Mohon tunggu...
Karaeng Caddi
Karaeng Caddi Mohon Tunggu... -

penonton yang lagi suka bikin catatan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Hukum, Sah Sebagai Komoditi Unggulan, Akankah??

29 Juli 2011   09:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:16 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika anda berada dijalan raya dan menemui pengendara yang keserempet atau kecelakaan, situasi akan sedikit macet ketika pengendara saling berdebat di tengah jalan karena sama merasa benar, pada saat itulah kita akan mudah dengarkan perkataan dari pengendara lainnya; sudahlah... jangan berdebat, segeralah berdamai sebelum petugas datang.

Salah satu rahasia umum, di saat anda kehilangan barang seperti radio atau ayam maka siaplah untuk kehilangan televesi atau sapi atau barang yang lebih mahal harganya dari yang hilang, apabila barang anda ingin dicarikan dan parahnya belum tentu ditemukan, ditemukan pun tidak langsung bisa dibawa pulang tanpa "uang lebih".

Dalam posisi tersebut di atas yang belum tentu anda melanggar tetap bisa merasakan peran/posisi sebagai pelanggar hukum sehingga tetap merogoh kocek. Bagaimana dengan orang yang memang melanggar seperti membawa sajam, berjudi, mengkomsumsi narkoba, terkena rasia dll. Tentu tidak logis apabila tanpa "uang lebih" karena mereka mengharapkan keadilan atau menginginkan hukuman minimal.

Berperkara untuk mendapatkan keadilan, anda akan melewati tiga aparat penegak hukum diantaranya polisi - Jaksa- Hakim, beberapa hari yang lalu seorang pelajar SMA kelas tiga (baca: si.X) berkendara ke sekolah menggunakan sepeda motor, sebelum tiba di sekolahnya si.X melewati sweeping kendaraan bermotor yang berjarak hanya beberapa meter dari sekolahnya, si.X tidak diberhentikan untuk diperiksa namun sialnya datang juga setelah parkir di sekolah karena seorang oknum berpakaian preman yang memang adalah petugas (baca: si.J) mendatanginya dan memeriksa kelengkapannya, si.X menolak untuk diperiksa karena merasa tidak lagi sedang berkendara dan petugasnya tidak berseragam dinas, teman-temannya yang sementara parkir tidak diperiksa namun si.J memaksakan dan motor si.X pun disita, dibawa ke kantor petugas di tingkat kecamatan kemudian si.X ditilang (warna merah) dengan ancaman melanggar pasal ... dan ... (tidak bisa memperlihatkan STNK & SIM saat diperiksa) dengan total denda Rp. 1.500.000,- . dalam kasus ini si.X & si.J sama memiliki pelanggaran, namun apalah daya si.X yang tidak memiliki keluarga dan koneksi di tempat kerja si.J, keesokan harinya si.X mendatangi kantor si.J, setiba di kantor si.J, si.X pun mempertanyakan ke komandan si.J atas kasusnya, komandanya pun menanyakan; tolong tunjuk yang mana yang menilang anda dan si.X pun menunjuk si.J., komandan si.J malah menawarkan keringanan (baca:beban) dari jumlah yang tertulis di surat tilang dengan sedikit tekanan; daripada ikut sidang tentu minimal 1 juta kamu bayar, si.X p tetap menolak dan pamit karena akan masuk sekolah, sebelum meninggalkan kantor tiba-tiba di panggil oleh si.J ke sudut kantor yang ternyata hanya untuk mendengarkan ancaman dari si.J; awas kamu ya !! kamu memang salah !! kalau masih protes-protes saya tinju kamu!! nanti kalau ketemu lagi saya tilang kamu !!! apa?? mau melawan saya ya??. dalam proses berikutnya pimpinan si.J memberi keringanan (baca:beban) pembayaran Rp. 500.000, apabila tidak mau silahkan menunggu di pengadilan tanggal 5 Juli 20011. (apabila berlanjut ke pengadilan akan ditambahkan kisahnya di Pengadilan).

Tiap kasus ceritanya tentu lain namun kemiripan cara kerja oknum yang bermain di lingkungan penegakan hukum pada dasarnya adalah mirip, di hampir semua kasus para oknum tersebut dapat memainkan ancaman hukuman terhadap para pelanggar hukum, wilayah ini memang sangat subjektif sehingga ancaman dapat ditambah, dapat dikurangi, dapat dimaksimalkan, dapat diminimalkan.

Begitu banyaknya urusan dinegeri ini yang sesungguhnya adalah produk hukum atau terkait dengan produk hukum, dan kesemuanya membutuhkan "uang lebih" padahal prilaku ini bertentangan dengan Hukum itu sendiri, sadar atau tidak di sekeliling kita, hukum telah menjadi KOMODITI yang nilai transaksinya sangat besar dibandingkan dengan komoditi unggulan yang sesungguhnya.

Akankah kita, pemerintah berikut aparat penegak hukum akan menyerah dengan situasi ini, ataukah kita terus berpura pura bahwa ini hanyalah cerita belaka, ini hanyalah kebohongan, fitnah, sementara proses jual beli hukum (baca:pasal) berjalan terus menerus.

Saatnya jujur mengakui dan merubah segalanya tetapi apabila kita menyerah kenapa tidak mengambil untung dari kondisi ini, bukankah prosesnya begitu mudah, kita hanya butuhkan kesepakatan para wakil rakyat dan pemerintah untuk membuatkan aturan segingga secara resmi Hukum menjadi Komoditi, akhirnya kita bebas memperjualbelikan salah satu produk yang bernama HUKUM tanpa takut ancaman hukumam dan memberi keuntungan yang sangat besar berupa pajak/komisi/fee,dll. ke negara melalui orang/perusahaan yang memperjualbelikan hukum itu.

Hanya sebagian kecil diantara orang yang berkasus/berperkara mendapatkan proses yang objektif atau  mendapatkan aparat penegak hukum yang objektif, ini realitas tetapi membuktikannya susah karena akan membuat hidupmu makin susah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun