Eropa menciptakan kebijakan mengenai migran untuk segera diaktualisasikan dan dilaksanakan oleh negara anggota terutamanya pasca "Refugee Crisis 2015." EU mengartikan migrasi sebagai tindakan dimana individu dari negara non EU menetap dan tinggal di wilayah EU sekurang-kurangnya 12 bulan (EMN Asylum and Migration Glossary, 2022). Demikian, migran dapat diartikan juga sebagai individu yang berpindah dari satu negara atau wilayah untuk menetap di negara EU. Tahun 2005, EU menyusun basis guna memasuki wilayah Eropa melalui Global Approach to Migration and Mobility (GAMM). Pembaharuan terakhir dilakukan pada 2015 dengan pengorganisasian imigran legal dan pengelolaan mobilitas yang baik, mencegah dan memberantas migrasi ilegal, memaksimalkan dampak pembangunan dari migrasi, mempromosikan perlindungan internasional dan meningkatkan dimensi eksternal permohonan suaka atau disederhanakan sebagai European Agenda on Migration (EAM).
"Natio" atau "Native" adalah agregasi atau pengelompokkan orang-orang berdasarkan kesamaan latar belakang etnis (Nairn dan James, 2005). Bangsa (Nation) yang diperkenalkan pada abad 16 mendefinisikan bangsa sebagai: seluruh rakyat dari sebuah negara; komunitas yang terikat secara kesamaan genealogi (ras atau bahasa); kumpulan individu bebas yang terhubung secara kultural dan bersedia tinggal dalam satu batas teritorial (Renan dalam Dudkov, 2010); dan kolektivitas yang ada dalam batas teritorial yang jelas serta menjadi subjek bagi satu administrasi dan dimonitor oleh aparatur negara secara internal (Giddens dalam Bekus, 2023). Rakyat yang terikat dalam satu wilayah teritorial tentu memiliki nilai kebersamaan (common values) yaitu nasionalisme. Nasionalisme dapat diartikan sebagai politik identitas karena landasan nasionalisme berakar dari nilai-nilai yang bersama-sama diperjuangkan. Nasionalisme juga merepresentasikan ideologi politik. Menurut Woodwell (2007) identitas didasarkan pada dua aspek, yaitu ethnic identity yaitu pendekatan primordial yang meliputi linguistik, ras dan religiusitas dan national identity yang meliputi cultural identity dan political ideology. Nasionalisme pada kebijakan EAM ini merepresentasikan keinginan kelompok nasionalis Eropa untuk mengendalikan pengaruh asing migran legal maupun ilegal atas anggota atau pun teritoral bangsanya.
Vermeulen (2019) mendeskripsikan EAM dalam tiga perspektif, pertama, konsentrasi kebijakan adalah alokasi pencari suaka dan kontrol perbatasan Schengen yang artinya migran yang berada pada area Schengen tidak memiliki kontrol perbatasan tetapi penduduk bebas untuk hidup, bekerja dan berpergian di seluruh wilayah Schengen. Kedua, kebijakan migrasi berdekatan dengan wilayah Mediterania sehingga kelompok nasionalis mendesak negara-negara Mediterania untuk menghalangi migran yang mencoba masuk Eropa. Ketiga, kelompok nasionalis Eropa mendorong kerjasama negara-negara yang secara geografis jauh dari Eropa mengenai pemulangan negara asal migran yang mencakup proyek pembangunan, pendanaan untuk mengurangi migran berpergian ke Eropa dan memperkuat kontrol perbatasan. Elit negara-negara Eropa satu suara bahwa arus migran harus ditekan. Asumsinya adalah migrasi merupakan ancaman bagi budaya dan keamanan serta migrasi diidentikkan dengan keterbelakangan dan kemiskinan.
Kebijakan yang berpengaruh terhadap menguatnya daya tahan kelompok nasionalis dan ketakutan atas penguasaan kelompok migran semakin ditegaskan dengan kebijakan EAM yang diciptakan untuk membendung atau mengontrol serta menekan akses migrasi. Kelompok nasionalis berupaya melindungi kedaulatannya dalam berbagai cara untuk membendung pengaruh migran. Terbaru, negara anggota sepakat untuk meningkatkan anggaran pengawasan perbatasan dan mendeportasi migran ilegal (Jacobin, 2023). Tidak hanya itu, Ursula von der Leyen Presiden EU menjanjikan 10.000 penjaga di perbatasan Eropa dan departemen khusus untuk menjaga eksistensi "Protecting our European way of life." (European Commission's Priorities, 2019). Eropa sebagai bangsa dan EU sebagai wadah negara anggota jelas memiliki budaya multigenerasi yang bersifat self-defined guna mencapai atau mempertahankan self-determination terhadap kekuasaan dan pengaruh yang dianggap bukan bagian dari kelompok nasionalis Eropa.
Untuk itu, kelompok nasionalis menolak gagasan globalisasi yang menurut Miller dalam Czaika dan Haas (2014) disebut sebagai "Globalization of Migration". Globalization of Migration diartikan sebagai kecenderungan negara-negara yang secara krusial dipengaruhi oleh pergerakan migrasi pada waktu yang sama. Pada waktu yang sama itu, terjadi diversifikasi populasi imigran yang mendiami negara-negara anggota EU dengan beragam latar belakang ekonomi, sosial dan budaya. Akselerasi migrasi global diasumsikan meningkatkan diversifikasi komposisi populasi, tenaga kerja, pelajar, keluarga, suaka dan migrasi sementara atau permanen.
Tidak mengherankan jika bangkitnya kelompok nasional ditandai dengan munculnya fenomena politik potensial yang didalamnya terdapat norma komunal dengan kemampuan bertindak secara kolektif. Bagi kelompok nasionalis, negara adalah sarana utama mempromosikan tujuan kelompok dengan asumsi mereka memiliki kemampuan memaksa melakukan tindakan kolektif. Kekuatan kelompok nasionalis pada level tertinggi adalah dapat menjadi pressure group bagi eksekutif guna menelurkan kebijakan domestik dan luar negeri yang bersifat nasionalis.
Jadi, meskipun telah banyak kontribusi oleh migran di Eropa, mereka tetap memperoleh diskriminasi di berbagai sektor kehidupan. Migran dibatasi haknya seperti memperoleh pekerjaan atau berpindah pekerjaan, dieksploitasi tanpa memperoleh hak dan lain-lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H