Hmmm, berpisah 4 hari saja, saya sudah rindu berat. 4 hari ini saya harus merelakan kepergian cellphone jadul saya, SE W200i untuk direparasi.
Cellphone, hihi, saya memang lebih suka istilah ini daripada handphone. Aih, saya jadi ingat, pertama kali saya punya cellphone jadul ini di akhir tahun 2008.
Kecil,biru,dan terasa handy sekali di tangan saya dibandingkan Nokia 3530 warisan turun temurun. Yupz, Nokia 3530 ini awalnya milik ayah saya. Termasuk keren dan popular di jamannya. Sebelum jatuh ke tangan saya, Nokia ini diwariskan terlebih dulu ke tangan kakak saya. Nokia inipun akhirnya saya miliki setelah cellphone saya, Siemens (lupa seri yang mana) hilang, dicuri di pesta ulang tahun teman. Dicuri?? Iya
Sedikit mengenang, kejadiannya semasa SMA. Teman sekelas mengadakan pesta di salah satu hotel di kota saya. Saat ikut salah satu games, saya titipkan tas saya ke salah seorang teman. Eh ternyata dia lupa, dan meninggalkan tas saya di luar, di teras balkon. Jadilah sebelum pulang, saya panik mencari tas saya itu. Dan jreng…jreng saya temukan tas saya di salah satu sudut teras, dan dalam kondisi terbuka. Weits Siemens saya sudah raib, dompet juga kosong. Haha kalau dompet memang sedang tidak berisi, paling kalau ada isinya hanya beberapa lembar ribuan. Yang bikin miris, saya sempat berucap .....
“ Tuhan, saya mau ganti cellphone, moga nanti dapat doorprize utamanya ya.....”
Yupz, doorprize ulangtahun teman saya ini adalah sebuah cellphone. Memang doa saya terkabul, ganti cellphone, tapi cellphone warisan. Hahaha.
Kembali ke SE W200i, gadget ini adalah cellphone paling modern yang pernah saya miliki -sejauh ini- . Namun toh, bagi jaman ini, SE W200i sudah usang, tergerus kemutakhiran teknologi.
Di era blackberry ataupun dunia layar sentuh seperti sekarang ini, saya masih tetap saja bertahan dengan kejadulan cellphone ini. Jangankan WiFi, Bluetooth saja tidak ada. Hahaha,yaa,hanya ada infra red di cell phone jadul saya. Maka jadilah saya bahan tertawaan teman-teman, karena ....“hapenya ndak canggih,” “haree gini infra red….” Hahahaha saya pun ikut tertawa. Bergantian, teman-teman saya punya cellphone baru, yang lebih canggih dari sebelumnya, mulai dari QWERTY-QWERTY an sampai BB betulan, dan saya sebetulnya kadang ingin ikut-ikutan,hahaha.
Memang, dibandingkan cellphone teman-teman saya, cellphone saya termasuk kategori jadul. Karena kantong saya terbatas, saya tidak bisa bebas ikut-ikutan tren gadget. Karena itu saya harus benar-benar memaksimalkan manfaat dari cellphone jadul saya ini. Jadul adalah persepsi orang ketika sesuatu dibandingkan dengan sesuatu yang lebih modern. Sesuatu yang jadul dianggap terbatas. Memang SE W200 saya ini terbatas, namun sampai sejauh ini, kebutuhan komunikasi saya dapat terpenuhi dengan baik oleh si jadul SE W200. Selain phone dan texting, kebutuhan berinternet dipenuhi dengan sangat baik. Meskipun hanya sinyal GPRS, koneksinya cukup cepat.Dulu sebelum punya modem sendiri, daripada harus repot-repot ke warnet, saya sering kirim tugas lewat email via SE W200i, dan berhasil. Kebanyakan teman saya jarang melakukannya. Di benak saya, SE W200i ini adalah smartphone versi saya. Saya bolak-balik blogwalking untuk mencari postingan tentang konfigurasi setting push email di SE W200. Saya bersorak girang, ketika cellphone jadul saya, untuk pertama kalinya sukses ber-push email. Benar-benar serasa memiliki smartphone. Saya cari aplikasi mengetik yang bisa berjalan di platform cellphone saya.Aplikasi mengetik yang hasil ketikannya bisa saya transfer ke PC. Aplikasi ini memperkuat imajinasi absurd saya, bahwa saya punya smartphone versi saya. Modul kuliah dalam bentuk PDF pun bisa saya baca lewat cellphone jadul saya ini. Ketika harus melakukan dubbing suara untuk tugas kuliah, dan tidak punya microphone, recorder dari SE W200 adalah alternatif yang cukup mumpuni.
Saya percaya, cellphone bisa terlihat keren jika didukung aplikasi yang kece. Prinsip saya yang lain, sesuatu yang minimal harus bisa dimaksimalkan. Ketika kedua prinsip ini bertemu dalam media penerapan sebuah cell phone, jadilah cellphone minimal yang bisa maksimal dengan bantuan berbagai aplikasi di dalamnya. Namun yang saya lupakan adalah, setiap hal ada batasnya. Bahkan pantai pun memiliki garis tepinya. Dan inilah saat yang naas itu. Di suatu sore yang tragis, dengan semangat 45, saya mencoba menginstal aplikasi baru. Eng…ing…eng….proses install berjalan lama sekali, saking tidak sabarnya saya berusaha membatalkan proses install, tombol tidak berfungsi. Saya tekan tombol Off, tidak berfungsi. Tanpa pikir panjang saya lepas baterainya. Lalu dengan santainya, saya pasang lagi, dan hidupkan smartphone rasa jadul saya itu. Semua tampak baik-baik saja, namun logo SE yang muncul hanya diam saja, seharusnya logo ini hilang diganti dengan welcome screen yang adalah animasi nama saya.
Berulang kali saya lepas baterai dan coba hidupkan, namun yang saya lihat hanya logo SE yang nampak diam membeku, tak mau bergerak atau menghilang,untuk berganti welcome screen nama saya. Untuk usaha yang kesekian kali, logo SE itu tidak nampak, yang nampak hanyalah layar biru kosong diiringi cellphone saya yang terus bergetar. Berulang-ulang seperti itu, hingga akhirnya saya matikan SE W200 itu. Saya letakkan di meja dan saya pandangi. Seharusnya saya senang, jika SE W200 ini rusak, saya punya alasan untuk membeli cellphone baru yang lebih canggih. Tapi……kok saya tidak rela kalau cell phone ini benar-benar rusak.
SE W200i adalah smartphone saya. Smartphone rasa jadul yang mungkin bagi banyak orang sudah saatnya ditinggalkan. Tapi…Saya sudah terlanjur suka dengan keypadnya yang nyaman untuk jempol saya, bentuknya yang handy, dan suara mega bassnya. Saya sudah kadung jatuh hati, dan sangat berharap, ia berhasil direparasi, untuk saya gunakan kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H