Mohon tunggu...
Karim Abdullah
Karim Abdullah Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Saya seorang abdi negara yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Money

Menata Ulang Industri Sawit Nasional

8 November 2015   16:28 Diperbarui: 8 November 2015   16:42 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Beberapa bulan terakhir ini industri sawit nasional sedang mengalami tekanan yang cukup berat. Dari sekian banyak masalah yang dihadapi, dua diantaranya adalah kampanye negative yang semakin masif terhadap produk sawit dan turunannya akibat kebakaran lahan yang diduga dilakukan oleh perkebunan kelapa sawit serta harga jual minyak sawit mentah (CPO) di pasar dunia yang terjun bebas menjadi sekitar USD 600 per ton.

Bila kita melihat pada beberapa tahun ke belakang, industri sawit nasional pernah mengalami masa kejayaan. Pada tahun 2006 Indonesia untuk pertama kalinya berhasil menjadi produsen terbesar CPO di dunia melampaui Malaysia. Satu tahun kemudian harga jual CPO melambung tinggi hingga mencapai USD 1200 per ton nya, lalu sempat turun selama beberapa tahun dan naik kembali pada tahun 2011. Produksi yang melimpah serta harga yang tinggi menjadikan industri sawit menjadi industri primadona baru dan menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia.

Selain itu, harga jual CPO yang tinggi menjadikan perusahaan baik sekala kecil maupun besar dan juga masyarakat umum  tergiur untuk membuka lahannya untuk ditanami kelapa sawit. Lalu jutaan hektar lahan baru terus dibuka dengan laju mencapai 7% pertahunnya, memangkas lahan-lahan gambut serta juga membuka hutan-hutan alam. Hingga pada awal tahun 2015 diperkirakan luas area perkebunan sawit telah mencapai angka 11 juta hektar.

Namun masa keemasan industri sawit perlahan namun pasti mulai meredup, diawali dengan jatuhnya harga minyak mentah dunia serta semakin besarnya produksi CPO dunia yang mencapai 50 juta ton menyebabkan harga CPO dunia mulai tergerus. Pada akhir tahun 2014 harga rata-rata komoditas CPO hanya berkisar diangka 800 USD per ton. Kejatuhan harga CPO terus berlanjut, bahkan pada awal oktober 2015 harga jual CPO tergerus hingga 600 USD per ton saja.

Dari kondisi di atas maka sebenarnya pembukaan lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit tidak lagi menjadi bisnis yang menjanjikan baik bagi petani perorangan ataupun bagi perusahaan besar. Secara hitungan di atas kertas, produksi CPO yang terus meningkat hanya akan menyebabkan harga jualnya menjadi turun, dan pada akhirnya secara agregat keuntungan yang didapat tetap sama bahkan bisa jadi berkurang.

Selain faktor ekonomi, pembukaan lahan baru secara terus menerus untuk perkebunan sawit akan menyebabkan masifnya proses alih guna lahan dari hutan menjadi area-area perkebunan. Bila ini terus terjadi maka kedepannya dampak negatif bagi lingkungan sekitar akan terus meningkat. Dimulai dengan rusaknya keseimbangan ekosistem alam, menghilangnya flora dan fauna khas, serta juga akan menyebabkan kebakaran seperti yang terjadi selama tiga bulan terakhir ini.

Bila kerusakan alam terjadi secara terus menerus, maka yang akan terkena kerugian tentu saja umat manusia juga, seperti kesulitan mendapatkan air bersih, kebakaran hutan dan juga asap yang menyelimuti kota berhari hari yang dapat menyebabkan gangguan pernafasan bahkan kematian.

Dari kondisi yang dipaparkan di atas, seharusnya pemerintah, petani kecil dan juga pelaku bisnis di industri sawit harus membuat strategi baru agar bisa mendapatkan keuntungan lebih besar dari industri sawit tanpa harus membuka lahan baru. Beberapa strategi yang bisa diterapkan seperti meningkatan produktifitas tanaman sawit per hektarnya, peningkatan jumlah lahan yang bersertifikat serta memperbanyak industri-industri hilir berbasiskan kelapa sawit.

Peningkatan produktifitas kelapa sawit per hektar dapat dilakukan dengan melakukan riset yang berkaitan dengan teknik budidaya tanaman sawit seperti peningkatan kualitas bibit yang akan ditanam, teknik dan dosis pemupukan, teknik pemanenan dan juga penanganan pascapanennya. Sehingga ke depannya bibit yang digunakan harus mampu memproduksi buah sawit yang memiliki kandungan minyak yang lebih banyak serta tanaman yang lebih tahan dari serangan berbagai macam hama penyakit. Lebih lanjut, riset juga diperlukan untuk mengetahui teknik pemupukan yang tepat, seperti jenis pupuk yang digunakan, dosis yang perlu ditambahkan serta kapan waktu yang tepat untuk memberikan pupuk.

Proses sertifikasi lahan sawit juga perlu ditingkatkan agar pengalih fungsian hutan non-produksi menjadi perkebunan dapat dikurangi. Dengan adanya sertifikat maka dapat meyakinkan konsumen luar negeri untuk menggunakan produk olahan kelapa sawit yang berasal dari Indonesia. Proses sertifikasi bisa menggunakan acuan international seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) ataupun menggunakan sertifikasi lokal seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Dengan semakin banyaknya lahan yang bersertifikat maka tidak ada lagi alasan bagi negara-negara pengimpor produk CPO untuk menolak produk kita karena alasan lingkungan.

Strategi lainnya adalah peningkatan jumlah industri hilir berbasis kelapa sawit di Indonesia. Ada beragam jenis produk olahan kelapa sawit seperti biodiesel, minyak makan, margarine hingga cocoa butter subsitute (CBS) yang digunakan sebagai subsitusi lemak cokelat. Bila industri dalam negeri mampu mengolah CPO menjadi produk hilir sebelum di jual ke pasar lokal maupun ekspor, tentu nilai ekonomi yang di dapatkan dari industri sawit akan meningkat pesat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun