Mohon tunggu...
Kanzi Pratama A.N
Kanzi Pratama A.N Mohon Tunggu... Lainnya - Salam hangat.

Jadikan membaca dan menulis sebagai budaya kaum intelektual dalam berpikir dan bertindak!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Opini: Birokrasi dalam Public Policy

23 Oktober 2021   07:00 Diperbarui: 23 Oktober 2021   07:09 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Birokrasi suatu negara dapat berpengaruh pada kebijakan luar negeri. Border pemisah antara birokrat dengan pengambil kebijakan luar negeri tidak nyata, walaupun terdapat perbedaan antara birokrat yang disebut sebagai pegawai pemerintahan karier dan pejabat politik yang tidak memerlukan jenjang karier. Meskipun pemimpin politis secara hukum dapat membawahi birokrat tetap saja terdapat kesulitan mengontorl struktur dibawahnya yang sangat luas.

Masa kepemimpinan Vladimir Putin dan George W. Bush diakui terdapat kesenjangan antara otoritas secara hukum dan otoritas selama menjabat dalam sebuah konferensi bersama. Kedua pimpinan ini optimis jika kerjasama AS dengan Rusia dapat menguraikan semangat baru diantara keduanya. Sebagaimana Bush merespon pertanyaan wartawan mengenai keyakinan atas kejasama ini dapat memberi semangat baru bagi kedua negara.

"It's a very good question you ask, because sometimes the intended [policy] doesn't necessarily get translated throughout the levels of government [because of] bureaucratic intransigence." Dan dibalas Putin dengan "Of course, there is always a bureaucratic threat". Maka dari itu, diperluan penyaringan informasi dalam memengaruhi kebijakan.

Keputusan didasari oleh informasi yang didapatkan melalui staf-staf. Selayaknya Perang Irak Bush mengeluarkan statement "Recently sought significant quantities of uranium from Africa".  Padahal faktanya pernyataan tersebut yang berasal dari CIA telah diragukan. Hal ini terjadi karena kelompok di luar mengintimidasi CIA dan mencegah menguatnya pengaruh Bush. Senator Pat Roberts mencatat bagaimana awal Perang Irak "Groupthink caused the [intelligence] community to interpret ambiguous evidence such as the procurement of dual-use technology".

Selain itu, pernyataan mengenai Irak yang mencari uranium juga tidak dibantah oleh National Security Council (NSC). Pejabat NSC yang mengetahui isi pidato kemudian mengatakan "I should have recalled . . . that there was controversy associated with the uranium issue".  Hal ini yang menyebabkan mengapa peran birokrasi sangat penting dalam memengaruhi politik luar negeri.

Akademisi HI sering menyimpulkan bahwa para pemimpin sering dihadapkan pada "Option funnel" yang mengerucutkan pilihan bagi pimpinan dalam struktur birokrasi. Sehingga para pemimpin negara sering memutuskan apa yang akan dilakukan sebelum mempertimbangkan situasi negara (Legro : 1996). Selain itu, implementasi kebijakan merupakan alat kuat birokrasi.

Cara-cara melaksanakan kebijakan bergantung dari bagaimana birokrat tersebut melaksanakan. Peristiwa 9/11 menjelaskan bagaimana lemahnya implementasi kebijakan Amerikadalam kebijakan anti teror. Banyak bukti yang menujukkan bahwa pemerintah sering lalai dalam memperhatikan beragam gejala sebelum terjadi peristiwa atau konflik.

Dalam laporan kongres tahun 2001 diberitakan bahwa "An inordinate number of individuals of investigative interest" untuk mengikuti pelatihan terbang. Akan tetapi saat dilanjutkan kepada FBI oleh CIA namun tidak ada respon apapun. Berbulan-bulan berikutnya CIA's Counter-Terrorism Center mengingatkan "For every [al Qaeda operative] that we stop, an estimated 50 . . . slip through . . . undetected. . . . It is clear that [al Qaeda] is building up a worldwide infrastructure which will allow [it] to launch multiple and simultaneous attacks with little or no warning". CIA mengingatkan juga "The attack will be spectacular and designed to inflict mass casualties against U.S. facilities or interests".

Banyak sinyal yang telah dikirimkan oleh lembaga intelejennya namun pemerintah gagal memanfaatkan informasi yang telah dikirimkan. "Missed opportunities to disrupt the September 11 plot and . . . to generate a heightened state of alert and thus harden the homeland against attack".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun