Mohon tunggu...
Kanzi Pratama Artananda Naufal
Kanzi Pratama Artananda Naufal Mohon Tunggu... Lainnya - Salam hangat.

Hobby menulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Memahami Papua dan Permasalahannya (Part 2)

31 Desember 2020   07:00 Diperbarui: 31 Desember 2020   07:09 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Dr. Gabriel Lele, Sekretaris Gugus Tugas Papua dari Universitas Gajah Mada menjelaskan bahwa manfaat dana otsus telah membawa dampak signifikan di tanah Papua. Demikian Ia menambahkan bila terdapat pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Adapun pekerjaan rumah yang sangat perlu diperhatikan adalah pembangunan sumber daya manusia Papua. Untuk itu, diperlukan intervensi terhadap dunia pendidikan yang masif, sistematis dan komprehensif pada sektor ini. Upaya yang dapat dilakukan adalah memprioritaskan tenaga pendidik yang kompeten dan memiliki komitmen yang tinggi untuk mengabdi ke wilayah terpencil. Sehingga intervensi terhadap pendidikan merupakan kunci dalam membangun sumber daya manusia Papua.

Berkaitan dengan pendidikan, unsur lain yang dapat menjadi pendorong dalam rangka pembangunan sumber daya manusia dalam konteks pendekatan solusi Papua adalah kebudayaan. Kebudayaan bermakna hasil cipta karya manusia dan pengetahuan dalam pikiran sebagai langkah mengambil tindakan, berbuat dan berperilaku. Kebudayaan juga erat kaitannya dengan identitas. Identitas sebagai refleksi diri yang melekat. Identitas membahas dua hal yaitu ascribed identity dan non ascribed identity.

Ascribed identity adalah identitas yang dihasilkan akibat keturunan atau identitas yang dapat dilihat, seperti warna kulit. Sedangkan non ascribed identity adalah identitas yang dapat diubah dan tidak terlihat, seperti keyakinan. Identitas pada dasarnya berfungsi sebagai pembeda individu dengan individu lain. 

Berkembangnya budaya lokal turut mempengaruhi budaya lokal sehingga perlu filterisasi budaya asing. Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyampaikan bila budaya lokal perlu dijunjung tinggi dengan menghidupkan kembali budaya dan kesenian lokal. Lebih lanjut Ia menambahkan jika budaya dapat digunakan sebagai alat peredam konflik. Disebut sebagai alat peredam konflik melalui kegiatan dialog dan memanfaatkan budaya lokal.

Selanjutnya, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dr. Adriana Elisabeth, M.Soc.Sc dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan bahwa terdapat beberapa permasalahan di Papua antara lain kurangnya program pemberdayaan OAP, pengakuan kontribusi Papua, pelanggaran HAM dan kekerasan oleh negara dan sejarah integrasi Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Permasalahan-permasalahan ini tentu bersifat multidimensional, tidak hanya mencakup isu politik namun juga berkaitan dengan isu ekonomi, sosial sampai budaya. 

Selain itu, Papua sering mengalami gejolak akibat perbedaan cara pandang mengenai sejarah integrasi Papua ke Indonesia. Untuk itu, diperlukan cara-cara khusus dalam menghadapi kelompok-kelompok ideologis yang menimbulkan gejolak di Papua. Meskipun demikian, Papua sudah menjadi daerah yang terbuka sehingga mendorong dinamika sosial politik. Selayaknya suku bangsa lain, Papua juga bersifat heterogen akibatnya diperlukan beberapa tindakan seperti: pendekatan etnografi, antropologi, sosiologi dan nilai adat serta filosofis. Solusi permasalahan Papua dapat pula dilakukan secara parsial dan komprehensif. 

Pendekatan parsial dapat menggabungkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan perbaikan kinerja pemerintah daerah dalam mengelola potensi sumber daya alam Papua dengan memperhatikan beragam aspek. Pemerintah pusat dalam hal mengoptimalkan sumber daya alam Papua dalam kerangka pembangunan perlu diperhatikan pula keberadaan orang-orang adat dalam mengurangi resiko konflik. Sementara itu, pendekatan komprehensif diproyeksikan sebagai proyek jangka panjang. 

Proyek ini dapat dibentuk dengan disusunnya regulasi mengenai ruang berpendapat untuk orang-orang Papua dengan tujuan meminimalisir ketidakadilan khususnya dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dalam memahami konflik di Papua perlu dilakukan lokalisasi konflik bersenjata untuk memaksimalkan pendekatan keamanan dan mampu menghasilkan solusi dalam memahami persetujuan maupun penolakan dalam berjalannya otsus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun