Selama 10 bulan, saya dikepung pandemi Covid-19 yang melanda di Indonesia maupun di mancanegara. Selama ini saya aktif mengikuti webinar yang diselenggarakan oleh Kemdikbud maupun di luar Kemdikbud. Salah satunya webinar yang diselenggarakan oleh Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) dan aktif mengikuti lomba-lomba Puspeka, seperti Blog, Vlog, dan Puisi.Â
Melalui semua webinar yang diselenggarakan Puspeka, merengkuh ilmu yang bermanfaat dan menambah wawasan, antara lain tema "Anti-Kekerasan Berbasis Gender" dan "Kampus Merdeka dari Kekerasan Gender." Kedua tema ini merupakan hal baru bagi saya dan menarik untuk dipelajari serta dipahami serasa membuka mata saya akan pentingnya pengetahuan di luar sekolah. Kekerasan Berbasis Gender adalah perbuatan yang mencederai atau mengecewakan orang lain, seperti mengejek yang berbasis ras dan kekurangan fisik, melukai hati maupun fisik dengan cara memukul, menghina, dan perundungan atau disebut "bullying", termasuk "nyinyir" kepada orang lain. Hal ini terkadang dilakukan teman-teman maupun orang lain tanpa berpikir terlebih dahulu atau sudah menjadi kebiasaannya. Mengontrol diri sendiri merupakan salah satu tindakan yang penting dan bermakna sehingga muaranya pandai bertingkah laku serta mengambil keputusan yang bijak untuk kebaikan orang lain.Â
Mengapa mengontrol diri sangat Penting? Menurut psikolog Analisa Widyaningrum, kita tidak bisa mengontrol orang lain, kita yang harus mempunyai cara pandang yang positif. Ketika saya memantaskan diri atau baik, maka teman yang datang adalah yang pantas atau baik untuk menjadi sahabat. Sejak kecil hingga sekarang, saya dan kedua orang tua mempunyai teman serta sahabat yang berbeda agama dan suku, tetapi kami saling menghormati dan menghargai perbedaan tanpa menyakiti.
Menurut Gisella Tani Pratiwi (Psikolog dari Yayasan Pulih, dalam Webinar Anti Kekerasan Berbasis Gender), banyak ketimpangan gender rentan pada anak karena pola pikir anak sederhana, anak dianggap objek/hak milik, sikap permisif, dan kurang memahami konsep KTA (kekerasan terhadap anak). Biasanya kekerasan Gender sering terjadi di kalangan remaja (Usia 10-18 tahun). Salah satu tempat yang menjadi ladang subur kekerasan gender adalah reuni. Reuni sekolah atau teman sewaktu kecil sudah menjadi acara yang lazim bagi remaja, bahkan saat ini reuni menjadi "Rumah Singgah" alias tempat nongkrong bagi para remaja. Reuni jika sebatas ajang silaturrahim kepada teman-teman yang sudah lama tak berjumpa dan tempatnya fleksibel, tidak harus di Cafe masih wajar. Akan tetapi reuni "zaman now" berpotensi memicu kekerasan gender karena cenderung ke hal-hal yang negatif, seperti nobar film kekerasan, perundunganan terhadap teman, dan "ngeprank" bisa kekerasan gender. Â Â Â Â Â
Pada masa Pandemi Covid-19 ini, kekerasan gender lebih berbahaya karena mengarah pada sistem Kekerasan Berbasis Online (KBO). Sistem KBO ini terdapat di media sosial, seperti Instagram, Facebook, Twitter, Tik-Tok, dan link yang invalid (tidak resmi). Sistem KBO ini berkembang secara luas dan mengumbar kekerasan yang menjurus menghina orang lain dengan memposting yang tidak layak dilihat dan mengomentari orang lain secara vulgar. Jebakan sistem inilah yang harus kita waspadai, maka berhati-hatilah bahwa apapun yang kita lakukan selalu berdampak kepada orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H