Mohon tunggu...
Dony Ind
Dony Ind Mohon Tunggu... wiraswasta -

entah, \r\nentahlah siapa aku............\r\nyang kutahu isteriku senantiasa mengutukku, "God Verdomme Zich!"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Labirin Senjaraya Pasar Kembang

14 November 2014   03:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:51 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1415886488266263112

“It’s the honky tonk women...
And give me, give me, give me the honky tonk blues...”

Sayup terdengar suara emas Mick Jagger mengiringi hujan malam bulan november. Dingin membulat berlipat.

Ngampilan, Yogyakarta. Kamar kost 3x2m. Memburam kaca rias termakan waktu. Namun disana ada hidungku yang lumayan mbangir,  alis nanggal sepisan, gerai rambut melebihi bahu dan masih disempurnakan dengan bokong yang indah. Benar-benar indah. Duh Gusti, aku cantik. Secantik Cleopatra.

Sebagai perempuan kelas Kecamatan aku nyaris sempurna.  Tak salah memang jika dulu semua guru menaruh perhatian lebih padaku terutama guru-guru pria, terutama lagi Pak Guru Agama. Pak Budiman namanya. Ia selalu memintaku datang kerumah setiap sore untuk belajar agama. Pak Guru Budiman bilang bahwa aku adalah satu-satunya siswi yang potensial untuk memenangi lomba Cerdas Cermat Agama Tingkat Kecamatan Wonosari Gunung Kidul. Selalu setelah usai belajar Pak Guru Budiman mencium kedua pipi dan keningku. Tak jarang pula menyelipkan 2 lembar ribuan lusuh disaku bajuku. Kemudian ia berpesan bahwa aku harus lebih rajin lagi untuk menghapal ayat-ayat Tuhan. Bulu romaku berdiri manakala pak guru memberikan kecupan, lebih-lebih saat tangannya masuk di saku bajuku yang pada waktu itu aku memasuki usia 13 tahun.

Musim berganti. Bapakku gagal bertani karena harga bibit dan pupuk melangit. Aku harus berhenti sekolah dipertengahan kelas 8. Kata bapak dan ibuku, ada dua pilihan hidup yang harus aku eksekusi dalam hitungan hari;  menjadi istri muda Pak Gunawan yang blantik sapi dari kampung sebelah atau dipekerjakan sebagai babunya Bu Sari Wulandari di pusat kota Yogya. Setelah memperhatikan dan menimbang dengan seksama maka aku putuskan untuk menjadi babunya Bu Sari Wulandari. Sebetulnya ada keinginan untuk menjadi istri muda yang kesekian Pak Gunawan Blantik. Aku pikir sebagai istri muda, pastilah segala sesuatunya akan diutamakan dan diuntungkan. Kelak, aku tinggal ongkang-ongkang kaki sambil menghitung margin sapi. Namun niat itu aku urungkan mengingat Pak Gunawan Blantik merupakan jenis pemamah biak daun muda dan sudah barang tentu Pak Blantik terlalu uzur untuk gadis seusiaku. Pastilah kisut dan keriput terjadi disana-sini. Ih, geuleuh!

Timoho, Yogyakarta. Aku memulai karir sebagai babu dirumah gedong Bu Sari Wulandari. Belakangan kutahu bahwa keluarga beliau adalah Keluarga Berencana; ayah, ibu dengan 1 anak laki-laki dan 1 anak perempuan. Aku bekerja serabutan. Benar-benar serabutan sebagaimana termaktub dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dari urusan dapur hingga tempat tidur semua aku libas habis. Bahkan, kenakalan dan kenekatan kedua laki-laki dirumah gedong itu harus aku redam hingga padam. Jika tak salah hitung, lebih dari 65 kali dalam kurun waktu 3 hari, putra sulung Bu Sari Wulandari yang usianya setahun dibawahku meremasi tetekku tanpa kenal lelah. Sekali dua kali aku sewot, tapi lama-lama aku mulai menikmatinya.

Perlakuan si sulung terhadapku adalah wajar dan memang masih dalam pilar kewajaran kenakalan anak seusianya. Pelanggaran ambang batas wajar dilakukan dengan penuh kesadaran oleh Pak Sari, suami dari Bu Sari Wulandari. Setelah seharian muncul di banyak stasiun TV dengan salam pembuka dan penutup  “Merdeka! Hidup Rakyat!” ia pasti minta dilulur urat lehernya, yang tentu saja bablas ke urat-urat yang lain. Setelah basah ranjang, Pak Sari terlelap tanpa menghitung upah lembur yang seharusnya aku dapatkan akibat kerja tambahan tengah malam. Iapun lupa bahwa aku juga rakyat sebagaimana salam pembuka dan penutup yang senantiasa dikumandangkannya.

Waktu berlalu. Membatu. Beku. Itulah awal kebangkrutan moral yang merongrongku. Kini, secara definitif aku resmi menjadi Penyedia Jasa Sewa Kelamin di sepanjang Jalan Sosrowijayan Yogyakarta. Sebetulnya, kalau dipikir-pikir lagi, tak murni 100 persen aku merentalkan syahwat. Sesekali ada petugas yang memaksa aku masuk kedalam mobil patroli dengan dalih ketertiban umum. Sesampai di TKP, aku  dijadikan piala bergilir hingga Adzan Shubuh bergema. Mereka, para petugas hanya menggunakan ‘Hak Guna Pakai’ tanpa ada kewajiban membayar. Cuma-cuma!

14 Nopember 2014, 13.13 WIB. Kaca rias buram. Dinding kamar kusam. Terdengar uluk salam. Pak RT yang pensiunan tentara datang dengan map warna hijau. Aku merinding. Seperti yang sudah-sudah, Pak RT datang untuk minta jatah gairah dariku. Aku tak kuasa menolak lantaran ia mengancam akan mengusirku dari rumah kost atas nama agama dan norma susila yang berlaku umum di masyarakat. Sejurus kemudian, bayi yang tak lain dan tak bukan seorang pensiunan tentara masuk dalam ruang laktasi. Bagai bayi kecil yang dilanda dehidrasi akut, aku bisa pastikan bahwa dulu ia seorang serdadu yang amat tangguh. Dalam sekejap ranjang mulai menari kesana-kemari. Nafas berderu. Tak lebih dari 5 menit ranjang berhenti menari. Aku beranjak pergi ke air.

Labirin senja melingkupi kawasan Pasar Kembang yang basah. Di meja paling pojok sebuah kafe, kutanyakan pada sebotol bir yang menemaniku. Pantaskah bekas Guru Agamaku dulu mengisi kolom agama pada KTP? Patutkah aku, Pak Gunawan Blantik, Pak RT, suami Bu Sari Wulandari dan putera sulungnya tak mengosongkan kolom agama di KTP-nya? Juga bagi mereka-mereka kaum hipokrit yang telah membangkrutkan agamanya masing-masing sudah selayaknya tak menuliskan nama agama tertentu di KTP. Seharusnya para pemeluk agama lebih impresif daripada ekspresif. Pun agama bukanlah statistik an sich

Labirin Senjaraya Pasar Kembang. Dilangit amat jelas tersurat Lakum Dinukum Waliyadin. Namaste.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun