Mohon tunggu...
Kanzi Pratama A.N
Kanzi Pratama A.N Mohon Tunggu... Lainnya - Salam hangat.

Jadikan membaca dan menulis sebagai budaya kaum intelektual dalam berpikir dan bertindak!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

One Southeast Asia - Amitav Acharya

7 Februari 2024   07:00 Diperbarui: 7 Februari 2024   07:02 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konsep One Southeast Asia merupakan gagasan yang dibangun oleh Acharya untuk mengkonstruksikan kembali ruang politik Asia Tenggara (Acharya, 2012). Panyarachun berpendapat bahwa ASEAN sedang bergerak menuju tatanan regional baru yang merangkul seluruh negara Asia Tenggara dalam perdamaian, kemajuan dan kemakmuran. Dalam pertemuan pertama pasca Perang Dingin di Singapura 1992, para pemimpin ASEAN menyatakan bahwa mereka akan menjalin hubungan yang lebih erat berdasarkan persahabatan dan kerjasama dengan negara Indo-Cina. Hal ini membukan jalan bagi negara Asia Tenggara untuk menandatangani Treaty of Amity and Cooperation. Dengan bergabungnya negara Indo-Cina dalam traktat, ASEAN mengikat negara tersebut pada kode etik regional yang didalamnya juga mengatur penyelesaian sengketa secara damai dan prinsip non intervensi. One Southeast Asia bertujuan memikat imajinasi dan dukungan para pemimpin politik dan opini publik di kawasan baik itu dari akademisi, media, swasta dan profesional lain.

One Southeast Asia meningkatkan volume perdagangan intraregional dan total di ASEAN. Keikutsertaan anggota baru di ASEAN Free Trade Area diharapkan memperoleh daya saing kolektif ASEAN yang kompetitif dan memperluas daya tarik pasar internal ASEAN bagi investor asing serta mencegah pengalihan investasi ke negara ataupun regional lain. Negara-negara anggota mengharapkan keuntungan secara ekonomi, berupaya menghindari isolasi ekonomi, memperluas potensi kerjasama subregional, meningkatkan investasi bidang manufaktur dan infrastruktur dan mempertahankan momentum upaya reformasi ekonomi. Negatifnya, ekspansi melebarkan jarak kesenjangan ekonomi dan menciptakan dasar untuk polarisasi dan gesekan antara negara kaya dan negara miskin di ASEAN.

Secara menyeluruh, ekspansi ASEAN dimomentumkan sebagai kemenangan politik untuk mencapai persatuan dan integritas Asia Tenggara sebagai kawasan. Ekspansi dapat mengancam persatuan ASEAN dan pengambilan keputusan konsultataif dengan mengurangi kredibilitas organisasi pada perspektif masyarakat internasional. Selanjutnya, manfaat ekonomi dari keanggotaan ASEAN sangat sulit dicapai terutama pasca krisis 1997.

Disamping mewujudkan fondasi dasar, ASEAN berusaha memperluas keragaman politik, ekonomi dan diplomatiknya. Kurangnya pemahaman negara anggota baru dengan ASEAN process memungkinkan berkurangnya perasaan atas identitas regional yang telah dikonstruksikan selama tiga dekade terakhir. Signifikansi khusus disini adalah keterlibatan ASEAN dalam lembaga multilateral APEC dan ARF serta ASEAN Plus Three.

Acharya menjelaskan kosmopolitnisme moral dengan tiga ciri utama (Acharya, 2004). Pertama, norma-norma yang disebarkan adalah norma kosmopolitan atau universal seperti perjuangan melawan rasisme, perlawanan genosida atau perjuangan hak asasi manusia. Kedua, penyebaran norma kosmopilitanisme disebarkan oleh agen transnasional, individu atau melalui gerakan sosial. Ketiga, Acharya berfokus pada gagasan Nadelmann sebagai proselitisme moral dalam perannya pada persuasi difusi norma dan perlawanan terhadap norma-norma kosmopolitan sebagai suatu hal yang sah atau tidak sah.

Perspektif kosmopilitanisme moral berkontribusi pada dua kecenderungan. Pertama, menempatkan keunggulan kausal kosmopilitanisme pada preskripsi internasional. Perspektif ini mengabaikan daya tarik dari norma-norma yang berakar pada tipe sosial lain seperti entitas, kelompok regional, nasional dan subnasional. 

Perspektif ini membentuk dikotomi implisit antara norma global atau universal dan norma regional atau lokal yang buruk. Dalam perspektif ini, norma membuat klaim universal mengenai apa yang dianggap lebih baik dan dianggap benar daripada norma yang terlokalisasi atau partikularistik. Kedua, kosmopolitan moral melihat difusi norma sebagai pengajaran oleh agen transnasional sehingga menurunkan peran agen lokal. Kosmopolitan berfokus pada ide prinsipal untuk melihat antara yang baik dan yang buruk. 

Perspektif kosmopolitan dalam difusi norma melampaui ketentuan internasional dan menekankan peran politik, organisasi dan budaya domestik dalam mengkondisikan penerimaan norma global. Peran agen lokal dalam difusi norma terbatas pada arena domestik yang digambarkan dapat terlalu statis dalam menggambarkan kecocokan eksistensial pada identitas domestik yang dibangun secara historis. Perspektif ini sesuai dengan pendekatan institusionalis dalam menjelaskan konteks kelembagaan.

Konsep lain seperti framing dan grafting menawarkan pandangan yang lebih dinamis mengenai kongruensi. Framing diperlukan untuk keterkaitan antara norma yang telah ada dan norma yang muncul belum tentu sesuai dan harus dikonstruksi oleh pendukung norma baru. Dengan framing, para pendukung norma menyoroti dan menciptakan produk dengan bahasa yang dapat dinamakan, ditafsirkan dan direalisasikan. Framing dan grafting sebagian besar merupakan tindakan reintepretasi atau representasi yang tidak harus dilakukan dengan tindakan lokal tetapi dapat dilakukan pula oleh orang luar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun