Mohon tunggu...
Kanti W. Janis
Kanti W. Janis Mohon Tunggu... -

Seorang penulis cerita yang sering menyanyi, melukis, dan bermain alat musik, bisa juga menjadi konsultan hukum karena dulu sekolah hukum dan tercatat sebagai advokat PERADI. Hobi memasak dan jalan-jalan. Buku karya Kanti W. Janis:\r\n1. Saraswati - AKOER (2006)\r\n2. Frans dan Sang Balerina - GPU (2010)\r\n3. Amplop Merah Muda Untuk Pak Pos - Optimist Plus (2010)\r\n\r\ntwitter @kantiwjanis\r\nwebsite : kantiwjanis.com, civismofoundation.org, optimist-plus.com, rja-lawfirm.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Amplop Merah Muda Untuk Pak Pos (Cuplikan)

24 April 2012   16:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:09 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Amplop Merah Muda Untuk Pak Pos

Sebenarnya kalo bisa, menjadi tukang pos adalah pekerjaan terakhir yang akan kupilih. Mengapa? Sebab menjadi tukang pos itu membosankan dan merepotkan. Bayangkan, setiap hari aku harus mengantar ratusan surat. Kalau mengantar surat ke jalan-jalan utama masih mending, mudah dicari. Tapi kalau kebagian mengantar surat ke alamat gang tikus, ampun deh susahnya. Entah bagaimana dulu jalan-jalan itu dibuat dan diberi nama. Sudah nama jalannya bisa nggak nyambung satu sama lain, nomornya juga lompat-lompatan nggak karuan. Masa dari jalan Kalibrantas nomor 2 bisa lompat ke jalan Bunga Mawar nomor 178, padahal bloknya masih sebelahan. Duh, di mana sih logikanya? Apa nggak kasihan sama tukang pos macam aku ini? Hujan, panas terik, mau dikejar-kejar anjing,  pokoknya surat harus diantar. Tapi kalau dibandingkan jaman bapakku dulu, aku masih lumayanlah, mengantar surat dengan sepeda motor, sementara dia harus susah payah genjot sepeda . Kalau jalannya landai nggak masalah, nah, kalau pas kebagian nganter ke jalan yang banyak tanjakannya? Ngga heran betis Bapak sama tukang becak sebelas dua belas gedenya. Kenapa seorang sarjana hukum seperti aku terjebak jadi tukang pos? Yah, alasannya tidak lain tak bukan karena nggak dapet kerjaan di mana-mana. Bapak bilang apa salahnya kerja jadi tukang pos, daripada nganggur. Sembari menunggu panggilan kerja di perusahaan papan atas, yah, nganter surat aja dulu. Toh, dari hasil jadi tukang pos bapak bisa kasih makan keluarga, dan menyekolahkan aku sampai tamat,  dapat pensiunan pegawai negeri pula. Bapak juga bilang kalau jadi pak pos itu adalah profesi terhormat dan membanggakan. Mungkin di era dia memang begitu. Kedatangan pak pos selalu disambut dengan suka cita. Jaman itu surat menghubungkan semua kehidupan di masyarakat. Apalagi di jaman bapak belum banyak rumah yang punya sambungan telepon.  Mau pacaran, surat-suratan. Kirim undangan pernikahan lewat pos, kirim kartu lebaran, kartu natal, semua lewat pos. Naik jabatan juga dikasih tahu lewat surat, diterima kerja lewat pos, kontak dengan keluarga yang jauh dari rumah, lewat pos juga.  Di jaman bapak, menanti pak pos seperti menanti kabar baik, kecuali kalau punya hutang.  Coba, sekarang siapa lagi yang mau pakai jasa pak pos? Untuk mengucapkan selamat lebaran saja, boro-boro pakai kartu yang bisa disimpan selamanya, paling cuma lewat sms. Kalau sekarang yang diantar lewat pos cuma surat tagihan listrik, tagihan air, tagihan kartu kredit, brosur-brosur, wah, mana ada lagi yang menyambut pas pos dengan suka cita? Apalagi citra Pos Indonesia semakin buruk saja belakangan ini, akibat banyak surat yang tidak sampai, atau paketnya sampai, tapi isinya sudah porak-poranda. Menyedihkan dan menyebalkan, kalau begini terus lama-lama tidak akan ada lagi yang mau memakai jasa kami, artinya profesi kami akan punah. Terkadang ada juga rasa ingin membongkar paket kiriman, apalagi yang dari luar negeri-karena terbayang isinya yang mewah-mewah. Tapi aku tidak mau berkontribusi dalam membunuh lapangan pekerjaan bagi kaumku sendiri. Dan, sekali lagi aku teringat pada bapak, yang mampu menafkahi kami tanpa pernah berbuat nakal sedikit pun. Kalau sampai aku mengambil apa yang bukan hak ku, apalah bedanya aku dengan para koruptor mengemplang duit rakyat tanpa merasa bersalah sedikit pun? Kemudian datanglah hari itu. Terjadi sebuah kejadian yang amat langka. Aku harus mengantar sebuah surat beramplop manis berwarna merah muda. Amplop itu manis sekali, seolah aku bisa menyium wangi parfum penulisnya. Alamatnya ditulis tangan, membuatnya terasa makin personal saja, pasti isinya surat cinta. Sepanjang karirku sebagai pak pos, belum pernah sekali pun aku kebagian mengantar surat cinta. Anak muda jaman sekarang mana ada yang surat-suratan. Lewat e-mail sudah bagus, setidaknya ada usaha menulis lebih dari 160 karakter. Kebanyakan orang sekarang pacaran lewat SMS, atau yang lagi nge-trend lewat blackberry messenger. Padahal serukan surat-suratan. Jadi berdebar-debar waktu menunggu surat balasan, kerepotan memikirkan kata-kata yang pas, sibuk milih kertas surat yang pas.  Oh, ya, bisa sekalian koleksi perangko, terus masih bisa dibaca-baca lagi kalau kangen. Makanya untuk surat yang satu ini, walaupun alamat rumahnya sama sekali belum pernah bergaung  di telingaku, semangatku tetap tinggi untuk bisa mengantarkannya. Setelah hampir setengah hari muter-muter, bolak-balik tanya sana, tanya sini, akhirnya berhasil juga aku menemukan alamatnya. Ternyata alamat tujuan itu adalah sebuah rumah tua berarsitektur kolonial Belanda.  Nah, aku baru saja mencemplungkan amplop itu ke dalam kotak pos, saat seorang pria tua melewatiku, sambil berkata, "percuma Pak nganter surat ke situ. Rumahnya udah lama kosong, nggak pernah ada orang." "Bapak tinggal di dekat sini?" tanyaku. "Ini di sebelah. Saya masuk dulu ya," kata pak tua itu sambil memasuki rumahnya, yang persis bersebelahan dengan rumah itu. Aduh, suratnya sudah terlanjur kucemplungin! Aku sungguh prihatin akan nasib amplop pink itu. Aku amat tidak tega membayangkan pengirimnya nanti berpikir bahwa kekasihnya tidak membalas suratnya,  hingga ia jadi patah hati. Oleh karena itu aku ingin memberitahu pengirimnya bahwa sudah tidak ada orang lagi yang tinggal di rumah itu. Aku harus memberitahu pengirimnya, harus, harus! Tanpa pikir panjang, aku mengambil batu terbesar yang bisa kutemukan. Lalu kuhantamkan batu itu keras-keras ke pangkal kotak pos kaleng yang sudah rapuh, berkali-kali sampai copot. Setelah lepas, kutaruh kotak pos itu di dalam tas posku, dan kubawa pulang. Sesampainya di rumah dengan berbagai cara aku berusaha membongkar kotak pos itu. Dengan obeng, dengan tank, dengan pembuka kaleng... Setelah mencoba berkali-kali akhirnya aku berhasil! Kucari amplop pink itu di antara tumpukan brosur-brosur iklan. Ketemu! Aku memeriksa bagian belakangnya, berharap ada alamat pengirimnya tertulis di situ, tapi kosong. Mungkin di dalamnya  ada. Jadi sambil merasa sedikit bersalah, kubuka amplopnya, lalu kubaca isinya.... Cat: Cerita ini terdapat dalam buku kumpulan cerita Amplop Merah Muda Untuk Pak Pos www.optimist-plus.com HM Pulo Brasse, 2 Desember 1941 Teruntuk Barata yang kucintai, Maaf kalau surat ini terlambat sampai di tanganmu... Maaf kalau aku tidak sempat pamit... Aku hanya bisa menyalahkan keadaan. Karena keadaanlah yang memaksaku untuk  meninggalkanmu tanpa sempat mengucapkan sepatah kata pun untukmu. Percayalah kepadaku bahwa aku akan kembali, aku pasti kembali. Karena aku mencintaimu  dengan sepenuh hatiku... Di mana pun aku berada, aku berjanji tidak akan satu hari pun kulalui  tanpa  memikirkanmu, seolah  kau  selalu berada di sampingku. Aku tidak punya banyak waktu sekarang, aku akan segera menuliskan surat lagi untukmu. Liefs, Lisbeth Surat itu walau pendek, tetapi begitu menyentuh. Apakah di jaman penuh kepura-puraan dan serba instan ini, masih ada cinta yang membara seperti itu? Cinta yang menyesakkan jiwa, bahkan bagi mereka yang hanya mendengarnya. Namun, ada yang tidak kumengerti. Surat itu terlihat sudah sangat lama ditulis. Aku tahu dari kertasnya yang sudah menguning, dan tinta yang memudar, serta tertulis tahun 1941 pada pembukaan surat. Tapi dari cap posnya aku tahu surat itu dikirimkan dari Belanda, dua minggu yang lalu. Hmm, HM Pulo Brasse itu bukankah nama sebuah kapal? .... Dua minggu berlalu, aku menemukan lagi amplop merah muda dalam pengantaranku. Kali ini aku sudah tahu kalau percuma mengantarkannya, jadi kubuka saja amplop penuh misteri itu. HM Pulo Brass, 9 Desember 1941 Teruntuk  Barata  tercinta, Oh, Barata, bagaimana  ini  semua  bisa  terjadi? Perkiraan  Papi  benar bahwa  Perang  Pasifik  akan  semakin meluas. Sekarang  perang  itu benar-benar sudah  pecah. Kemarin  Amerika telah menyatakan perang  terhadap Jepang. Dan  Papi memperkirakan sebentar lagi Jepang akan datang ke Jawa. Oh, Barata semoga Tuhan selalu melindungimu. Apa pun yang  terjadi  pikirkanlah  keselamatanmu, aku masih ingin bertemu denganmu. Jangan  jadikan  28 November sebagai hari terakhir kita bertemu. Aku  tidak  tahu  apakah  surat-surat  yang  kutuliskan akan  tiba  di  tanganmu, dan kalau  pun  tiba  entah dalam  tempo  berapa  bulan  lagi. Tapi  inilah  caraku  untuk mengobati  rinduku  kepadamu, karena  aku  butuh  bicara denganmu. Setidaknya dengan menuliskan surat  kepadamu, bisa mengurangi sedikit deritaku atas perjalanan  yang terasa bagaikan  menuju neraka ini....Aku membutuhkanmu Barata, aku membutuhkanmu di sini, di sampingku. Aku berdoa semoga malam ini kita bisa bertemu di dalam mimpiku, dan aku mendoakan keselamatanmu. Liefs, Lisbeth Lalu setelah surat itu, datang lagi amplop-amplop merah muda berikutnya setiap dua minggu sekali. Entah darimana datangnya amplop-amplop itu, mereka terus berdatangan...Selengkapnya baca buku Amplop Merah Muda Untuk Pak Pos.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun