Mohon tunggu...
Kanzi Pratama A.N
Kanzi Pratama A.N Mohon Tunggu... Lainnya - Salam hangat.

Jadikan membaca dan menulis sebagai budaya kaum intelektual dalam berpikir dan bertindak!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bangladesh dan India dalam Refleksinya dengan Indonesia

10 Februari 2024   07:00 Diperbarui: 11 Februari 2024   01:24 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Asia Selatan, India dikenal dengan umat Hindu dan Pakistan dikenal dengan umat Islam. Kedua negara ini hidup dalam penuh ketakutan sepanjang waktu karena walaupun hidup berdampingan secara geografis, tetapi keduanya secara intensif terlibat dalam ketegangan tingkat tinggi. Ketegangan tingkat tinggi tersebut tidak hanya terjadi pada aspek militer, tetapi terjadi pula pada aspek olahraga yakni cricket. Misalnya pertandingan cricket kedua negara selalu diwanai konflik, jika Pakistan kalah maka suporter Pakistan menyerang suporter India dan sebaliknya. Jelas bahwa konflik di ranah olahraga ini dipicu oleh sentimen nasionalis yang diperparah oleh disinformasi media sosial. Pada kesempatan lain, pemuda Muslim Pakistan merobohkan kuil Hindu di Pakistan. Demikian umat Hindu dan Islam di Leicester, Inggris yang bermigrasi dari India dan Pakistan hid]up damai dan berdampingan.

Di Bangladesh pun demikian, jumlah penyerangan terhadap minoritas Hindu dengan rumor bahwa penyerangan terhadap minoritas dilakukan oleh umat Muslim. Head Clary Mufti Muhammad Rahulamin menyebutkan bahwa Muslim disudutkan atas penyerangan tersebut yang mana penyerangan sebenarnya tidak dilakukan oleh umat Islam Bangladesh, tetapi dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu yang memiliki kepentingan dengan mengatasnamakan Islam. Di Bangladesh umat Muslim justru membantu umat Hindu untuk menyelenggarakan festival keagamaan, walaupun tidak kegiatan dibatalkan. Hal ini yang memicu rasa frustasi dan mengkambinghitamkan umat Muslim bahwa keberadaan umat Hindu di Bangladesh selalu dimarjinalkan. Sharia Kabir, seorang jurnalis dan peneliti konflik komunal di Bangladesh mengungkapkan bahwa orang-orang Bangladesh mengambil keuntungan bersama kaum fundamentalis dengan menciptakan konflik dan disisi lain pemerintah Bangladesh tidak membuat regulasi yang dapat menekan konflik secara signifikan.

Politik identitas di India

Dr. Suryadi dalam Multikulturalisme dan Politik Identitas dalam Teori dan Praktik (2020) India adalah salah satu contoh masyarakat multietnis paling kompleks dan komprehensif di dunia karena merupakan rumah bagi beragam kasta, suku, komunitas, agama, bahasa, adat istiadat, gaya hidup yang berbeda. Diperkirakan terdapat hampir 4.599 komunitas terpisah di India, dengan sebanyak 1.652 bahasa dan dialek dalam 12 keluarga bahasa yang berbeda serta sekitar 24 aksara. Keragama bahasa di India bahkan lebih membingungkan. Di negeri demokrasi terbesar di dunia itu terdapat 22 bahasa yang secara resmi diakui pemerintah. India juga merupakan negara multi religi dengan tujuh agama terbesar disana adalah Hindu, Islam, Kristen, Buddha, Jainisme, Sikhisme dan Zoorastarianisme.

 Untuk menghindari ketakutan akan homogenisasi budaya, selama proses pembangunan bangsa, konstitusi India menetapkan hak-hak budaya kolektif spesifik tertentu untuk dinikmati oleh anggota minoritas agama dan bahasa. Hak budaya komunitas minoritas ini merupakan produk dari 'Negosiasi yang sulit' yang dilakukan selama proses pembuatan konstitusi. Pasal 29 ayat 1 memberdayakan setiap bagian dari warga yang berada di wilayah India, atau bagiannya yang memiliki bahasa, naskah atau budaya yang berbeda, memiliki hak untuk melestarikan hal yang sama. Ini menegaskan bahwa semua minoritas baik berdasarkan agama, bahasa memiliki hak untuk membangun dan melestarikan agama dan bahasa mereka.

Peter Van Der Ver dalam buku Religious Nationalism: Hindus and Muslims in India secara historis menekankan peran penting konsep Hindu dan tradisi keagameaan dalam mendefinisikan identitas di india. Sementara itu, Thomas Bloom Hansen dalam The Saffron Wave: Democracy and Hindu Nationalism in Modern India berpendapat bahwa peralihan dari identitas sekuler menuju indetitas Hindu berakar pada "Plebianisasi" di ranah politik. Tokoh-tokoh politik dari kalangan minoritas atau kasta yang lebih rendah berani tampil di ruang publik yang mengakibatkan meningkatnya kebencian dari orang-orang Hindu kasta atas yang merasa terancam oleh "Bentuk masyarakat baru dan asing ini". Oleh sebab itu, para politisi yang umumnya dari kasta atas mulai menyerang negara sekuler yang mereka anggap telah memanjakan kelompok-kelompok minoritas dan masyarakat kasta bawah.

Perkembangan politik identitas baik yang berbasis agama maupun kasta yang terjadi di India dalam beberapa tahun terakhir tentu berlawanan dengan harapan Jawaharlal Nehru dan para pendiri India lainnya. Saat mendirikan India pasca Perang Dunia 2, Nehru dan kawan-kawan membayangkan terbentuknya sebuah India yang maju, modern dan setiap warganya dapat melenyapkan keterikatan sempit pada agama, kelompok etnis atau kasta. Seperti diketahui, dalam pandangan kaum nasionalis Hindu kaum Muslim adalah musuh utama bangsa (utamanya pasca kemerdekaan Pakistan). Praktik politik identitas berbasis agama Hindu yang marak dalam landscape politik India akhir-akhir ini semakin mempersulit proses integrasi nasional India dimana orang Islam merupakan minoritas terbesar di negeri itu. Eliza Griswold mengatakan bahwa politik identitas mayoritas dengan mengobarkan nasionalisme Hindu di India telah menyediakan jalan tol atau melegitimasi munculnya politik kekerasan di India. Pemerintah telah melegitimasi kelompok-kelompok yang lebih militan di India dan serangan-serangan yang ditergetkan terhadap minoritas agama akan terus meningkat.

Politik identitas di Indonesia

Pengalaman sejarah yang melatarbelakangi politik identitas mayoritas di Indonesia berbeda dengan India. Seperti diketahui pada era Orde Baru politik identitas seperti menjadi barang haram di Indonesia. Presiden Suharto dan rezimnya menjalankan politik penyeragaman di segala bidang. Setiap aspirasi atau gerakan politik yang dipandang tidak selaras dengan demokrasi Pancasila dilarang. Depolitisasi dilakukan dalam setiap aspek kehidupan lebih-lebih dalam kehidupan beragama. Praktik agama dijauhkan dari politik. Salah satu kelompok beragama yang paling merasakan program depolitisasi adalah kelompok Islam. Meskipun mayoritas penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, program depolitisasi Orde Baru telah menjadikan orang Islam sebagai "Kelompok minoritas" atau "Kelompok luar".

Sejak rezim Orde Baru tumbang pada 1998, terjadi pertumbuhan dalam gerakan-gerakan dan kelompok-kelompok Islam di Indonesia. Bahkan Islam garis keras yang ditindas secara brutal dibawah rezim Suharto,  mulsi memperlihatkan eksistensinya dengan cara menghimpun diri dalam gerakan-gerakan politik dan kegiatan lainnya. Singkatnya, pasca Orde Baru politik identitas berbasis Islam mulai tumbuh subur di Indonesia. Bahkan sejumlah partai politik kembali mengklaim dirinya sebagai partai berasaskan Islam banyak muncul dan berkontestasi dalam pemilu.

Sejumlah pengamat mengatakan bahwa politik identitas berbasis Islam semakin menguat menjelang Pilpres 2019. Ada banyak faktor yang menyebabkan penguatan politik identitas jelang pemilu 2019. Namun, secara teori, kebangkitan politik identitas biasanya dilatarbelakangi oleh pengalaman termarjinalkan dari sebuah kelompok yang kemudian menjalankan politik identitas tersebut. Umum diketahui bahwa isu menguatnya identitas politik Islam menjelang pemilu 2019 selalu diimbangi dengan narasi "Ketertindasan" dari sejumlah kelompok Islam di Indonesia, mereka itu terutama kelompok-kelompok garis keras. Berbagai pemberitaan, baik media arus utama maupun online menarasikan pengalaman sebagian umat Islam di Indonesia yang merasa Islam sedang berada dalam penindasan.

Contoh politik identitas yang terkait etnis paling konkrit adalah kebencian rahasia yang sering disuarakan oleh kelompok kelompok politik tertentu dalam pemilu 2019 bahkan suara-suara itu masih nyaring terdengar slogan-slogan seperti "antiasing" dan "antiaseng" yang kerap dilontarkan sejumlah tokoh politik dalam kampanye pemilu 2019 mengindikasikan bahwa politik identitas berbasis etnis masih hidup dalam landscape politik Indonesia modern.

Masalahnya adalah apakah perkembangan politik identitas di Indonesia saat ini sama bahayanya dengan tren politik identitas yang terjadi di India?. Ada pro dan kontra. Sejumlah pihak mengatakan bahwa munculnya politik identitas adalah hal yang biasa dalam praktik demokrasi apabila di sebuah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ketiga di dunia sepanjang dilakukan dalam kerangka demokrasi dan tidak menggunakan kekerasan apapun bentuknya itu sah-sah saja. Demokrasi adalah ruang bebas bagi siapa saja dan kelompok manapun untuk mengartikulasi kepentingan identitasnya, sepanjang ia mengedepankan konsensus bersama dan mengamini nilai-nilai demokrasi.

Menurut Dr. Suryadi (2020) selama sistem yang berlaku belum dapat mengakomodasi secara adil terhadap kepentingan berbagai kelompok yang ada politik identitas akan selalu mewarnai dinamika politik di republik ini bahkan di negara-negara demokrasi liberal yang tingkat kemiskinannya sudah sangat rendah pun, politik identitas masih saja hadir. Politik identitas tidak dapat disederhanakan sebagai baik atau buruk, berbahaya atau tidak berbahaya, merusak atau membangun. Politik identitas adalah soal artikulasi kepentingan. Sejauh dalam mengartikulasikan kepentingan itu selalu dilakukan di atas basis nilai-nilai dan kepentingan bersama yang sudah disepakati, tidak ada masalah dengan politik identitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun