Lama sekali saya tidak mengisi lembar Kompasiana ini. Tetiba saya tergerak untuk menulis. Tulisan ini mencoba me-review ulasan Fladimir Herlambang di NUGres.
Dalam artikel pada 4 September 2023 itu, Rekan Fladimir mengisahkan kesuksesan sebuah event yang digelar oleh Pimpinan Anak Cabang (PAC) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPNU IPPNU) di Duduksampeyan, Gresik.Â
Event tersebut adalah Turnamen Electronic Sport (E-Sport) Mobile Legend. Nah, dari sekian kisah, yang bikin saya tertarik adalah pendapat Ketua IPPNU Duduksampeyan, rekanita Rikha. Ia mengharapkan agar penghobi e-sport tidak memberi kesan negatif dalam dunia gaming.
Saya menyetujuinya. Gambaran yang sangat konkret sekaligus valid. Namun, tentu saja ada tantangannya cukup berat.
Saya bilang ajakan itu tepat lantaran potret ujaran kebencian, makian, umpatan, kata-kata kotor, bahkan kalimat menghakimi, seperti sesuatu hal yang pelan-pelan dianggap "kewajaran". Wajar, dalam konteks dunia per-gaming-an.
Kewajaran gaya bahasa yang menyertai inilah justru tantangannya. Akutnya kelakar gaming yang kerapkali "kurang etis" itu memengaruhi interaksi sosial.Â
Walau nih ya, sedang enggak memainkan game. Rasanya, diksi para remaja bahkan anak-anak kini, kita tahu lah apa saja misalnya, juga kian hari kian memprihatinkan.
Saya pikir, ini karena waktu yang lama berinteraksi dalam dunia game. Saling bertukar kelakar pendek, bernada sergahan, nada tinggi kian hari dianggap wajar.
Dan, khawatirnya hal-hal yang wajar bagi mereka itu kebawa saat berinteraksi dengan orang tua hingga guru. Tentu saja hal ini tidak patut.
Saya sangat bangga, masih ada secercah harapan, bahwa beberapa remaja dan kalangan pelajar NU itu memberikan edukasi. Mendorong gerakan santun dalam bermain. Tidak larut dalam keseruan.