Hari pahlawan 10 November yang akan datang, harusnya menjadi hari penting bagi masa depan PSSI serta masa depan pesepakbolaan nasional di kancah sepakbola dunia. Hari itu induk sepakbola se-Indonesia akan memilih ketua umum baru, pemimpin baru, setelah lebih dari setahun keanggotaan PSSI dibekukan FIFA (Federation International Football Asosiasion), karena terjadi konflik internal.Â
Insan sepakbola akan memilih pemimpin yang bakal menjadi nakoda kapal bernama PSSI dan akan membawa squad Timnas Indonesia berlaga di depan mata dunia, dalam rangka mengemban amanat 250 juta rakyat Indonesia.
Angan angan atau ambisi ini bukan khayalan kalau PSSI dipimpin oleh orang yang tepat. Orang yang mengerti sepakbola dari A sampai Z, bukan orang-orang yang menjadikan PSSI sebagai tunggangan politik. Untuk itu, tidak ada kata lain, kepenguruan PSSI ke depan harus diserahkan kepada mantan pemain sepakbola, yang sudah pasti mengerti seluk beluk sepakbola secara detil.
Karena setelah perhelatan ini, masyarakat sepakbola Indonesia akan melihat, dibawa ke mana persepakbolaan nasional ini. Apakah dibawa terbang mencapai puncak prestasi atau sebaliknya dijerumuskan ke dalam jurang yang paling nista. Semua ini akan ditentukan oleh ketua umum dan jajaran pengurus PSSI ke depan.
Kalau Ketua Umum PSSI dan pengurus PSSI dipegang oleh ahlinya, yakni mantan pemain sepakbola, niscaya tim sepakbola Indonesia bisa mencapai kejayaan yang didambakan selama berpuluh puluh tahun oleh rakyat Indonesia.Â
Tapi sebaliknya, jika PSSI dipimpin lagi oleh politisi atau para pemain politik yang hanya mengerti sepakbola secara kulit saja dan lebih banyak bermain politik di tubuh PSSI, jangan harap timnas Indonesia akan dikenal apalagi disegani di kancah internasional. Ini bukan zamannya lagi bagi sepakbola Indonesia hanya berkutat di liga domestik, tapi waktunya berbicara sepakbola di tingkat internasional bahkan dunia.
Seperti yang kita lihat sekarang, apa yang sudah dicapai PSSI selama 86 tahun berdiri. Pernahkan Timnas Indonesia menjadi juara Asia? Tidak pernah sama sekali. Padahal indonesia adalah negeri berpenduduk ratusan juta manusia. Kenapa begitu sulit mencari 20 orang pemain yang berskill. Prestasi gemilang timnas Indonesia adalah dua kali meraih medali emas SEA Games, yakni SEA Games 1987 yang diselenggerakan di Jakarta dan SEA Games Manila, Philipina 1991. Â
Bertanding di depan 150 pasang mata di Stadion Utama Senayan (sekarang GBK), timnas sepakbola Indonesia untuk pertama kalinya menjadi juara SEA Games melalui gol tunggal Ribut Waidi ke gawang Malaysia. Pada SEA Games 1991 Timnas Indonesia kembali meraih medali emas setelah mengalahkan Thailand 4-3 melalui drama adu penalti. Dan prestasi lainnya diraih Timnas U-19 yang berhasil menjadi juara AFF pada 2013. Setelah itu tak ada lagi, kecuali runner up pada tahun 2000, 2002 dan 2005.
Kenapa begini? Apa yang salah dari persepakbolaan nasional kita? Pembinaankah? Masalah danakah atau ada faktor lain yang menghambat kemajuan sepakbola Indonesia. Kenapa kita tidak belajar dari negara-negara di Afrika yang penduduknya belasan juta, tapi mampu melahirkan pesepakbola handal kelas dunia, mampu membangun tim sepakbola yang bisa berlaga di Piala Dunia.Â
Lihatlah, siapa yang tahu negara bernama Liberia sebelum ada pemain AC Milan berkulit legam bernama George Weah, merumput di Liga Italia. Siapa juga yang negeri bernama Kameron sebelum timnas mereka berlaga di Piala Dunia 1990 di Mexico. Dari sana muncul nama Roger Mila, Omam Biyik dan kini Eto'o. Drogba (Pantai Gading) dan sejumlah nama besar yang lahir dari negeri kecil. Kenapa mereka bisa, kita tidak bisa sama sekali.
Sama seperti film, sepakbola adalah alat propaganda paling ampuh untuk mengangkat nama bangsa. Untuk meningkatkan citra bangsa di mata dunia. Memperkenalkan objek wisata dan sebagainya yang bisa mendatangkan devisa negara. Dan sepakbola pun sudah menjadi bagian dari industri.