Mohon tunggu...
Kanzi Pratama A.N
Kanzi Pratama A.N Mohon Tunggu... Lainnya - Salam hangat.

Jadikan membaca dan menulis sebagai budaya kaum intelektual dalam berpikir dan bertindak!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Konflik Sumber Daya Nikel Indonesia: Studi Kasus Electric Vehicle

17 Februari 2024   07:06 Diperbarui: 17 Februari 2024   07:06 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Nikel adalah sumber daya alam yang memiliki banyak manfaat bagi manusia. Nikel pada konteks Electric Vehicle (EV) memiliki peran sebagai bahan baku utama dalam pembuatan baterai listrik. Nikel memiliki tiga kandungan utama sebagai bahan pembuat baterai secara umum yaitu Nikel-Kadmium (Ni-Cd), Nikel-Metal Hibrida (Ni-MH) dan Ion-Lithium (Li-ion). Ketiga kandungan ini adalah standar industri teknologi EV yang bertujuan menciptakan kinerja tinggi dan kapasitas energi tinggi dan meringankan bobot EV. Perbedaan teknologi EV dengan Bahan Bakar Minyak (BBM) adalah subtitusi 30% komponen BBM dengan komponen EV (Tahar, 2023). Dalam konteks perdagangan, maka nikel adalah komoditas utama Indonesia dengan nilai ekspor 458,36 juta kg dan 394,1 juta kg di ekspor ke Tiongkok sepanjang tahun 2023 (Databoks, 2023).

Dalam tahap negosiasi dan resolusi konflik terdapat tiga tahapan agar sebuah project dapat berjalan yaitu: pre-negotiations, formula stage dan detail stage. Tahap pertama, pre-negotiations antara Indonesia-Tiongkok diawali dengan identifikasi kebutuhan dan peluang oleh Tiongkok melalui kerjasama. Sepengetahuan penulis kerjasama Indonesia-Tiongkok umumnya dilaksanakan dalam tiga skema yaitu Foreign Direct Investment (FDI), joint venture dan Business to Business (B2B). Keberpihakan Tiongkok terhadap Asia Tenggara diwujudkan dalam realisasi investasi yang konsisten naik. Secara riil, Penanaman Modal Asing (PMA) Indonesia didominasi oleh tiga negara berikut secara berturut-turut yaitu Singapura, Tiongkok dan Hong Kong periode 2020-2022 (Badan Pusat Statistik, 2022). Asumsi penulis terhadap peningkatan PMA Tiongkok setiap tahun di Indonesia tidak lain didorong oleh informasi pendukung yang memadai terutama pasar, teknis dan tinjauan kebijakan pemerintah Indonesia.

Xi Jinping mendasari Ekonomi Politik Internasional (EPI) Tiongkok pada kemerdekaan politik, kedaulatan negara dan status internasional guna mempromosikan “Chinese Dream” (Ba, 2019). Tiongkok berupaya menjadi negara revisionis bagi negara dunia ketiga (Gong, 2019). Hal ini bermakna bahwa Tiongkok berupaya menjadi pemimpin kawasan terdekat terutama Asia Timur dan Asia Tenggara. Demikian juga kawasan Afrika dan Timur Tengah juga menjadi perhatian Tiongkok untuk menjalin kerjasama yang revisionis dengan membangun kerjasama, hubungan baik dan menganggap negara lain sebagai mitra positif. Ini sejalan dengan upaya memperkuat hegemoni dan geopolitik Tiongkok dalam EPI untuk mendorong ekonomi (perdagangan) terbuka, menjalankan komitmen nilai liberal dan pemimpin rezim perdagangan serta mendorong negara lain untuk melakukan liberalisasi ketat (Bakry, 2019). Melihat refleksi atas tindakan Tiongkok di BRI maka sejatinya Tiongkok menjalankan teori perdagangan strategis Gilpin dan Gilpin (2002) yang menginginkan perdagangan sebagai instrumen kekuasaan di Asia Timur dan Asia Tenggara, menjaga stabilitas ekonomi dan keamanan domestik, menjalankan kebijakan proteksionis, menciptakan interdependensi kepada negara mitra dan mengubah sistem perdagangan negara mitra menjadi inklusif.

Tahap kedua, formula stage. Tiongkok sejak kepemimpinan Xi Jinping pada 2013 meluncurkan kebijakan One Belt One Road (OBOR) yang bertransformasi menjadi Belt Road Initiative (BRI) geopolitik dan ekonomi. Peta jaringan BRI adalah peta jaringan perdagangan kuno pada masa dinasti Tiongkok yang meliputi Amerika latin, Afrika, Timur Tengah, Kepulauan Pasifik dan Asia Tenggara dan telah disepakati bersama 147 negara dunia (CELIOS, 2023). Jelas bahwa tujuan BRI adalah faktor peningkat ekonomi Tiongkok dengan ekspansi industri dan perdagangan negara melalui pengembangan infrastruktur dan konektivitas serta menciptakan interdependensi ekonomi dan perluasan pengaruh geopolitik.

Indonesia dan negara anggota ASEAN lain yang telah menandatangani BRI memiliki prioritas untuk memperoleh investasi dan proyek internasional Tiongkok. Setidaknya ini yang tercermin pada 71 proyek internasional Tiongkok di Indonesia yang sedang berjalan dengan empat bidang proyek antara lain: jalan dan kereta api; pembangunan PLTU Batubara; pembangunan PLTA; dan pembangunan kawasan industri dengan nilai investasi sebesar 20,3 miliar USD (CELIOS, 2023). Hal ini menyebabkan interdependensi Indonesia-Tiongkok semakin tinggi dengan masifnya proyek internasional Tiongkok di Indonesia disamping derasnya kerjasama perdagangan dan klaim masing-masing negara sebagai mitra strategis. Interdependensi Indonesia-Tiongkok sejauh ini terjadi pada penetrasi finansial dan teknologi serta kepentingan memperoleh bahan baku nikel untuk menopang industri baterai EV Tiongkok (Mas’oed, 1990). Tidak menutup kemungkinan bahwa “Debt Trap Diplomacy” yang terjadi di Sri Lanka dapat pula terjadi di Indonesia melalui penetrasi politik dan finansial jika pemerintah Indonesia tidak dapat menyanggupi tingkat bunga dan ketentuan utang yang ditetapkan Tiongkok (Mas’oed, 1990; Behuria, 2018).

Tahap ketiga, detail stage. Kerjasama Indonesia-Tiongkok melalui FDI diwujudkan dengan realisasi investasi sebesar 1,63 miliar USD yang disepakati antara Tsinghan Group-Delong Group dan PT. Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) dalam pembangunan pabrik carbon steel dengan kapasitas 3,5 juta ton per tahun dan nilai investasi 980 juta USD serta pembangunan pembangkit listrik dengan kapasitas 700 Megawatt dan nilai investasi 650 juta USD (Detik, 2023). IMIP adalah proyek pembangunan smelter nikel internasional yang bergerak pada produksi nikel, stainless steel dan carbon steel dengan industri pendukung coal power plant, pabrik mangan, silikon, chrome, kapur, kokas dan pelabuhan serta bandara. Sebagaimana disebutkan Tahar (2023) tentang Center of Excellence (CoE), maka pendirian IMIP di Morowali, Sulawesi Tengah didorong oleh faktor seperti potensi sumber daya alam (tambang nikel), lokasi strategis dan mudah diakses untuk mendukung ekosistem kawasan industri dan pertumbuhan ekonomi regional melalui investasi, teknologi dan peluang kerja.

Interdependensi Indonesia atas Tiongkok memiliki implikasi signifikan yaitu ketergantungan ekonomi vital dan teknologi (Holsti, 1987). Lebih jelas, Kementerian ESDM menyebutkan jika 90% realisasi investasi hilirisasi nikel berasal dari Tiongkok sehingga memicu perdebatan bahwa nilai tambah yang ingin dicapai Indonesia dari kerjasama ini menjadi relatif kecil (CNBC, 2023). Hal ini mempertegas dua kerugian yang diterima Indonesia. Pertama yaitu trade off yang mencakup ketidakseimbangan antara manfaat ekonomi yang diterima dari ekspor nikel mentah dan dampak lingkungan dari pengolahan nikel serta upaya mencapai kualitas produk tinggi dengan ketergantungan pada teknologi Tiongkok. Kedua, opportunity loss berkaitan dengan penjualan nikel kepada pihak industri dibawah harga pasar global. Ketergantungan terhadap Tiongkok memungkinkan Indonesia kehilangan potensi pendapatan yang lebih besar daripada menjual nikel dalam bentuk mentah atau setelah diolah di dalam negeri. Hal ini memungkinkan kerugian jangka panjang dalam penerimaan pendapatan dan pengembangan industri Indonesia.

Menurut penulis rekomendasi dan penyelesaian yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap Tiongkok dalam konteks industri nikel dan baterai listrik adalah diversifikasi mitra dagang dan investasi, optimalisasi hilirisasi industri nikel, transparansi dan keterbukaan dalam kesepakatan investasi, riset dan inovasi, penguatan peraturan dan kebijakan, keberlanjutan lingkungan, kerjasama regional, promosi daur ulang baterai dan yang utama penguatan negosiasi untuk mencapai keuntungan atas nilai tambah nikel serta kerjasama Transfer of Technology (ToT). Pokok rekomendasi dan penyelesaian yang dapat ditawarkan penulis adalah kedaulatan ekonomi, sebagaimana Indonesia dapat memiliki kendali penuh atas industri nikel dan mampu mengambil kebijakan strategis guna mendukung industrialisasi dalam negeri dan pengembagan teknologi industri nikel dan baterai listrik yang inovatif dan efisien. Pemerintah perlu transparan dan terbuka atas informasi, peraturan, pengambilan keputusan, hasil investasi dan keadilan serta kepatuhan hukum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun