Kekuatan utama TNI dalam penyelenggaraan negara terjadi pada masa Orde Baru dengan merebaknya Dwifungsi ABRI. Pasca krisis moneter 1998, upaya mereformasi ABRI mendapat perhatian serius. Masa Abdurrahman Wahid dilakukan Reformasi ABRI yang tertuang dalam TAP MPR Nomor 6 dan 7 Tahun 2000 mengenai pemisahan TNI-POLRI yang dinilai belum berjalan maksimal. Pasca Reformasi, prajurit TNI memiliki keistimewaan untuk menduduki jabatan sipil baik prajurit aktif maupun purnawirawan. Terkini, kekosongan masa jabatan gubernur di beberapa wilayah telah diisi oleh purnawirawan TNI-POLRI seperti Pj Gubernur Jawa Tengah, Pj Gubernur Sumatera Utara, Pj Gubernur Sulawesi Tenggara dan Pj Gubernur Bali. Mendagri merujuk pada UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pilkada yang tidak menyebutkan bahwa penjabat kepala daerah dapat diisi oleh calon yang memenuhi kualifikasi dan dapat berasal dari berbagai kalangan. Mendagri juga mengutip UU Nomor 34 Tahun 2004 bahwa anggota TNI dapat memiliki 10 jabatan instansi sipil yang sesuai tugas pokok.
Terdapat tujuh catatan revisi UU TNI. Pertama, menambah fungsi TNI sebagai alat negara di bidang keamanan. Penambahan nomenklatur berpotensi menambah kewenangan TNI dan memiliki pertentangan dengan UU lain yang menjelaskan fokus TNI pada pertahanan. Kedua, pelemahan prinsip supremasi sipil atas militer. Penghapusan kewenangan presiden dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan dinilai berbahaya dalam negara demokrasi.
Ketiga, pasal 66 ayat 1 mengenai anggaran belanja TNI dari pos anggaran pertahanan negara dari APBN menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau anggaran diluar APBN atau kementerian lain. Keempat, penguatan peran internal militer selain perang atau Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang akan menggerus profesionalitas militer dan menguatnya pengaruh militer dalam kehidupan sipil serta penambahan bidang OSMP dari 14 menjadi 19 bidang.
Kelima, kekhawatiran  reaktivasi dwifungsi TNI. Pasal 47 ayat 2 UU TNI tentang penambahan jabatan kementerian dan non-kementerian. Keenam, pertentangan prinsip negara hukum dan penguatan impunitas prajurit. Terdapat usulan perubahan mekanisme peradilan prajurit dari pengadilan militer menjadi pengadilan umum. Ketujuh, dampak perpanjangan masa dinas terhadap jenjang karir dan kepangkatan hingga usia 60 tahun. Hal ini memicu inefisiensi struktur dan menambah beban anggaran. Sektor pertahanan, hal ini dapat menyebabkan surplus perwira TNI tanpa jabatan. Sikap atas situasi ini adalah menolak perbincangan revisi UU dan merekomendasikan percepatan reformasi militer seperti reformasi sistem peradilan militer, restrukturisasi komando teritorial, evaluasi dan koreksi secara menyeluruh terhadap penyimpangan pelaksanaan tugas pokok TNI dan mendorong penyusunan UU perbantuan militer.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H