Mohon tunggu...
Kanzulia Arsyta Q. H.
Kanzulia Arsyta Q. H. Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Akuntansi UNEJ

Hidup bukanlah suatu kompetisi, jadilah versi terbaik dari dirimu sendiri :)

Selanjutnya

Tutup

Money

Indonesia Emas 2045 : Mungkinkah untuk Keluar dari Middle Income Trap?

18 September 2021   08:30 Diperbarui: 18 September 2021   09:00 691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini merupakan hasil resume materi kuliah umum bersama Prof. Arief Anshory Yusuf. 

Perekonomian Indonesia pada faktanya memiliki banyak aspek dan komponen yang terlibat di dalamnya. Topik pembahasan kita kali ini lebih menitikberatkan pada pembahasan long-term view yang mempertanyakan kemungkinan apakah Indonesia dapat keluar dari middle-income trap. Long-term horizon dalam hal ini fokus membahas cita-cita para pendiri bangsa yang menginginkan Indonesia menjadi negara yang adil dan makmur pada tahun 2045, tepat saat perayaan seratus tahun usia kemerdekaan. Menjadi suatu pertanyaan yang menggelitik di benak beberapa pihak, apakah di tahun 2045 nanti Indonesia mampu keluar dari middle-income trap? Pembahasan long-term horizon tidak semata menjelaskan pertumbuhan ekonomi dalam periode kuartal dan tahunan, bukan tentang siklus bisnis yang merupakan short-term fluctuation dari GDP, bukan pula berkaitan dengan serangkaian kebijakan fiskal dan moneter. Namun, fokus pembahasan dari long-term horizon ini adalah pertumbuhan ekonomi jangka panjang. 

Cita-cita para pendiri bangsa Indonesia dalam hal ini adalah fokus menciptakan kesejahteraan masyarakat, dilihat dari segi pendapatan per kapita dan distribusinya. Dalam hal ini yang diharapkan tidaklah terpusat pada GDP dengan nominal yang besar saja, karena GDP besar pun akan menjadi percuma apabila populasi penduduk juga membludak pada saat itu. Sejatinya, Indonesia dapat dikatakan telah mengalami sebuah kemajuan. Pada saat sebelum Indonesia dilanda pandemi Covid-19 kala itu, negara ini telah berhasil keluar dari lower-middle income dan berada pada upper-middle income sekalipun angka perubahan yang ditunjukkan sangatlah tipis. Namun, sangat disayangkan akibat Pandemi Covid-19, kondisi perekonomian Indonesia jatuh hingga membuat Indonesia kembali berada pada kondisi lower-middle income. Kondisi Indonesia tersebut sungguh sangat miris dan bahkan masih cukup jauh apabila dibandingkan dengan negara tetangga, yakni Malaysia yang sudah hampir mendekati kondisi high income. 

Indonesia saat ini tentunya membutuhkan adanya pertumbuhan ekonomi untuk  mencapai pendapatan per kapita pada kondisi upper-middle income hingga high income. Indonesia dalam hal ini mencanangkan untuk mencapai kondisi high income  sebelum tahun 2045. Namun, apabila ditinjau berdasarkan past trend dan proyeksi beberapa institusi internasional, Indonesia masih belum mencapai kondisi high income mengingat kondisi tersebut menunjukkan adanya respon pendapatan per kapita sekitar Rp12.000 per orang. IMF meramalkan bahwa pendapatan per kapita Indonesia hanya tumbuh sebesar 5.2% per tahun dan dalam hal ini target BAPPENAS yang ingin dicapai sebelum tahun 2038 mungkin tidak akan tercapai. Begitu pula jika kita pertimbangkan proyeksi dari lembaga-lembaga internasional lainnya, seperti PWC yang mempunyai proyeksi pertumbuhan pendapatan per kapita hanya sebesar 3.7% dan CEPII meramalkan hanya 2.6%. Tentunya untuk mencapai apa yang telah Indonesia cita-citakan, kita memerlukan pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan apa yang telah kita dapat selama dua puluh tahun terakhir dan proyeksi dari lembaga-lembaga tersebut. Angka 7% per tahun dalam hal ini akan sangat aman untuk mencapai tujuan menuju kondisi keluar dari middle income sebelum seratus tahun usia kemerdekaan. Menjadi sebuah pertanyaan besar mengapa lembaga-lembaga internasional, yang sebelumnya telah disebutkan, memberikan sebuah proyeksi bahwa Indonesia tidak bisa tumbuh sebesar yang telah diharapkan. 

