Mohon tunggu...
Karida Salim
Karida Salim Mohon Tunggu... Dokter - Seorang Dokter yang memiliki minat menulis

Seorang dokter yang menulis untuk membagikan pengalaman dan katarsis diri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah dari Ruang Baca

19 September 2024   07:29 Diperbarui: 25 September 2024   21:06 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : Image Creator Bing

             Ada sebuah kebiasaan aneh yang sudah kulakukan bertahun-tahun. Setiap Selasa dan Kamis sore, aku selalu datang ke perpustakaan kota. Bukan untuk membaca buku, meski awalnya aku memang datang dengan niat itu, tapi untuk merasakan ketenangan yang hanya bisa kudapatkan di ruang baca lantai dua. Di sana, suasananya tenang dan damai, dipenuhi aroma khas buku-buku tua yang memberi rasa nostalgia. Namun, perlahan, alasan utamaku datang ke sana berubah.
              Bukan hanya buku yang menjadi daya tarik tempat itu, tapi juga orang-orang yang duduk di sana. Selalu ada wajah-wajah yang sama, orang-orang yang juga datang secara rutin. Kami tak pernah berbicara---setidaknya di awal. Hanya sekadar melirik satu sama lain di balik buku atau laptop masing-masing. Meski kami tak saling mengenal, rasanya seperti ada hubungan tak kasatmata yang membuat kami terus datang ke ruangan yang sama.
              Aku sering duduk di meja paling pojok, dekat jendela yang menghadap taman. Dari situ, aku bisa melihat semuanya tanpa harus mencolok. Di ujung meja yang lain, ada seorang pria paruh baya yang selalu membawa laptop dan secangkir kopi hitam dari kafe dekat pintu masuk. Ia tak pernah membuka buku. Matanya fokus pada layar laptop, jarinya terus mengetik, meskipun sesekali ia tampak frustrasi dan berhenti sejenak, mengetuk meja kayu dengan jari-jarinya. Aku bertanya-tanya, apa yang ia tulis?
               Lalu ada seorang wanita muda, mungkin usianya tak jauh dariku. Rambutnya sebahu, tampak rapi, dan ia selalu datang membawa tumpukan novel. Dia sering duduk di tengah ruangan, sesekali tersenyum pada orang-orang di sekitarnya sebelum kembali tenggelam dalam bukunya. Setiap kali aku melihatnya, aku teringat pada masa-masa kuliahku yang dipenuhi buku dan catatan.
               Di sudut lain, ada seorang pria tua, rambutnya sudah memutih. Ia selalu membawa buku tebal, biasanya buku sejarah, dan membacanya dengan tenang. Gayanya rapi, dengan kemeja yang disetrika halus dan celana bahan berwarna coklat. Aku mengira dia mantan dosen atau akademisi, seseorang yang mungkin dulu hidup di dunia yang penuh dengan penelitian dan pengajaran.
               Yang paling muda di antara kami adalah seorang gadis remaja. Rambutnya diikat kuncir kuda, dan ia lebih suka menggambar daripada membaca. Duduknya di dekat pintu, dengan sketsa-sketsa di depan meja. Aku penasaran, apa yang ia gambar? Wajah kami? Atau mungkin sesuatu yang lebih imajinatif?
               Hari-hari berlalu dengan pola yang sama. Kami berlima selalu hadir di ruang baca yang sama, pada jam yang sama, tapi tak pernah berinteraksi. Hingga suatu hari, hujan deras membuat suasana sore itu sedikit berbeda. Aku merasa ada kegelisahan dalam ruangan. Mungkin karena cuaca yang membuat kami lebih diam dari biasanya, atau mungkin karena tanpa disadari, ada ketegangan di antara kami.
                Hari itu, tanpa direncanakan, aku membuka percakapan. Awalnya hanya pertanyaan kecil, sesuatu yang kuajukan kepada pria paruh baya yang selalu sibuk dengan laptopnya.
               "Bapak menulis apa?" tanyaku, setelah akhirnya tak tahan dengan rasa penasaran.
Dia tampak terkejut mendengar suaraku. Sesaat dia hanya menatapku, lalu tersenyum kecil sebelum menjawab, "Sebuah novel. Tapi rasanya tak pernah selesai."
                 Itu awal dari percakapan kami. Siapa sangka, pertanyaan sederhana itu membuka pintu bagi interaksi yang selama ini tertahan. Pria paruh baya itu ternyata seorang penulis. Dia mengaku sudah mencoba menyelesaikan novelnya selama lima tahun, tapi selalu terjebak di tengah jalan. Aku menertawakan pengakuannya, dan ternyata dia juga bisa tertawa.
                 Dari situ, segalanya berubah. Percakapan kecil kami menarik perhatian wanita muda di tengah ruangan. Dia ikut bergabung, mengatakan bahwa dia seorang mahasiswa sastra yang sedang menulis tesis tentang feminisme dalam sastra modern. Kami pun mulai berbicara tentang buku, tentang penulis-penulis favorit, dan tiba-tiba saja ruang baca itu terasa lebih hidup.
                Pria tua di sudut yang biasanya diam, mulai mengangkat kepalanya dari buku sejarahnya dan tersenyum mendengar obrolan kami. Dia kemudian menambahkan, "Aku dulu dosen sejarah. Kau bisa meminjam beberapa referensi jika butuh untuk tulisanmu." Kami terkejut mendengarnya, tetapi sekaligus merasa senang bahwa dia akhirnya juga ikut dalam percakapan.
                Bahkan gadis remaja yang biasanya tenggelam dalam sketsa-sketsanya mulai lebih sering mengamati kami. Pada suatu hari, ia mendekati kami dan menunjukkan beberapa gambarnya. Dia mengaku bermimpi menjadi seorang ilustrator, dan kadang-kadang ia menggambar kami yang duduk di ruang baca. Sketsa wajah kami yang terperinci membuat kami terkejut. Ada sesuatu yang indah dalam keheningan dan keterasingan yang digambarnya.
                Hari-hari berikutnya, kami mulai saling mengenal lebih dalam. Persahabatan aneh ini terbangun perlahan, penuh dengan cerita-cerita hidup yang tak terduga. Pria paruh baya, yang akhirnya diketahui bernama Anton, bercerita tentang pernikahannya yang hancur karena obsesinya menulis. Wanita muda bernama Dina menceritakan kecemasannya tentang masa depan setelah lulus kuliah, apakah ia akan berhasil menjadi penulis seperti yang diimpikannya. Profesor tua, yang dipanggil Pak Harun, sering berbagi cerita-cerita sejarah menarik yang ia pelajari dari buku-buku langka yang hanya bisa ditemukan di perpustakaan ini.
                Gadis remaja itu, yang bernama Maya, bercerita bahwa ia kabur dari rumah setiap sore untuk datang ke perpustakaan. Ia tak suka sekolah, merasa tidak dimengerti oleh keluarganya, dan hanya menemukan kedamaian ketika menggambar. Mendengar itu, kami semua merasa simpati, terutama Anton yang juga pernah merasa tidak didengar oleh orang-orang di sekitarnya.
                Namun, di tengah-tengah semua kehangatan itu, ada konflik kecil yang mulai muncul. Suatu sore, Anton yang sedang frustrasi dengan novelnya tiba-tiba menjadi sangat marah ketika Dina tanpa sengaja memberikan kritik pedas tentang plot yang ia tulis. Suasana yang biasanya hangat berubah dingin seketika. Anton meninggalkan ruang baca dengan marah, meninggalkan kami semua terdiam dalam kebingungan.
                 Dina merasa bersalah, meskipun kami mencoba meyakinkannya bahwa Anton mungkin hanya sedang sensitif. Hari-hari berikutnya terasa lebih sepi tanpa Anton, meskipun kami bertiga tetap datang dan mencoba berbicara seperti biasa. Tapi tanpa kehadiran Anton, suasana terasa berbeda, seperti ada bagian yang hilang dari dinamika kami.
                 Suatu hari, setelah dua minggu Anton menghilang, dia tiba-tiba kembali. Dia membawa naskah novelnya, tapi kali ini ekspresinya lebih tenang. Dia meminta maaf kepada kami, terutama kepada Dina, dan dengan suara berat mengatakan, "Aku butuh masukan kalian. Kritik kalian benar-benar membantuku."
                 Sejak saat itu, persahabatan kami semakin erat. Kami bukan lagi sekadar orang asing yang berbagi ruang baca, tapi teman-teman yang saling mendukung dalam perjalanan hidup masing-masing. Anton akhirnya menyelesaikan novelnya, meski masih dengan beberapa revisi. Dina lulus dengan nilai yang membanggakan dan mulai menulis buku pertamanya. Pak Harun, meskipun sudah pensiun, tetap aktif menulis dan menyumbangkan pengetahuannya di berbagai komunitas. Sementara Maya, dengan bantuan kami, berhasil meyakinkan orang tuanya untuk mendukung cita-citanya menjadi ilustrator.
                Tapi cerita kami tidak berakhir di sana. Suatu hari, saat aku datang ke ruang baca, aku menemukan ruangan itu kosong. Tidak ada Anton, tidak ada Dina, tidak ada Pak Harun, bahkan tidak ada Maya. Aku bertanya kepada pustakawan tentang mereka, tetapi dia hanya menggeleng. "Tak ada yang sesuai dengan deskripsi itu datang ke sini," katanya.
                Aku tertegun. Bagaimana mungkin? Kami selalu bersama di sini. Aku memeriksa meja tempat biasa kami duduk, dan di sana, tergeletak sebuah buku sketsa. Itu milik Maya. Di halaman pertama, ada sketsa kami berlima, duduk di ruang baca ini. Tapi di halaman terakhir, hanya ada aku, duduk sendirian. Mungkin kami semua hanyalah bagian dari imajinasi atau kisah yang belum selesai di ruang baca ini.

TAMAT


#cerpenperpustakaan #pulpen #sayembarapulpenxx


Biodata Penulis:
Karida Salim dokter umum di Pontianak, menulis untuk mengisi waktu luang dan katarsis diri. Buku karya penulis adalah 2 buku kesehatan berjudul 12 Cara Efektif Hidup Sehat Energik dan Mencapai Versi Terbaik Dirimu, The Principles of Health, 2 buku kumpulan puisi "Tanpa Kata" dan "Jejak-Jejak Puisi di Hati". Sudah menulis 14 buku antologi cerpen dan 14 buku antologi puisi.
Motto : Lakukan dan perbaiki terus-menerus. Kontak: email karida65@yahoo.com, Instagram karidasalim899, Facebook Karida Salim.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun