Kebakaran lahan yang melanda beberapa wilayah Indonesia selama tiga bulan terakhir semakin memberikan citra negatif bagi industri sawit nasional. Hal tersebut melengkapi serangan-serangan sebelumnya seperti isu pengusiran orang utan dari habitatnya serta pengalihfungsian hutan lindung untuk perkebunan sawit. Sehingga ajakan untuk memboikot produk sawit dan turunannya semakin kencang dikemukakan oleh LSM dan aktivis-aktivis lingkungan. Mereka mengampanyekan bahwa membeli produk sawit dan turunannya berarti telah turut serta melakukan perusakan lingkungan.
Boikot tersebut tentu saja akan semakin memukul industri sawit nasional. Bila ajakan tersebut berhasil, harga jual sawit yang saat ini sudah jatuh akan semakin terjerumus semakin dalam. Era kejayaan sawit yang ditandai dengan harga jual minyak sawit mentah (CPO) yang mencapai USD 1.200 per ton sudah lama berlalu. Tahun lalu harga jual rata-rata CPO hanya mencapai USD 800 per ton. Bahkan, untuk bulan Oktober 2015 ini harga CPO hanya berkisar di angka USD 600 per ton.
Bila melihat tren yang ada, terutama terhadap harga jual CPO, pemerintah harus segera turun tangan untuk mengatur industri sawit nasional sebelum terjadinya keruntuhan yang seperti yang terjadi pada perkebunan karet, kopi, ataupun lada. Karena yang paling dirugikan dari runtuhnya perkebunan-perkebunan tersebut bukanlah industri besar yang memiliki hak guna lahan ratusan hingga ribuan hektar, tetapi petani-petani kecil yang hanya memiliki lahan yang sedikit dan menjadikan perkebunan tersebut sebagai satu-satunya sumber penghidupan mereka.
Saat harga komoditas perkebunan tersebut jatuh, menebang dan mengganti dengan tanaman/komoditas lain bukanlah pilihan mudah karena itu membutuhkan investasi yang besar seperti untuk membersihkan lahan, pemberian pupuk, dan pembelian bibit. Menunggu hingga harga komoditas tersebut kembali pulih juga bukan pilihan bijak karena jatuhnya harga komoditas bisa berlangsung dalam jangka waktu mingguan, bulanan, bahkan tahunan.
Oleh sebab itu, setidaknya ada dua langkah yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah terjadinya keruntuhan industri sawit nasional. Langkah yang pertama adalah menentukan target produksi CPO nasional tiap tahunnya. Target yang dibuat harus disesuaikan dengan kebutuhan industri dalam negeri dan ekspor. Jumlah produksi CPO tiap tahunnya harus ditahan pada angka optimal, tidak boleh terlalu berlebih dan tidak terlalu kurang. Bila produksi terlalu berlebih, sesuai dengan hukum permintaan, harga akan jatuh, dan ini akan merugikan petani. Namun, bila produksi terlalu sedikit, harganya akan melambung dan akan membuat konsumen menjerit.
Setelah nilai produksi CPO nasional tiap tahunnya telah diketahui, kebutuhan lahan yang dapat ditanami oleh kelapa sawit pun dapat dihitung. Berdasarkan angka tersebutlah luas lahan untuk perkebunan sawit ditetapkan. Bila diprediksi produksi sawit akan melampaui target, harus ada lahan yang dikorbankan. Sedangkan bila pada tahun selanjutnya kebutuhan CPO diprediksi akan meningkat, langkah pertama yang dilakukan pemerintah adalah meningkatkan produktivitas kebun sawit per hektarnya. Bila saat ini produksi CPO per hektar hanya sekitar 3 ton, lima tahun ke depan ditargetkan harus meningkat menjadi 3.5 ton per hektar. Dengan demikian, peningkatan produksi sawit tidak lagi hanya berdasarkan penambahan luas lahan perkebunan.
Peningkatan produksi CPO per hektar setidaknya dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu dengan cara mengganti tanaman lama dengan bibit baru yang lebih unggul meliputi kandungan minyak yang lebih banyak, lebih efektif dalam menyerap pupuk serta tahan terhadap penyakit. Cara kedua adalah pemberian pupuk secara optimal meliputi jenis pupuk, dosis pupuk, dan waktu pemberiannya. Cara ketiga adalah peningkatan teknik penanganan buah pascapanen seperti kapan waktu yang tepat untuk dipanen, serta sarana transportasi dari kebun dan pabrik.
Langkah kedua adalah meningkatkan jumlah lahan yang memiliki sertifikat sustainability. Artinya adalah lahan yang digunakan untuk menanam tanaman sawit adalah lahan yang memang diperuntukkan untuk perkebunan sawit, bukan hutan lindung ataupun lahan yang bukan peruntukannya. Proses sertifikat dapat merujuk kepada Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ataupun Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Namun, lebih baik bila ISPO menjadi prioritas agar kita bisa berdaulat atas produk kita sendiri.
Dana yang digunakan untuk proses sertifikasi bisa diambil dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit. Karena meningkatnya jumlah lahan yang mendapatkan sertifikat sustainability sama saja dengan mempromosikan diri ke pihak luar bahwa produk sawit dan turunannya yang berasal dari Indonesia lebih ramah lingkungan. Dampak positif yang didapatkan adalah akan meningkatkan demand produk sawit dan turunannya dari Indonesia.
Dua langkah di atas mempertahankan jumlah produksi pada angka optimal dan meningkatkan jumlah lahan yang bersertifikat sustainability tidak bisa dilakukan secara individu oleh pelaku industri sawit apalagi, bagi para petani kecil. Namun, hal tersebut membutuhkan peran langsung pemerintah. Ketegasan dan peran aktif pemerintah dalam mengembangkan industri sawit menjadi kunci utama keberhasilan program tersebut.
Pada akhirnya, berkembangkanya industri sawit nasional yang berorientasi pada sustainability akan memberikan keuntungan bagi semua pihak, peningkatan devisa bagi pemerintah, bertambahnya penghasilan bagi para petani dan pelaku industri yang terlibat di dalamnya, serta harga jual yang stabil bagi konsumen untuk produk sawit dan turunannya.