"Sebuah tulisan kecil tentang para penghayat ajaran leluhur"
Awal saya menulis tulisan ini adalah ketertarikan saya terhadap sebuah acara debat di sebuah stasiun televisi swasta nasional yang membahas pro kontra kolom agama di KTP. Tapi, ada satu hal yang menarik perhatian saya, tentang keluhan para penganut ajaran Sunda Wiwitan yang kesulitan Administrasi karena kepercayaannya. Kemudian saya berpikir, bukankah mereka penganut ajaran asli Nusantara? Bukankah negara menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan? Tentu dengan cara pikir seorang pelajar ingusan.
..........
Sunda Wiwitan adalah satu dari sekian banyak kepercayaan asli yang berkembang di Nusantara. Namun, hingga saat ini tak satupun kepercayaan asli Nusantara yangdiakui sebagai Agama oleh pemerintah. Kepercayaan asli Nusantara ini hanya digolongkan sebagai “aliran kepercayaan”.
Negara sudah menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan serta mengembangkan kebudayaan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai berikut:
Pasal 28E ayat (1):
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Pasal 28E ayat (2):
“Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”
Pasal 29 ayat (2):
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu.”
Pasal 28I ayat (3):
“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
Tapi, apakah para penghayat kepercayaan benar-benar bebas dari ketidakadilan?
Kesulitan Administrasi
Sebelum era reformasi, untuk mendapatkan dokumen-dokumen sipil seperti KTP, akte kelahiran, maupun akte nikah, warga negara harus memilih satu dari lima agama (sekarang enam ditambah Kongfuchu) yang diakui saat itu (Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan Buddha). Para penganut kepercayaan dipaksa untuk memilih salah satu agama tersebut.
Setelah pemerintah meresmikan Undang-undang no.23 tahun 2006, para penghayat kepercayaan boleh mengosongkan kolom agama di KTP. Masalah selesai? Belum. Para penghayat masih kesulitan mendapatkan dokumen-dokumen administratif kependudukan. Penghayat Sunda Wiwitan contohnya. Pernikahan dalam Sunda Wiwitan dilakukan oleh orang tua, bukan pemuka agama. Inilah yang menjadi kendala ketika pernikahan didaftarkan di KUA.
“Ketika anak-anak kami lahir seolah-olah perkawinan kami dianggap liar, otomatis dalam akte kelahiran itu hanya tercantum anak dari seorang perempuan. Bahkan dalam akte kelahiran, kalaupun ada nama bapak, itu tercantum redaksinya adalah diatas pengakuan akta anak. Jadi bapak biologis itu harus menandatangani surat pernyataan, bahwa itu bukan anak aslinya tapi anak angkat” beber Dewi Kanti, seorang penganut Sunda Wiwitan dalam Debat TvOne tanggal 9 Desember 2013.
Menurutnya, yang terpenting bukanlah pengakuan sebagai agama, melainkan perlindungan hak-hak mereka sebagai warga negara, dalam hal ini melestarikan ajaran leluhurnya. Yang dipertanyakan adalah mengapa para penghayat tidak bisa memunculkan identitas mereka dalam KTP.
Dewi memang kurang sependapat mengenai pengosongan kolom agama bagi para penghayat. Menurutnya, ketika kolom agama diberi tanda “-“ akan memberikan stigma memberikan kesan “tidak bertuhan” kepada mereka. Ditambah pemahaman kebanyakan masyarakat bahwa penganut kepercayaan tidak beragama. Stigma inilah yang memberi tekanan psikis sehingga para penghayat kesulitan menanamkan spiritualitas leluhur kepada anak-anak mereka. Padahal menurutnya, Sunda Wiwitan adalah tuntunan hidup yang bagi mereka adalah Agama.
Dewi menambahkan, di Indonesia ada banyak Agama lokal yang sudah ada sebelum negara ini ada. “Agama ini bukanlah Agama yang baru muncul dan harus didaftar. Agama ini atau keyakinan kami ada sebelum republik ini ada. Jadi untuk apa mendaftar ulang?” tambah Dewi.
Dicantumkan Sebagai Identitas
Kasus para penghayat yang belum bisa mencatat akta perkawinan akibat pengosongan kolom agama di KTP juga diamini oleh peneliti Freedom Institute, Ulil Absar Abdalla. Menurutnya, Penggolongan ‘agama yang diakui dan tidak diakui’ dapat mencederai kebebasan beragama dan berkeyakinian di Indonesia. Istilah agama yang diakui memang sempat ada pada era Orde Baru lewat surat edaran mendagri no.477/75054 tahun 1978. Namun pada era Gus Dur dihapuskan lewat suatu keputusan presiden. Ulil menambahkan negara tidak berhak menentukan agama yang diakui atau tidak diakui, seperti dalam pasal 64 Undang-undang no.23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dimana muncul kata “agama yang diakui”.
Meski demikian, dirinya menyambut baik undang-undang tersebut karena menandakan kemajuan dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan, meski belum sempurna. “Menurut saya opsinya dua, kalau mau mencatatkan kolom agama, semua boleh dicatatkan. Kalau tidak, ya sebaiknya dikosongkan saja,” paparnya. Ulil berpendapat akan lebih fair apabila mengakui kepercayaan agar para penghayat merasa sebagai bagian dari bangsa.
Hal senada diungkapkan oleh Arswendo Atmowiloto. “Apa sih susahnya kepercayaan 237, tulis saja kenapa sih?” imbuhnya di acara Debat TvOne tanggal 9 Desember 2013. Menurutnya, yang butuh KTP sebagai identitas adalah individu per individu. Mengapa negara yang sibuk menentukan Agama yang boleh ditulis dalam KTP?
Tidak ada diskriminasi
Pada acara yang sama, hadir pula bapak Irman selaku Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil serta politisi PKS, Jazuli Juwaini. Menurut Irman, dengan adanya Undang-Undang no.23 tahun 2006, apapun kepercayaannya dapat dilayani untuk pembuatan dokumen administrasi kependudukan. Sebelum adanya undang-undang ini rakyat harus memilih lima agama yang diakui untuk dapat dilayani.
Menurutnya lagi, UU no.23 tahun 2006 ini adalah hasil keputusan bersama. Jika ada keluhan, boleh diajukan untuk kemudian direvisi. Sementara Jazuli menegaskan bahwa UU no.23 tahun 2006 ini bukan menolak atau mengesahkan suatu kepercayaan. Menurutnya undang-undang ini bicara soal catatan administratif, bukan soal pengesahan sebuah agama.
Tetapi beliau juga menegaskan bahwa tidak boleh ada warga negara yang tidak mendapat akta baik nikah maupun kelahiran. Tidak boleh ada diskriminasi dalam pelayanan administratif. Para penghayat kepercayaan (yang menurutnya ada 243 aliran kepercayaan) tidak boleh dipaksa memilih salah satu agama yang ‘diakui’ karena bertentangan dengan HAM.
Mengenai wacana pengosongan kolom agama, keduanya tidak sepakat karena beberapa hal. Yang pertama, Jazuli berpendapat bahwa Indonesia bukan negara agama tetapi juga bukan negara sekuler. Sementara menurut Irman, kolom agama di KTP berfungsi untuk pernikahan dan kematian.
Sementara Kemenbudpar mengaku tak melihat persoalan yang dihadapi para penghayat. Kepala Adat dan Upacara di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Julianus Limbeng mengatakan, jika ada kesulitan yang dialami kaum penghayat saat mengurus masalah yang terkait administrasi kependudukan, lebih akibat belum tersosialisasinya Undang-undang Administrasi Kependudukan. Ini bukan soal diskriminasi. “Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata ini kan lebih banyak membantu dan memberdayakan mereka. Kita lebih cenderung melihat mereka kepada aspek kebudayaannya. Mungkin tidak tepat mereka berada di bawah Kementerian kebudayaan dan pariwisata. Atau mungkin mereka ditempatkan di Kementerian Agama dan Kepercayaan misalnya,” kata Limbeng.
Agama lokal pun diminta menginduk kepada salah satu agama resmi yang diakui Negara. Dengan kata lain, kepercayaan mereka tak diakui. Organisasi untuk para penghayat itu dijamin bisa mempermudah pengurusan dokumen kependudukan, kata Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama, Departemen Agama, Abdul Fatah. Selain itu, Negara jadi lebih mudah mengawasi kegiatan penghayat.
Tapi bagaimana kalau ada penghayat yang tak masuk ke organisasi tersebut? Dewi Kanti, penghayat Sunda Wiwitan, memilih untuk tak bergabung. “Belum mengakomodir semua, baru mengakomodir penghayat yang berorganisasi. Tapi kalau masyarakat adat atau tradisional , itu gak butuh sebuah lembaga organisasi seperti Sikep atau Kanekes. Kami di Cigugur, itu sudah cukup kecewa dengan lembaga lembaga yang bisa saja dibubarkan saban waktu,”papar Dewi.
Agama Sunda Wiwitan, Mungkinkah?
Mengenai kemungkinan Sunda Wiwitan atau aliran kepercayaan asli Nusantara lainnya untuk menjadi sebuah agama yang diakui, Ketut Sudana,staff Universitas Pendidikan Indonesia yang juga pengamat keagamaan, memiliki pandangan tersendiri. Menurutnya, untuk diakui sebagai agama, selain niat baik juga tergantung dari kesiapan semua pihak.
Yang pertama adalah kemampuan pemerintah, apakah mampu mengakomodir dan menyiapkan sarana prasarana bagi 240-an aliran kepercayaan yang nantinya akan dijadikan agama resmi. Yang kedua adalah SDM untuk menjadi petugas dirjen agama tiap tingkatan sampai bimas-bimas untuk seluruh kecamatan di Indonesia. “Untuk menjadi petugas bimas minimal harus S1,” paparnya.
Sementara untuk sekedar menulis keyakinan di KTP, menurutnya perlu melihat Undang-Undang nomor 23 tahun 2006, apakah ada klausul yang memberi peluang untuk itu. Bila tidak ada di klausul lihat di tafsiran. Apabila tidak ada, bisa mengajukan Yudisial Review.
Untuk memperjuangkan hak-hak para penghayat, menurutnya lagi perlu adanya perjuangan kolektif dari kelompok yang merasa ingin mengajukan aspirasi. “Karena perjuangan satu orang lebih mudah dipatahkan,” demikian katanya. Selain itu, guna mencapai kesepakatan bersama, pihak yang memberi aspirasi (aspirator), pendamping aspirator, serta pemerintah harus duduk bersama dalam pembahasannya.
Penutup
Tentang hak-hak warga negara, dalam hal ini penghayat kepercayaan asli Nusantara, dalam hal administrasi kependudukan memang merupakan masalah yang kompleks. Perlu adanya peran semua pihak untuk mencari sebuah solusi agar tidak ada pihak yang merasa didiskrimiasi. Penting bagi negara untuk memfasilitasi seluruh warga negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ke-4; “...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia..” Para penghayat juga merupakan bagian dari NKRI, bagian dari indahnya Bhinneka Tunggal Ika, dan warga negara yang juga sama-sama membayar pajak.
Semoga tulisan ini dapat menjadi masukan bagi semua pihak untuk Indonesia yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H