Berbicara mengenai pertumbuhan ekonomi, faktor yang paling sering diperbincangkan adalah faktor permintaan agregat yang meliputi unsur konsumsi rumah tangga, konsumsi perusahaan, konsumsi pemerintah, serta ekspor dan impor. Lalu  jika kita berbicara mengenai konteks jangka panjang, sebenarnya yang menjadi faktor penentu untuk mencapai high income bukanlah faktor permintaan agregat semata, tetapi juga memperhatikan potensial GDP-nya. Apabila kita menginginkan pertumbuhan ekonomi yang konsisten dalam jangka panjang, maka kita membutuhkan adanya produktivitas, seperti halnya tenaga kerja yang dialokasikan ke inovasi produksi. Ketika kita ingin mencapai technological change, maka yang kita perlukan di sini adalah optimalisasi research and development. Di dalam teori ekonomi neoklasik, dijelaskan bahwa input akan menghadapi diminishing returns sehingga dalam jangka panjang ekonomi akan mencapai steady-state atau suatu kondisi yang tidak menunjukkan adanya suatu perubahan. Namun, menurut Romer, ada satu faktor yang tidak mempunyai diminishing return, yakni inovasi atau ide, karena bersifat non-rival and excludable. Bisa kita lihat pada data yang telah disajikan oleh Asian Productivity Organization tahun 2019, Cina mempunyai total produktivitas yang cukup tinggi. Faktor tersebutlah yang membuat perekonomian Cina tumbuh. Namun, hal tersebut sangat berbanding terbalik dengan kondisi Indonesia. Di Indonesia, total factor productivity periode tahun 2007-2017 justru negatif, sehingga menjadi penghambat bagi negara kita untuk mengalami pertumbuhan ekonomi per kapita secara konsisten. Selama periode dua puluh tahun terakhir, kualitas tren riset Indonesia menurun tajam, berbeda dengan Singapura yang tidak ada henti-hentinya meningkatkan kualitas risetnya. Berdasarkan ranking Global Innovation Index, kategori negara-negara ASEAN, Indonesia menduduki peringkat ke-7 dan dari komponen tersebut human capital and research menjadi faktor yang paling memprihatinkan. 

Kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam hal ini menjadi aktor utama yang berperan terhadap penciptaan suatu inovasi. Namun, realita yang terjadi justru sebaliknya, kualitas pendidikan di Indonesia masih patut dipertanyakan dan dievaluasi lebih lanjut. Berdasarkan pada hasil survey PISA, yakni berkaitan dengan evaluasi sistem pendidikan di dunia yang mengukur kinerja kelas pendidikan menengah, ranking Indonesia pada tahun 2018 masuk pada kategori bawah. Begitu pula dalam paper yang telah ditulis oleh Daniel dkk. menemukan bahwa numerasi level dari anak-anak Indonesia drop selama sepuluh tahun terakhir. Selain itu, masalah human capital tidak hanya terbatas pada masalah pendidikannya saja, tetapi juga berkaitan dengan masalah kesehatan. Di Indonesia pada tahun 2014, menunjukkan bahwa rata-rata sekitar 35% anak masih stunting. Berdasarkan informasi dari UNICEF, seorang anak yang mengalami stunting dia akan mengalami suatu hambatan dalam perkembangan otaknya. 

Ketimpangan yang terjadi di Indonesia pun menunjukkan angka yang masih cukup tinggi. Jika kita lihat dan kita ukur berdasarkan koefisien gini, Indonesia berada pada kategori middle di antara negara-negara di dunia. Namun, permasalahan mengenai ketimpangan pada faktanya tidak sesederhana apa yang telah diungkapkan oleh koefisien gini, masalah ketimpangan ini pada faktanya lebih menitikberatkan pada masalah pendapatan. Contohnya, saat pandemi Covid-19 banyak orang yang berasumsi bahwa peristiwa ini tidak terlalu berdampak pada ketimpangan karena angka koefisien gini hanya mengalami perubahan peningkatan sebesar 0,1. Perlu diketahui sejatinya yang menjadi aspek perhitungan tersebut ialah hanya konsumsi. Konsumsi orang-orang kaya pada masa covid pada faktanya mengalami suatu penurunan drastis, sedangkan orang-orang miskin mengalami sedikit peningkatan konsumsi karena adanya bantuan sosial dari Pemerintah Indonesia. Setidaknya dalam hal ini ada empat faktor yang menyebabkan atau menjadi sumber inkonsistensi perbandingan indeks gini antar negara, yakni perbedaan cakupan populasi, unit yang menjadi referensi seperti pendapatan rumah tangga per kapita, income definition, serta pengecualian pendapatan teratas. Tentu saja ketimpangan yang terjadi dalam suatu negara tidak baik untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjangnya. 

Berdasarkan buku teks Modern Economic Growth yang ditulis oleh Daron Acemoglu, di salah satu babnya beliau menyimpulkan mengapa suatu negara bisa tumbuh sedangkan negara lain tidak dapat tumbuh. Selain karena faktor inovasi, ada faktor lain yang berkaitan dengan Deep Determinants of Economic Growth. Menurut Romer, ada empat alasan mengapa suatu negara memilih untuk berinvestasi pada sektor RnD sedangkan negara lain tidak melakukannya, di antaranya karena faktor the luck hypothesis, the geography hypothesis, the culture hypothesis, and the institution hypothesis. Berbicara mengenai masalah geografi, seseorang yang hidup di wilayah subtropik dengan sumber daya alam melimpah biasanya cenderung malas untuk berinovasi karena mereka terlalu mengandalkan kekayaan alam yang mereka punya. Maju tidaknya suatu bangsa juga dapat dipengaruhi oleh rules and regulations yang berlaku di negara tersebut. Selama dua dekade terakhir, kualitas institusi di Indonesia, seperti halnya dalam oligarki dan pemberantasan korupsi pun pada faktanya masih stagnan dan belum menunjukkan adanya suatu perbaikan sistem. Dalam pertumbuhan ekonomi jangka panjang, Douglass mengatakan bahwa faktor yang menjadi pendukung dan penentunya tidak hanya faktor ekonomi semata, tetapi juga berkaitan dengan kondisi sosial dan politik yang berperan untuk memperbaiki sistem. Peran institusi lah yang mempunyai keterkaitan sangat erat dengan  level pendapatan, khususnya yang berkaitan dengan rule of law. 

Bagi Indonesia, untuk menjadi negara dengan high-income saat telah mencapai seratus tahun usia kemerdekaan sejatinya merupakan hal yang berat atau sulit diraih. Hal tersebut disebabkan oleh faktor kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini tidak ditopang oleh produktivitas, padahal hal tersebut merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan. Produktivitas masyarakat Indonesia yang masih rendah ini terjadi karena mereka masih belum fokus dan bekerja secara optimal dalam mengalokasikan sumber daya untuk investasi dalam bidang human capital dan membangun ekosistem riset dan inovasi. Inovasi sendiri pada faktanya memerlukan adanya akses universal terhadap investasi di bidang human capital, misalnya melalui optimalisasi nutrisi yang diberikan kepada anak agar terhindar dari stunting dan juga mengoptimalkan education training. Ketimpangan yang masih cukup besar di Indonesia tentunya menjadi faktor penghambat dalam mengupayakan investasi di bidang human capital. Inovasi dalam hal ini juga memerlukan adanya ekosistem riset dan inovasi yang baik. 

Ekonomi berbasis pengetahuan dan institusi yang baik pada faktanya mampu menjamin inklusivitas dan pertumbuhan berkelanjutan dalam mencapai keadilan untuk pertumbuhan. Pemerataan kesempatan untuk seluruh warga negara Indonesia dalam hal ini sangatlah diperlukan. Pemerintah dapat mengupayakan pemerataan pada masyarakat seperti halnya dengan mulai melakukan pemerataan kesempatan pada bidang pendidikan. Hal tersebut perlu dilakukan agar dapat menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, mampu menggerakan dan mengoptimalkan bidang research and development sehingga akan memunculkan produktivitas-produktivitas pada masyarakat yang mampu membawa suatu inovasi dan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Institusi pemerintahan dalam hal ini juga harus meningkatkan perannya dalam mendukung masyarakat untuk menciptakan inovasi-inovasi dan mengoptimalkan pengetahuannya melalui research and development. Pemerintah dapat memberikan insentif atau reward kepada masyarakat yang berkecimpung dalam bidang RnD dan mampu menciptakan suatu inovasi yang berguna bagi negara.

Penulis : Kanzulia Arsyta Q. H. - Mahasiswi S1 Akuntasi Universitas Jember

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun