Di luar petang, di dalam remang-remang tanganku berlarian sedikit memegang senja dari tombol alif hingga ya’, senandung buana shalawat mengiris sunyi atas kongkok angsa dari pintu kamar, gemetar tubuhku pecahkan gelas, bayanganku menari di gemerecak madu yang kelam mengental, asap semakin menebalkan mataku dengan buta, sinar laptop semakin buram, kertas-kertas jatuh jumpalitan dari tangga kamarku juga dalam laptopku atas narasi yang tak pernah putus.
Jangan ganggu aku, aku sedang semedi mendirikan lampu conglet di-atas tiang-tiang listrik.
Jangan ganggu aku, siapa tau aku telah sedang tidak ada.
Aspal kini sunyi dari girang-girang serigala jalan perampok malam, pintu-pintu rumah tertutup, mengiringi katupan gemeretak gigimulutku_
Surabaya maghrib, kau tahu kelelapanmu masih menyisakan segilintir anak yang datang membawa nyala lilin di pinggirnya tergeluntur cahaya dari roda sepeda, tubuhmu yang gelap, tak mampu kuberi warna, hanya sebutan puisi lewat angin dengan ritme sederhana, kau mungkin dapat memetik rangka runcing itu.
Surabaya maghrib, atau kau dapat mengubit kilsan peristia, disini aku punya sisa butiran senja, bisa kau aduk dengan air keruh sungaimu juga matamu itu.
14-01-2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H