Mohon tunggu...
kardianus manfour
kardianus manfour Mohon Tunggu... Editor - belajar mencintai kebijaksanaan hidup

mahasiswa filsafat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Senandung Kecil tentang RUU Larangan Minuman Beralkohol

13 November 2020   16:29 Diperbarui: 13 November 2020   16:35 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku adalah aku yang berasal dari Flores. Pada kesempatan ini, saya ingin berkomentar tentang rancangan RUU Larangan minuman beralkohol.  Sengaja saya menulis artikel ini tanpa mengunakan struktur yang baku  di mana terdapat latar belakang, isi dan penutup. Artikel ini sebagai semacam "curhat" yang terus bergulat dalam pikiran saya.

Saya menolak RUU larangan minuman beralkohol ini karena beberapa alasan  di bawah ini.

Pertama, seperti yang saya katakan di atas. Saya adalah orang Flores. Sebagian besar orang Flores bisa bertahan hidup  atau bisa menghidupi dirinya karena memproduksi moke. Moke adalah minuman tradisional yang beralkohol. Kita tidak akan menemukan kesulitan untuk mencari  di Google bagaimana keterikatan dan keterikatan orang Flores dan moke ini. 

Ada banyak orang tua bisa menyekolahkan anak-anak mereka hanya dengan memproduksi moke. Pertanyaannya adalah apabila RUU larangan minuman beralkohol ini disahkan, bagaimana nasib orang-orang Flores yang bisa hidup dari moke? Apakah pemerintah bisa memberikan pekerjaaan yang menjamin kehidupan mereka? Bagaimana dengan masa depan anak mereka? Apakah pemerintah bisa menyekolahkan mereka?

Kedua, bagi orang Flores, Moke adalah salah satu bagian dari simbol adat dan kebudayaan.  Moke dilihat sebagai minuman persaudaraan. Hal ini sudah diturunkan secara turun-temurun dari nenek moyang. Apakah moke bisa digantikan dengan minuman lain saat ada acara adat? Tentu hal ini akan menghilangkan esensi dari sebuah kebudayaan dan adat. 

Setidaknya hal ini yang saya tahu dari semiotika. Implikasinya adalah apabila pemerintah meresmikan RUU larangan minuman beralkohol ini sama saja menghilangkan salah satu esensi budaya Flores yang sudah mendarah daging sejak lama. Dalam filsafat budaya, budaya ada karena manusia ada. 

Apabila menghilangkan salah satu esensi budaya sama saja dengan menghilangkan salah satu esensi atau karakter atau itu yang melekat dalam diri manusia yang menghayatinya. Maka menolak moke salah satu minuman tradisional Flores yang beralkohol sama saja dengan menolak sebagain kedirian orang-orang Flores. Bukankah manusia dihargai secara penuh? Kata Satre, eksistensi mendahului esensi?

Ketiga, saya sangat terganggu dengan kata "menolak". Menolak berarti menghilangkan. Bagi saya sekiranya yang tepat dari RUU ini adalah membuat aturan dalam mengkosumsi minuman beralkohol. Alkohol tidak akan merusak apabila kita taat pada aturan mainnya. Untuk itu, RUU ini sebenarnya memberikan aturan main dalam meminum alkohol.

semoga sebelum pemerintah mensahkan RUU tentang larangan minuman beralkohol, pemerintah sudah memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun