Â
Sikap oportunistik yang sudah merambah ke mentalitas mahasiswa Indonesia berakibat melemahkan daya ketahanan bangsa dari dalam, membuyarkan rasa komitmen nasional, merenggangkan solidaritas terhadap sesama warga, dan, dengan demikian, membiarkan kesatuan dan keutuhan bangsa sebagai formalitas belaka. Itu semua terjadi karena diawali dengan anggapan yang tidak memperhatikan dan bahkan mengingkari prinsip-prinsip sebagai norma hidup yang harus ditaati, dengan menyatakan bahwa setiap perbuatan adalah baik selama berguna bagi seseorang dan bermanfaat bagi pencapaian kepentingan pribadinya. pada dasarnya tidak ada nilai-nilai dasar, termasuk nilai-nilai Pancasila yang wajib diterima untuk mengatur kehidupan secara normatif.
Â
Jelaslah sikap yang pragmatis itu membuka lebar-lebar merajalelanya nafsu serakah di segala bidang. Dengan memprioritaskan nafsu keserakahan itu dalam perilaku serta peri kehidupan, timbul anggapan bahwa tujuan menghalalkan segala cara, tiada nilai-nilai moral sebagai pedoman hidup, dan tiada hati nurani diindahkan lagi karena kesadaran moral sudah tumpul dan bahkan punah. Kondisi oportunistik semacam itu mendorong seseorang untuk bertindak tidak jujur, tidak adil, dan bahkan bertindak semena-mena dengan menyalahgunakan wewenang, menjalankan KKN, dan tidak segan-segan menjalankan kekerasan dan kriminalitas.
Â
Disposisi mental seperti itu membuat seseorang mudah berbohong, munafik, sanggup berkhianat terhadap rekan sahabatnya, hingga tega menjual bangsa dan tanah airnya. Pada kenyataannya ia kehilangan martabat serta harga diri sebagai manusia. Meskipun dikelilingi oleh kekayaan serta jabatan berlimpah, ia tetap bukan lagi manusia yang sebenarnya. Itulah bahaya oportunisme yang dapat menyebabkan bangsa dan negara terpuruk sampai ke titik yang rendah hanya karena ulah elite masyarakat, elite politik, dan elite kepemimpinan bangsa tertentu yang tenggelam dalam kubangan oportunistik. Â Perlu disadari bahwa kondisi oportunistik ini memberi peluang yang makin besar bagi dominasi kelompok kepentingan global terhadap kelompok bangsa-bangsa yang miskin, menderita, dan tersingkir.
Â
Oleh sebab itu, kalau kita ingin mengatasi keterpurukan bangsa dan berhasil membangun bangsa seutuhnya, kita perlu mengusahakan peningkatan ketahanan budaya bangsa dan mengintegrasikannya dengan bentuk-bentuk ketahanan di bidang lainnya melalui tindakan-tindakan komunikatif  dalam praksis sebagai wujud kenyataan riil yang berinspirasikan pengetahuan dan kehendak emansipatoris.
Â
 Fragmentasi ketahanan bangsa dalam setiap bidang kehidupan berakibat fragmentasi pula dalam keberhasilan pembangunan. Mahasiswa sebagai penerus bangsa bisa merangkaikan keadilan sebagai sebuah simfoni. Keadilan sebagai sebuah simfoni mengatakan kebenaran bahwa tata hidup bersama itu bagai orkestra. Ketika sistem layanan publik berjalan dengan baik dan harmonis, saat itu terdapat keindahan dalam tatanan.  Adil menegaskan kebenaran bagaimana sistem hidup bersama harus ditata sedemikian rupa. "Tatanan disebut adil, ketika kehidupan dan keluhuran martabat setiap manusia dibela dan dimuliakan."[6]
Â