Mohon tunggu...
karina devviyanti
karina devviyanti Mohon Tunggu... -

seorang yang suka belajar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Asean Open Sky 2015, Mengantisipasi Serangan Dari Balik Awan

13 Februari 2015   19:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:15 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1423806721413810943

[caption id="attachment_350900" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: universalnewswires.com"][/caption]

Masih ada sederet pekerjaan rumah bagi Indonesia menghadapi pemberlakukan ASEAN Open Sky pada 2015. Mampukah dikejar?

*****

Di dalam negeri, silang pendapat terus menyeruak terkait rencana pemberlakukan Asean Open Sky pada 2015. Satu pihak memandang, hal itu hanya akan membawa dampak buruk bagi Indonesia. Sedangkan pihak lainnya menilai sebaliknya. Bagaimana sesungguhnya?

Dengan kening sedikit berkerut dan tatapan mata tajam yang khas, mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal (Purn) Chappy Hakim mengingatkan, kondisi kedirgantaraan Indonesia saat ini masih sarat oleh persoalan. Lantaran itulah, dia memandang, bila otoritas negeri ini tidak memersiapkan secara baik dari berbagai aspek, maka pemberlakuan Asean Open Sky justru akan mengancam pertahanan dan kedaulatan udara Indonesia.

"Di sinilah kita berhadapan dengan masalah yang sangat serius, yaitu kedaulatan negara di udara. Bila Indonesia tidak hati-hati dalam menangani masalah ini, akan berhadapan dengan situasi fatal dalam pengelolaan kawasan udara kedaulatannya," katanya, dalam Seminar tentang "Intelijen Udara, Ancaman Kedaulatan Udara menghadapi ASEAN Open Sky", yang diselenggarakan pada Desember tahun lalu.

Sebenarnya, apa teramat mencemaskan Chappy? Ternyata itu karena dunia penerbangan Indonesia memang masih kerap dirudung segudang masalah. Antara lain, tingginya pertumbuhan bisnis penerbangan yang tidak dibarengi dengan kesiapan infrastruktur dan faktor penunjang lainnya.

Diakui otoritas terkait, yakni pihak Kementerian Perhubungan, melalui Kepala Komunikasi Publik Kemenhub Bambang S Ervan, kondisi bandara ketertiban di bandara memang acap menjadi sorotan. "Yang kita nilai utamanya soal pelayanan ke masyarakat. Mulai dari pelayanan informasi, ketersediaan trolly, tempat duduk, kebersihan toilet, dan lain-lain,” paparnya, terkait evaluasi dan penilaian rutin atas kondisi bandara-bandara yang beroperasi di Indonesia.

MENGANCAM KEDAULATAN

Catatan yang tak kalah serius tentang permasalahan seputar dunia penerbangan nasional juga pernah diungkap Rektor UPN 'Veteran' Jakarta yang juga mantan Kabadiklat Kemhan Marsda (Purn) Koesnadi Kardi. Bahkan dia memandang, kebijakan "open sky" justru berpotensi membawa masalah baru bagi Indonesia, khususnya dari aspek politik dan hankam.

Pasalnya, Koesnadi mengatakan, saat ini Indonesia masih kekurangan sarana dan prasarana penerbangan, belum memiliki hukum udara dan ruang angkasa yang pasti, serta kurang siapnya operator dalam mendukung dunia penerbangan.

"Udara merupakan wilayah kedaulatan negara yang harus dikuasai dan dikendalikan. Sementara untuk menjaga kedaulatan udara tak mungkin tanpa adanya air superiority," ucapnya.

Sementara itu, Asosiasi Maskapai Penerbangan Indonesia (Indonesia National Air Carriers Association/INACA) juga mencatat masih ada masalah yang tak kalah serius di dunia penerbangan saat ini. Bahkan Ketua INACA Arif Wibowo dalam jumpa pers awal September 2014 menyebutkan bahwa kondisi dunia penerbangan di Indonesia sedang dalam masa kritis.

Apa pasalnya hingga terlontar pernyataan bernada pesimisme serupa itu? Arif membeberkan, “Maskapai lokal saat ini terhimpit oleh turunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Depresiasi ini, juga membawa dampak negatif lainnya, yakni naiknya harga avtur.”

Padahal, menurut Arif, avtur merupakan salah satu komponen penting yang cukup besar menyumbang pengeluaran perusahaan. Selain itu, dia juga mengungkap adanya kecemasan maskapai terhadap bea masuk suku cadang pesawat yang tinggi, pelaksanaan audit, dan fasilitas kebandaraan.

Saat ini, Arif mengungkapkan, 85 persen biaya operasional pesawat bergantung pada nilai tukar dolar AS. Sementara itu, biaya pembelian komponen bisa mencapai 25 persen dari beban operasional. Bahkan, avtur berkontribusi 45-50 persen dari total biaya operasional maskapai.

"Padahal, industri penerbangan merupakan jembatan udara yang membantu kelancaran distribusi logisik dan juga membangun konektivitas antarwilayah," katanya.

Sejatinya, Arif mengatakan, asosiasi telah mengajukan 300 jenis komponen pesawat yang mayoritas diproduksi di AS dan Eropa ke Kementerian Perhubungan agar bisa mendapatkan pembebasan bea masuk. Namun, sambung dia,hingga kini otoritas terkait baru memberikan persetujuan atas 27 jenis komponen.

Dan ternyata, saat permintaan tersebut dilanjutkan ke Kementerian Perindustrian, Arif mengatakan, jumlah komponen kembali menyusut, yakni tinggal empat jenis. Hal itulah yang dinilainya sangat mengkhawtirkan, mengingat pada 2015 kebijakan ASEAN open sky diberlakukan.

Apalagi di saat bersamaan, Arif juga mengingatkan, negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand, memberlakukan pembebasan bea masuk atas komponen pesawat demi menunjang keberlangsungan industri penerbangannya. "Kalau undang-undangnya tidak bisa dibuat bebas (di Indonesia), paling tidak kita minta dibuat nol persen," ujarnya.

Lantaran itu pulalah, Arif pun berharap agar pemerintah bisa menciptakan atmosfer yang lebih baik bagi industri penerbangan. Sebab, menurut dia, sejumlah persoalan telah sangat berpotensi mengganggu operasional maskapai.

INFRASTRUKTUR BELUM SIAP

Persoalan lain yang merudung dunia penerbangan di Indonesia juga diungkap Sekretaris Jenderal INACA Teuku Burhanuddin. Pertama, Burhanuddin menyoal kesiapan bandara versus tingginya pertumbuhan penumpang. Dikatakannya, sejauh ini, Jakarta masih jadi urat nadi industri penerbangan domestik. Hampir 50 persen penerbangan nasional berasal dari Jakarta.

"Masalahnya, bandara tidak siap dengan pertumbuhan penumpang dan penambahan frekuensi penerbangan. Akibatnya, di saat maskapai mau menambah frekuensi penerbangan sudah tidak bisa lagi dan dibatasi. Padahal penumpang makin banyak," ujarnya.

Burhanuddin juga melihat ada hambatan di bidang infrastruktur pendukung penerbangan. Di mana bukan rahasia lagi, kata dia, beberapa bandara di Indonesia kerap mengalami mati radar dan listrik padam yang tentu menimbulkan gangguan penerbangan.

Seharusnya, Burhanuddin menegaskan, pengelola penerbangan bisa mengikuti kemajuan teknologi dalam dunia penerbangan. "Kemajuan teknologi harus diikuti, kalau tidak akan sulit. Yang terjadi saat ini memang belum, termasuk SDM yang mengelola. Alat perlu di-update," imbuhnya.

Nah jadi, dalam situasi karut-marut itulah Indonesia harus menyambut datangnya Asean Open Sky 2015. Sehingga wajar saja jika kecemasan akan kedaulatan negeri menjadi lebih besar ketimbang optimisme adanya sumbangan bagi PDB hingga Rp7 triliun dan peningkatan lapangan kerja baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun