Oh hidup!!! Rumit sekali kau ini. Rasanya seperti mengidentifikasi siapa penemu bahasa uvuweve. Aku adalah mahasiswi semester akhir jurusan akuntansi. Aku harus mempunyai bisnis sebelum aku lulus. Jika tidak, aku akan dijodohkan oleh anaknya kakanya keponakan temennya tante ku.
Sebagai mahasiswi pecinta alam, aku memutuskan menjadi pemandu wisata dari sebuah bisnis yang baru ku jalankan. Â Aku mengajak Pak Her seorang kerabat ayah sebagai sopir kepercayaanku dalam bisnis ini. Dia memiliki minibus tua yang dapat di jadikan transportasi. Usianya sudah 50 tahun dan mempunyai riwayat sakit jantung. Aku ingin mengajaknya karena aku tahu, ia membutuhkan biaya sekolah untuk anaknya.
Hari ini merupakan tugas pertamaku sebagai pemandu wisata. Rombongan pertamaku berjumlah 6 orang. Dalam rombongan pertamaku terdapat Mr. Fred, turis mancanegara sekaligus ahli biologi yang tengah berlibur sembari menapaki jejak Alfred wallace di Indonesia. Selain itu, ada dua orang mahasiswi yaitu Anggi dan Kanaya serta satu keluarga yaitu Lukman, Prita, dan Kevin anaknya.
Aku mengajak rombonganku untuk menjelajahi hutan konservasi di wilayah timur Indonesia. Â Rombongan terlihat sangat menikmati perjalanan. Anggi sibuk mengambil gambar dan video untuk mengisi instagramnya. Tasnya dipenuhi oleh cokelat dan alat-alat pendukung kontennya. Kanaya selalu membantu Anggi untuk mengambil sebuah gambar yang estetik. Mr. Fred dan Lukman seperti sandal jepit dan tutup botol, tidak ada hubungannya. Mereka sering berdebat saat perjalanan. Mr. Fred bercerita tentang hutan dan Lukman bercerita tentang politik. Walaupun mereka sering berdebat, mereka telihat dan akrab. Prita selalu menjawab pertanyaannya Kevin anaknya yang terlihat antusias melihat fauna. Sesekali rombongan berhenti untuk menghirup udara segar dan berjalan-jalan. Kevin selalu bersemangat ketika turun dari minibus. Ia senang diajak jalan-jalan ke alam untuk terapi asmanya.
Pukul 5 sore minibus mulai beranjak ke penginapan. Rombongan terlihat lelah dan mulai terlelap dibuai minibus di jalanan yang tak rata. Perasaan ku mengatakan ada sesuatu yang tak beres. Benar, minibus mogok karena gangguan mesin yang disinyalir disebabkan oleh bocornya air radiator .
Waktu menunjukkan pukul 17.45. Waktu rombongan tersisa 30 menit hingga matahari benar-benar terbenam dan hewan malam mulai berburu makan malam. Aku berusaha berkompromi antara otak dengan hati. Delapan nyawa menjadi tanggung jawabku.
Rombongan mulai panik, terlebih Prita , Kanaya dan Anggi. Prita mengkhawatirkan anaknya jika asmanya kambuh. Apalagi besok Prita, Lukman, dan Kevin harus menuju Jakarta pukul 07.00 untuk menghadiri Kompasianival. Kanaya mempunyai ketakutan terhadap kegelapan, alam liar, dan hewan liar. Sedangkan Anggi, menahan sakit kakinya yang terkilir.Ia tergelincir karena terlalu bersemangat melihat kuskus yang sedang duduk depan sarangnya.
Aku tak punya waktu lama untuk berfikir. Aku menelpon penjaga hutan. Suara nada tunggu telepon menjadi pengiring jantungku yang berdegup kencang.
"Excuse me, saya izin masuk ke hutan untuk BAB." Kata Mr. Fred dengan logatnya. Aku percaya padanya. Ia sudah biasa menjelajah hutan dan membawa peralatan survival paling lengkap.
Setelah berkali-kali aku mencoba, akhirnya penjaga hutan mengangkat telepon. Ia memiliki sebuah motor yang dapat menjemput orang satu persatu untuk sementara diinapkan di pondok tersebut. Sekali jalan bolak-balik (rumah-lokasi-rumah) membutuhkan waktu 30 menit. Â Selain itu aku mencari bantuan dengan mengontak rekan-rekanku di kota dekat penginapan. Salah satunya menyanggupi untuk menjemput dengan membawa mobil sedan berkapasitas angkut 4 orang sekali jalan. Karena jalanan menuju situ ada yang rusak, maka mobil akan tiba paling cepat dalam 2 jam 15 menit.
Sekarang aku harus meyakinkan rombonganku bahwa semua baik-baik saja. Kevin tak mau melepaskan tangan kedua orang tuanya karena ketakutan. Kanaya pun terlihat gelisah dalam sinar senja yang sebentar lagi akan sirna. Anggi terlihat lemas menahan rasa sakit. Di dalam minibus, tersisa dua box nasi. Aku harus menjaga tenaga rombonganku. Kebanyakan mereka tak membawa perbekalan yang cukup, kecuali Mr. Fred.