penderitaan orang lain. Di jaman sekarang, simpati seringkali hanya sebatas ekspresi di media sosial. Kita mungkin merasa iba melihat berita tentang anak-anak yang kelaparan, tapi kita jarang mengambil tindakan nyata. Kita share berita tersebut, menambahkan emot sedih, lalu... lupa. Simpati yang dangkal, seperti air mata buaya yang mengering begitu cepat.
Empati: Memahami Rasa Sakit Orang Lain
Empati adalah kemampuan untuk merasakan apa yang orang lain rasakan. Ini lebih dari sekadar simpati. Ini tentang menempatkan diri kita di posisi orang lain, memahami perasaan dan pengalaman mereka. Di era informasi yang berlimpah, empati justru terasa semakin langka. Kita terlalu sibuk dengan kehidupan kita sendiri, terlalu terpaku pada feed media sosial, sampai lupa untuk melihat ke sekitar kita. Kita lebih mudah tergerak oleh kisah-kisah yang dramatis di internet daripada masalah nyata di lingkungan kita sendiri.
Mengapa Hal Ini Terjadi?
Ada beberapa faktor yang menyebabkan simpati dan empati kita seolah-olah memudar. Pertama, overload informasi. Kita dibombardir dengan begitu banyak berita dan informasi setiap harinya, sampai kita menjadi kebal terhadap penderitaan orang lain. Kedua, dehumanisasi. Interaksi kita semakin banyak dilakukan secara virtual, membuat kita kehilangan kontak manusia secara langsung. Ketiga, efek filter bubble. Algoritma media sosial cenderung menunjukkan informasi yang sesuai dengan preferensi kita, membuat kita terjebak dalam gelembung informasi dan kehilangan perspektif yang lebih luas.
Apakah Ada Harapan?
Tentu saja ada. Kita bisa mulai dengan mengurangi konsumsi informasi yang berlebihan, dan lebih fokus pada interaksi manusia secara langsung. Kita bisa terlibat dalam kegiatan sosial dan kemanusiaan, baik secara online maupun offline. Kita bisa melatih diri untuk lebih peka terhadap perasaan orang lain, dan berusaha untuk memahami perspektif mereka. Kita bisa berlatih empati dengan membaca buku, menonton film, atau terlibat dalam diskusi yang membahas isu-isu sosial.
Singkatnya, simpati dan empati bukanlah sekadar kata-kata. Ini adalah tindakan. Ini adalah tanggung jawab kita sebagai manusia. Jangan sampai kita hanya menjadi penonton pasif di panggung kehidupan, tanpa pernah benar-benar merasakan apa yang terjadi di sekitar kita. Mari kita bangkitkan kembali simpati dan empati kita, sebelum semuanya benar-benar hilang ditelan arus informasi yang deras.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI