Mohon tunggu...
Kanzi Pratama A.N
Kanzi Pratama A.N Mohon Tunggu... Lainnya - Salam hangat.

Jadikan membaca dan menulis sebagai budaya kaum intelektual dalam berpikir dan bertindak!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Citizen Diplomacy sebagai Partisipasi Warga Negara

21 Februari 2022   07:00 Diperbarui: 21 Februari 2022   07:17 1082
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Konsep citizen diplomacy berkembang sebagai respon terhadap meningkatnya keterlibatan warga negara dalam aktivitas diplomasi. Konsep citizen diplomacy dalam aspek demokrasi mengacu pada bentuk kontribusi atau partisipasi warga negara dalam aktivitas diplomasi yang selayaknya merupakan domain pejabat resmi negara. Beberapa penjelasan tentang citizen diplomacy menunjukkan bahwa negara tetap memiliki peran dalam aktivitasnya. 

Sherry Mueller menjelaskan bahwa citizen diplomacy melihat peran individu adalah komplementer terhadap diplomasi negaranya. Sherry Mueller menganggap citizen diplomacy sebagai sebuah konsep yang menyatakan bahwa individu memiliki hak dan kewajiban. Keterleibatan warga negara dalam hubungan luar negeri disebut "One hand at a time" karena dalam aktivitas tersebut berlangsung komunikasi interpersonal antara satu atau lebih warga negara dengan warga negara lain. 

Maka interaksi seorang warga negara dengan orang asing yang diistilahkan dengan "jabat tangan" dan dapat dilihat sebagai bentuk nyata terbangunnya hubungan baik dengan warga dari negara lain. Semakin banyak warga negara yang melakukannya, akan semakin mendukung terjalinnya hubungan baik antara warga negara tersebut secara keseluruhan dengan warga dunia lainnya yang pada akhirnya diharapkan akan berdampak pada terbangunnya hubungan di ingkat negara.

 Artinya, dengan citizen diplomacy warga negara telah mempermudah pekerjaan pemerintah dengan mengkondisikan situasi di level grassroots yang lebih kondusif bagi penyelenggaraan hubungan luar negeri. Hal tersebut menunjukkan bahwa warga negara juga dipandang mampu melakukan hal-hal yang diperlukan dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri, terutama yang tidak dapat dilakukan oleh pemerintah. Yang perlu dicatat dari pemahaman Mueller aktivitas citizenship diplomacy sebagai bentuk partisipasi warga negara dapat dilakukan secara sporadis, aktivitas citizen diplomacy tetap melihat partisipasi warga biasa sebagai bentuk bantuan bagi pencapaian kepentingan luar negeri negaranya. 

James Marshall menggarisbawahi pentingnya otonomi bagi keterlibatan publik dalam penanganan urusan luar negeri. Menurut Marshall, meskipun banyak publikasi tentang keterlibatan publik dalam aktivitas diplomasi, urusan luar negeri belum benar-benar terdemokratisasi. Keterlibatan publik dalam banyak kesempatan tidak lepas dari pengawasan negara karena aktor-aktor yang terlibat di dalamnya adalah mereka yang memang diperkenankan terlibat oleh negara dalam aktivitasnya. 

Meskipun sejatinya, persoalan kemanusiaan tidak dapat ditangani oleh teknisi atau teknokrat mengingat pemikiran manusia yang memicu persoalan kemanusiaan. Dari hal ini, terjadi kontradiksi antara yang diperlukan dalam menyelesaikan persoalan kemanusiaan dengan yang berlaku dalam proses penyelesaiannya. Bagi Marshall, citizen diplomacy adalah hal yang tidak dapat diterima sebagai kewajaran bagi kalangan praktisi tradisional dalam ranah diplomasi. Kecenderungan diplomat profesional adalah melihat bahwa tidaklah mungkin membiarkan orang awam memutuskan dan mengeksekusi sebuah kebijakan luar negeri. Artinya proses pembuatan kebijakan luar negeri tidak menempatkan warga negara/publik sebagai elemen yang penting atau wajib ada. Padahal, Marshall melihat bahwa pemikiran dan energi publik adalah perdamaian. Demikian gagasan bahwa perang tetap muncul dari pemikiran manusia, maka manusia pula yang harus menghentikannya.

Paul Sharp dalam artikelnya yang berjudul "Making Sense of Citizen Diplomats: The People of Duluth Minnesota as International Actors," menyatakan bahwa gagasan tentang citizen diplomacy terlalu kabur. Sharp meragukan klaim The British Foreign Policy Centre yang menyatakan bahwa seluruh warga negara Inggris disebut pula sebagai "6o million budding ambassadors". Pernyataan ini dipandang terlalu optimis dalam mempromosikan gagasan bahwa warga negara atau orang-orang awam memiliki kesigapan terhadap mobilisasi untuk mendukung kegiatan British Foreign Office.

 Sharp sangat antipati terhadap gagasan bahwa orang awam mampu menjalankan aktivitas diplomatik. Namun demikian, Sharp mengakui bahwa memang semakin tinggi aktor non negara yang terlibat dalam aktivitas diplomatik. Realitas ini merupakan fenomena yang dapat direspon oleh kajian diplomasi sebagai bagian dari perkembangan hubungan antar-negara. Tantangan tersebut dijawab oleh Sharp dengan menawarkan tipologi citizen diplomacy dari hasil pengamatannya pada aktivitas internasional dan transnasional. Dalam menyusun tipologi citizen diplomacy, Paul Sharp berangkat dari aspek paling mendasar dalam aktivitas diplomasi yaitu representasi.

Sharp menyusun tipologi citizen diplomacy berdasarkan dua dimensi. Pertama, siapa atau apa yang diwakili oleh citizen diplomacy. Kedua, kepada siapa diplomasi. Kriteria pertama mengacu pada pihak yang diwakili oleh citizen diplomacy dapat mengacu pada aktor maupun gagasan. Pihak-pihak tersebut antara lain: individu; institusi kolektif, supra-state, dan komunitas trans-state; dan negara berdaulat pada saat tertentu (on occasion); beberapa bidang urusan yang memiliki tujuan yang sama (single purpose); atau dapat citizen diplomacy bertindak mewakili gagasan maupun kebijakan tertentu. Aspek kedua mengacu pada perwakilan dari komunitas internasional yang menjadi target diplomasi, target dapat berupa aktor negara atau non negara. Dari penjelasan tersebut bisa dilihat bahwa Sharp memberikan definisi yang lebih luas terhadap konsep citizen diplomacy jika dibandingkan Mueller ataupun Marshall. Sharp tidak hanya melihat citizen diplomacy sebagai bentuk partisipasi publik dalam praktik diplomasi negara, tetapi juga melihat keterlibatan warga negara dalam berbagai interaksi global baik yang bersifat internasional maupun transnasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun