SETIAP memasuki akhir pekan terakhir di bulan Maret yang mana merupakan masa dimulainya peralihan iklim, saya teringat akan satu kegiatan kampanye lingkungan bernama Earth Hour (EH), salah satu kampanye Global  sebagai gerakan untuk merubah gaya hidup umat manusia yang diharapkan bijak dalam penggunaan energi khususnya energi lsitrik dalam rangka menyelamatkan bumi.
Symbol gerakannya yaitu mengajak umat manusia di seluruh dunia secara serentak bersama-sama mematikan listrik selama satu jam, mulai pukul 20.30 sampai dengan 21.30 malam. Hal ini dilakukan guna menurunkan kadar polusi cahaya lampu listrik terhadap keberlangsungan bumi.
Gerakan kampanye lingkungan EH Â yang selalu melibatkan kerelewanan terbesar di dunia tersebut, di dalamnya memilik berbagai banyak pilar gerakan lainnya, salah satunya adalah kampanye bersepeda sebagai sebuah energy terbarukan, solusi tanpa polusi.
Hampir tiap tahun penyelenggaraan EH khususnya di Kota Bandung, selalu dirangkai dengan kegiatan bersepeda untuk menjadi bagian dari sosialisasi kampanye gerakan EH, sekaligus kampanye bersepeda sebagai sarana mobilitas energi non emisi yang baik untuk kesehatan, lingkungan, dan transportasi.
Di Indonesia, khususnya di Kota Bandung, gerakan EH pertama kali dilaksanakan pada tahun 2010, diselenggrakan secara sederhana oleh sebuah radio swasta segmen anak muda dengan melibatkan sekelompok kecil pegiat lingkungan.
Baru pada tahun 2011, setelah gerakan EH ini di dukung sebuah Non-Governmental Organization (NGO) International bidang pelestarian flora dan fauna, sekelompok pegiat lingkungan di Bandung yang tergabung dalam wadah Jaringan Komunikasi Bandung Bijak Enenrgi (JKBBE) menyelenggarakan EH secara terkelola dan lebih menggema.
EH Bandung yang merupakan bagian dari EH Indonesia yang berpusat di Jakarta, selanjutnya  merekrut para pegiat lingkungan terutama dari kalangan muda seperti mahasiswa dan pelajar untuk menjadi bagian dari tim pelaksana atau relawan.
