ekonomi yang semakin menantang. Peluang kerja pun terbatas karena inflasi yang tak terkendali, serta ketidaksesuaian antara kompetensi lulusan dan kebutuhan industri menjadi tantangan yang harus dihadapi para lulusan baru. Mengingat isu ini berkaitan dengan target Sustainable Development Goals (SDGs) ke-4, yaitu Pendidikan Berkualitas, namun apakah pendidikan tinggi yang berkualitas benar-benar dapat menjadi jaminan untuk memperoleh pekerjaan layak? ataukah ada persoalan yang perlu ditinjau kembali dalam sistem pendidikan? Berikut adalah penjelajahan mendalam mengenai fenomena yang terjadi di Indonesia, di mana lulusan universitas berkualitas sekalipun sering kali terjebak dalam dilema pengangguran.
Jakarta, Indonesia - Pendidikan tinggi yang berkualitas sering kali dianggap sebagai kunci kesuksesan masa depan. Namun peluang karier yang cemerlang tidak berbanding lurus dengan kondisiMenurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, tingkat pengangguran terbuka untuk lulusan perguruan tinggi di Indonesia meningkat dari tahun sebelumnya. Bahkan, lulusan perguruan tinggi yang menganggur kini mencapai sekitar 7-8% dari total pengangguran di Indonesia. Mengingat pendidikan tinggi selalu dipandang sebagai investasi jangka panjang yang dapat memberikan kepastian kerja dan kesejahteraan ekonomi, fakta ini tentu menimbulkan kekhawatiran. Mengapa? Karena realitas yang ada menunjukkan bahwa banyak lulusan perguruan tinggi, bahkan dari universitas ternama, menghadapi kesulitan dalam menemukan pekerjaan yang sesuai dengan kompetensi yang mereka miliki. Tingginya laju inflasi, minimnya lapangan pekerjaan di sektor formal, dan rendahnya daya serap industri terhadap lulusan baru adalah beberapa faktor penyebab utama dari permasalahan ini.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa inflasi memiliki pengaruh besar terhadap kesempatan kerja, terutama bagi mereka yang baru lulus. Ketika inflasi melonjak, harga barang dan jasa meningkat secara signifikan, dan menyebabkan daya beli masyarakat menurun. Daripada melakukan ekspansi atau perekrutan karyawan baru, perusahaan yang beroperasi di lingkungan ekonomi seperti ini cenderung mengalihkan prioritas mereka ke penghematan biaya operasional dan efisiensi kerja. Pada dasarnya, dampak inflasi memang berimbas pada stabilitas finansial perusahaan yang menghadapi kenaikan biaya bahan baku, energi, dan gaji pegawai. Beberapa perusahaan bahkan terpaksa membekukan perekrutan, atau setidaknya membatasi jumlah pegawai baru yang mereka rekrut. Hal ini mengurangi peluang bagi para lulusan baru untuk memasuki pasar kerja, bahkan untuk posisi dasar sekalipun.
Sementara itu, sektor-sektor pekerjaan tertentu yang sebelumnya menjadi andalan lulusan perguruan tinggi, seperti sektor keuangan, teknologi, dan manufaktur, kini turut menghadapi tantangan berat dalam mengatasi tekanan inflasi. Situasi ini membuat lulusan perguruan tinggi sering kali terpaksa mencari peluang di sektor informal atau pekerjaan lepas, yang mungkin tidak menawarkan stabilitas keuangan atau jaminan sosial yang mereka harapkan. Dan inilah realita yang harus dialami para lulusan perguruan tinggi, mereka yang sudah menempuh pendidikan dengan kualitas terbaik justru harus menghadapi kenyataan pahit bahwa ijazah yang mereka peroleh tidak menjadi jaminan untuk mendapatkan pekerjaan.
Di era dunia yang semakin terkoneksi dan global, persaingan di pasar kerja tentu tidak lagi terbatas pada skala lokal atau nasional. Kini, lulusan perguruan tinggi harus bersaing tidak hanya dengan sesama lulusan dari dalam negeri, tetapi juga dengan talenta internasional. Munculnya ekonomi digital dan teknologi informasi telah mengubah karakter pasar kerja, dengan meningkatnya tuntutan akan keterampilan-keterampilan spesifik. Sebagai contoh, pekerjaan di bidang teknologi informasi, analisis data, dan manajemen proyek kini semakin banyak diisi oleh tenaga kerja yang dapat bekerja dari berbagai negara melalui platform daring. Hal ini pastinya menambah tingkat persaingan bagi lulusan perguruan tinggi di Indonesia yang ingin mencari peluang di sektor yang sedang berkembang tersebut.
Dengan jumlah lulusan yang terus meningkat tiap tahunnya dan peluang kerja yang belum dapat menyerap seluruh lulusan baru ini, tekanan persaingan semakin memuncak. Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, lebih dari 1 juta mahasiswa lulus dari perguruan tinggi di Indonesia setiap tahun. Akibatnya, banyak lulusan yang merasa perlu untuk menempuh pendidikan lanjut atau pelatihan tambahan guna memperbesar peluang kerja mereka. Hal tersebut yang menghantarkan pada kenyataaan dimana banyak lulusan perguruan tinggi akhirnya mendapati bahwa ekspektasi mereka tentang dunia kerja tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Di bangku kuliah, mahasiswa diajarkan untuk menargetkan posisi-posisi strategis dengan gaji yang sepadan. Namun, kenyataan di lapangan kerja menunjukkan bahwa tidak semua lulusan akan berhasil mengamankan posisi yang sesuai dengan harapan tersebut, terutama bagi mereka yang baru pertama kali terjun ke dunia kerja.
Belum lagi proses rekrutmen yang ketat dan selektif juga menjadi tantangan bagi para lulusan baru. Terutama bagi lulusan yang belum memiliki pengalaman magang atau kerja part-time sebelumnya, persyaratan pengalaman kerja sering kali menjadi kendala utama. Â Terlebih, saat ini banyak perusahaan cenderung memprioritaskan pelamar yang memiliki pengalaman, sehingga membuat lulusan baru harus bersaing lebih keras untuk menembus pasar kerja. Lulusan perguruan tinggi yang idealnya siap bekerja dengan kompetensi yang mereka dapatkan di bangku kuliah, kini dihadapkan pada pilihan sulit, yaitu menerima pekerjaan di luar bidang studi mereka atau menganggur sambil menunggu kesempatan yang lebih baik. Namun, banyak dari mereka yang akhirnya menerima pekerjaan di bawah kualifikasi yang mereka miliki atau memilih jalur pekerjaan mandiri seperti berwirausaha atau bekerja di sektor informal, mengingat tekanan ekonomi yang juga mereka hadapi. Bahkan di beberapa bidang, seperti teknologi informasi dan komunikasi, perusahaan sering kali lebih memilih individu yang memiliki keterampilan teknis yang langsung aplikatif, daripada lulusan yang hanya mengandalkan ijazah tanpa pengalaman atau portofolio kerja yang relevan. Hal inilah yang membuat lulusan perguruan tinggi sering kali merasa kesulitan untuk bersaing dengan para pekerja yang memperoleh keterampilan mereka melalui pelatihan mandiri atau program pendidikan non-formal yang lebih fleksibel.
Fenomena lain yang tak luput dari masalah pendidikan, tentu tak kalah penting untuk dibahas adalah kasus overqualification, di mana para lulusan memiliki kualifikasi yang lebih tinggi daripada yang dibutuhkan oleh pekerjaan yang tersedia. Kondisi ini bisa membuat perusahaan merasa enggan untuk merekrut mereka karena khawatir akan adanya tuntutan gaji yang lebih tinggi atau risiko pindah kerja yang lebih besar, karena mereka kerap kali dianggap "terlalu berpendidikan" untuk pekerjaan tertentu. Lagipula bagi sebagian besar lulusan, memiliki gelar sarjana atau bahkan pascasarjana tidak selalu berarti mereka dapat memperoleh pekerjaan yang setara dengan tingkat pendidikan mereka. Terkadang mereka bahkan terpaksa menerima pekerjaan di bawah kualifikasi mereka, seperti menjadi pekerja lepas atau bekerja di sektor informal. Hal tersebut dilakukan dengan satu harapan, yaitu agar mereka tetap memiliki pendapatan dan dapat memenuhi kebutuhan mendasar untuk hidup sehari-hari. Namun kembali lagi, dengan latar belakang pendidikan tinggi yang mereka tempuh tidak lagi relevan dengan pekerjaan yang mereka lakukan, tentu berujung dengan timbulnya masalah lain.
Pada akhirnya, kita harus menerima fakta bahwa fenomena pengangguran di kalangan lulusan universitas yang terjadi saat ini, mengisyaratkan adanya kesenjangan besar antara ekspektasi dan realita. Bahwa pendidikan tinggi tidak menjadi jaminan untuk mendapat pekerjaan yang layak. Masalah ini semakin kompleks, khususnya di tengah kondisi ekonomi saat ini. Meski pendidikan tinggi tetap diakui sebagai pilar utama dalam peningkatan kualitas hidup dan daya saing individu, kenaikan biaya pendidikan, tingginya inflasi, dan keterbatasan lapangan kerja menjadi isu utama digarap dalam dunia pendidikan.
Dengan adanya tantangan ini, maka dibutuhkan kesadaran masyarakat tentang relevansi dan keselarasan antara pendidikan berkualitas dengan kebutuhan nyata di lapangan. Masuk kembali kepada SDGs poin 4 yang menggarisbawahi pentingnya akses terhadap pendidikan yang berkualitas, tetapi kualitas tersebut harus mampu menjawab kebutuhan dan tuntutan era modern yang terus berubah. Melalui artikel ini, diharapkan adanya kesadaran nyata dari masyarakat dan pemerintah bahwa pendidikan tinggi di masa ini tidak hanya memberikan bekal akademis, tetapi juga menghasilkan lulusan yang mampu mengembangkan karier yang sesuai, berdaya saing, dan berkelanjutan dalam lingkungan ekonomi yang dinamis. Fenomena ini tidak bisa dipandang sebelah mata, karena dapat berakibat negatif pada motivasi kerja dan produktivitas mereka, jika lulusan yang telah berinvestasi dalam pendidikan tinggi dipaksa terus-terusan bekerja di posisi yang mungkin tidak sejalan dengan latar belakang akademis atau impian karier yang mereka idamkan. Hal ini dapat mengakibatkan frustrasi dan perasaan terjebak, yang pada gilirannya dapat berdampak pada kualitas hidup secara keseluruhan.
Perlu diingat, untuk mengatasi kesenjangan antara pendidikan dan dunia kerja, diperlukan kolaborasi lebih lanjut antara perguruan tinggi, pemerintah, dan sektor swasta. Baik dengan adanya program magang, pelatihan kompetensi, dan dukungan kewirausahaan bagi lulusan perguruan tinggi, bisa menjadi beberapa contoh inisiatif yang dapat membantu lulusan lebih siap menghadapi dunia kerja yang penuh ketidakpastian. Selain itu, skema kreatif bagi perusahaan yang mempekerjakan lulusan baru juga dapat menjadi solusi untuk meningkatkan daya serap tenaga kerja lulusan perguruan tinggi. Dari sisi pemerintah, upaya pengendalian inflasi juga berperan penting agar lapangan kerja dapat tercipta secara berkelanjutan. Saat inflasi stabil, daya beli masyarakat membaik, dan perusahaan pun memiliki ruang yang lebih besar untuk melakukan ekspansi dan meningkatkan perekrutan.