Banyak yang kemudian bertanya, kenapa masalah dalam negara ini selalu disalahkan adalah Jokowi. Apalagi pendukung Jokowi yang militan, selalu sinis dengan kritikan dan komentar terhadap pemimpin yang selalu mereka agungkan. Memang kita harus mendukung kebijakan dan langkah yang dilakukan Jokowi. Lantas, kita juga perlu mengkaji kembali apakah benar-benar sesuai dengan janji yang pernah ia katakan dulu.
Kembali menyoal kenapa selalu Jokowi yang disalahkan. Sebagai seorang pemimpin, dia lah yang mengatur penyelenggaraan pemerintah. Masalah yang terus menjangkiti negera ini dia pula yang harus membereskannya. Masalah yang kemudian muncul adalah ketika dia sudah berjanji pada kampanyenya, namun nihil realisasi.
Dia dipilih berdasarkan janji yang telah ia lontarkan. Ada harapan di sana. Kemudian salahkah kita kalau akhirnya kita menyalahkan Jokowi atas janji yang tidak ia realisasikan. Saya rasa sah-sah saja.
"Prestasi" dalam peningkatan infrastruktur memang patut kita apresiasi. Yang salah adalah apabila kita terlalu larut dalam "prestasi" itu hingga kemudian kita melupakan masalah lain yang sudah dijanjikan oleh Jokowi. Harapan kita tentu sama. Bagaimana masalah di negeri ini satu per satu dapat diselesaikan sehingga tercapainya cita-cita bangsa dan negara.
Memang persoalan di negeri ini bersifat kompleks dan tidak bisa diselesaikan secara instan. Namun, kita harus merujuk kepada solusi yang ditawarkan dulu. Ada harapan dan sikap tegas di sana. Kemudian apakah kenyataannya sampai hari ini sudah demikian?
Kita ambil beberapa contoh. Jokowi dalam program Nawacita berjanji akan memenuhi Reforma Agraria. Namun, dalam kenyataannya masih jauh panggang dari apa. Malah semakin buruk dengan menurunnya keperacayaan publik dengan janjinya tersebut.
Hingga tahun ketiga berakhir, Perpres tentang Reforma Agraria tidak kunjung ditandatangani oleh Presiden. Menjadi pertanyaan besar terhadap keseriusan pemerintah yang banyak berjanji dalam banyak kesempatan akan dan sedang menjalan Reforma Agraria.
Presiden Jokowi dalam memenuhi janjinya lebih giat melakukan sertifikasi tanah saja. Komunikasi politik presiden kepada publik pun dalam kesempatan-kesempatan seremonial pembagian sertifikat terdengar sumbang. Bagi-bagi sertifikat oleh presiden, tanpa adanya proses pemeriksaan dan penataan ulang struktur penguasaan tanah terlebih dahulu, termasuk minus program pendukung pasca sertifikasi (penataan produksi dan pengembangan ekonomi petani), promosi peluang pengagunan sertifikat ke bank seolah menunjukkan pemerintah sedang mengamini ketimpangan yang terjadi, mendukung proses liberalisasi dan pasar tanah.
Selain itu, ribuan konflik agraria di seluruh Indonesia tidak terurus dan belum menjadi bagian dari pelaksanaan Reforma Agraria. Hal ini berdampak pada terlanggarnya hak-hak masyarakat dan terus terjadinya kriminalisasi.
Di sisi lain, pemerintah Jokowi-JK dengan konsep "Poros Maritim Dunia" (PMD) yang pernah dibangga-banggakan, sebenarnya masih gagap dan terlihat belum memiliki arah dan strategi berkelanjutan untuk memanfaatkan laut dan pesisir. Kelautan sebagai konsekuensi corak ekonomi baru pada akhirnya memunculkan "masalah agraria baru" di sektor kelautan dan pulau-pulau kecil. Hal ini tergambar dari arah kebijakan dan pembangunan Jokowi-JK yang masih menjadikan laut sebagai objek eksploitasi para investor ketimbang menjadikannya jalan untuk mendorong kesejahteraan masyarakat pesisir di 10.666 desa di Indonesia.
Pusat Data dan Informasi KIARA menemukan di tahun 2016 saja, setidaknya terdapat 28 Titik area pesisir yang direklamasi dan 20 titik area pesisir yang ditambang dan pada akhirnya menimbulkan konflik horizontal, serta 40 kasus kriminialisasi yang dialami oleh nelayan.