Rasanya tidak berlebihan jika saya, mungkin juga Anda menjuluki Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar yang juga mantan ketua umum Partai Golkar dan mantan Ketua DPR, Akbar Tandjung sebagai seorang maestro.
Maesro yang dalam bahasa Italia artinya tuan atau pemimpin, saat ini kerap digunakan untuk menunjukan kebesaran atau keahlian seseorang di banyak bidang, terutama di bidang musik atau seni.
Akbar Tandjung adalah salah seorang putera terbaik Indonesia yang piawai atau ahli di bidang politik. Akbar Tandjung yang lahir di Sibolga Sumatera Utara 14 Agustus 1945 sudah berpolitik sejak masih kuliah di Universitas Indonesia. Dia berandil besar atas berdirinya Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) pada 1973. Dan pada 1978-1981 Akbar menjadi ketua umum DPP KNPI.
Kiprah atau jam terbang Akbar Tandjung di kancah politik tidak diragukan lagi. Bang Akbar, demikian ia akrab disapa, merupakan salah satu politisi besar di Indonesia. Ia mempunyai perjalanan karir politik yang gemilang bersama Partai Golkar. Sebagai bukti, salah satu titik puncak karir politik Akbar Tanjung adalah ketika ia menduduki kursi ketua DPR pada era Pemerintahan Abdurahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri, 1999-2004. Saat bersamaan Akbar juga menjabat ketua umum Partai Golkar. Sebelumya, Bang Akbar juga pernah menjabat Menpora (menteri Pemuda dan Olah Raga), Menpera (menteri Perumahan Rakyat) dan Mensesneg (Menteri sekretaris Negara).
Di tangan Akbar Tadjung, Golkar pasca Orde Baru yang berganti nama menjadi Partai Golkar dengan paradigma baru, menjadi pemenang Pemilu 2004 dengan perolehan suara 24.480.757 suara atau 21,58% dari keseluruhan suara sah. Dan Akbar meraihnya bukan dengan berpangku tangan, tapi dengan pengorbanan dan dengan modal kepiawaiannya berpolitik.
Disitulah seorang Akbar Tandjung menunjukan kelasnya sebagai seorang pemimpin berkaliber. Ia menunjukan karakteristik seorang pemimpin nasional yang berpolitik dengan akal sehat dan hati yang sejuk serta jiwa yang tenang. Santun dalam berbicara dan bertutur kata, tidak meledak-meledak, tidak emosional, beretika dalam menghadapi lawan-lawan politik, pancasialis, religius. Tidak ada dendam, ibadahnya tekun, rumahtangga tenang, teduh. Tak satu hembusan angin pun menerpa rumah tangga sang maestro politik ini.
Awal 2001 saat pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid memasuki tahun kedua, terjadi perseliihan yang kuat antara Presiden dengan DPR. Semakin hari pertentangan DPR dengan lembaga kepresidenan juga makin transparan. Banyak teguran DPR yang tidak diindahkan Presiden Gus Dur.
Kemudian DPR mengeluarkan Memorandum I untuk Presiden pada 1 Pebruari 2001 yang disusul dengan Memorandum II pada  30 April 2001. Inti dari memorandum tersebut dibalas Presiden Gusdur dengan mengeluarkan dekrit presiden pada 23 Juli 2001 yang berisi 3 point.
Pertama, membekukan MPR dan DPR. Kedua, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan-badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemilu dalam waktu satu tahun. Ketiga, menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung.
Setelah keluar dekrit itu, massa pendukung Gus Dur bergerak untuk menekan MPR agar tidak mencabut mandat Presisden Gus Dur.
Di Surabaya massa pro Gus Dur dari berbagai penjuru kota di Jawa Timur, berbondong-bondong memenuhi jalan-jalan utama Surabaya. Mereka menuntut Golkar dibubarkan, dan mengancam akan mengerahkan massa lebih besar lagi, kalau sampai Gus Dur dipaksa turun. Kantor Golkar Jawa Timur dirusak dan dibakar.
 7 kantor DPD Golkar di sejumlah daerah di Jawa Timur pun ikut dirusak.