Mohon tunggu...
Kanti W. Janis
Kanti W. Janis Mohon Tunggu... -

Seorang penulis cerita yang sering menyanyi, melukis, dan bermain alat musik, bisa juga menjadi konsultan hukum karena dulu sekolah hukum dan tercatat sebagai advokat PERADI. Hobi memasak dan jalan-jalan. Buku karya Kanti W. Janis:\r\n1. Saraswati - AKOER (2006)\r\n2. Frans dan Sang Balerina - GPU (2010)\r\n3. Amplop Merah Muda Untuk Pak Pos - Optimist Plus (2010)\r\n\r\ntwitter @kantiwjanis\r\nwebsite : kantiwjanis.com, civismofoundation.org, optimist-plus.com, rja-lawfirm.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilkada DKI 2017, Minus Etika

18 April 2017   23:10 Diperbarui: 18 April 2017   23:19 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pilkada DKI 2017 terasa sangat melelahkan dan menjemukan. Ini perasaan yang sama saat Pilpres 2014 lalu, namun 2 kali lebih mencekam. Sebagai seorang anak politisi masa perlawanan terhadap Orde Baru, mau tak mau saya sering terlibat dalam situasi politik dan kampanye. Mulai dari punya ingatan awal saya sudah ikut seru-seruan pakai baju partai, bagi-bagi stiker. Tapi harap dicatat, itu bukan eksploitasi terhadap anak-anak, karena saya tidak pernah disuruh atau dipaksa, tidak pernah juga diajak kampanye terbuka panas-panas. Untuk saya saat itu semua hanya seseruan anak kecil karena melihat orangtuanya begitu semangat menjalankan pekerjaannya. 

Saya ingin sedikit berbagi, berbagi ingatan, di masa itu sebenci apa pun terhadap lawan, tidak terdengar serangan terhadap agama atau suku seseorang. Tidak ada juga dialog saling menghakimi keimanan manusia lain karena pilihan politiknya. Tabu sekali menyerang orang karena agama dan sukunya. Sebagai anak SD saja di saat itu saya sudah mengerti,

 tidak boleh menghina orang atas suku dan agamanya. Sangat tidak berprikemanusiaan menghina bawaan lahir, suatu yang sudah digariskan Sang Pencipta. Hanya penindasan terhadap kemanusiaan yang bisa mempengaruhi pilihan politik. Sempat sih saat Megawati mau jadi presiden diserang tentang pemimpin perempuan di dalam hukum Islam versi lawan, tapi itu tidak berpengaruh banyak. Namun seburuk-buruknya masa itu tidak pernah ada hoax sekejam pilpres 2014 dan pilkada DKI saat ini. 

Rasanya timses Anies-Sandi sudah tidak peduli lagi jika persatuan Indonesia jadi taruhannya. Etika bernegara sudah nihil, bahkan minus. Bagaimana bisa masjid dibiarkan sebagai ruang-ruang propaganda kebencian? Bagaimana bisa aksi-aksi bela agama dipenuhi yel-yel bunuh, gantung? Bagaimana bisa begitu vulgarnya kekerasan dipertontonkan seolah-olah itu esensi dari ajaran agama? Bagaimana bisa seseorang menjadi pendosa karena suku dan agamanya? Mereka juga tidak segan menuding sahabat dan saudara kafir, munafik, ahli neraka hanya karena perbedaan politik. Kenapa bangsaku jadi picik dan cetek begini?

Saya selalu mengatakan kepada teman-teman, dalam memilih gubernur atau para pembuat kebijakan tidak perlulah sampai masuk ke ranah personalnya. Kalau diibaratkan dalam memilih rumah sakit untuk mengobati, saya tidak akan tanya apa agama direkturnya, apa agama dokternya, apa suku perawatnya. Yang saya lihat adalah pelayanan, review dari para pasien sebelumnya, keberhasilan dalam mengobati, kejujuran pelayanan. Singkatnya suku, agama, cara bicaranya,dll embel-embel yang tidak berpengaruh pada pelayanan tidak akan masuk dalam pertimbangan memilih rumah sakit. Saya katakan kepada teman-teman, 

buat apa membenci paslon A atau B, secara personal lagi, sampai kesal ke ubun-ubun, toh kita tidak akan pernah bisa mengenal keseharian mereka sebenarnya. Kita tidak akan bisa mengenal mereka sebagaimana kita mengenal kawan atau saudara. Mereka semua punya konsultan komunikasi politik yang memoles setiap gerak-gerik mereka, jadi untuk apa berpegang pada sesuatu yang tidak alami? Pegang saja kebijakannya, hasilnya! 

 Jujur saya ingin pilkada DKI segera berakhir, dengan Ahok-Djarot sebagai pemenangnya. Dengan kemenangan mereka kita buktikan bahwa mayoritas muslim di Jakarta itu ramah, toleran, rasional, mencintai bhineka tunggal ika. Tunjukan bahwa kita sudah muak, sudah lelah dengan kebencian, bosan dengan berita-berita panas soal siapa yang lebih beriman. Bosan dengan komentar-komentar di social media maupun perbincangan harian yang berbau rasisme serta saling menghakimi keimanan. 

Dengan kemenangan Ahok, harapan saya di 2019 kebiasaan menyerang dengan isu-isu SARA, komunisme, dan hal-hal tidak relevan lain yang mengancam persatuan NKRI bisa dipadamkan. Akibat maraknya isu-isu itu, terjadi pengaburan masalah yang sebenarnya, sehingga mereka yang koruptif, penjahat HAM, pembunuh, penculik, preman semua masih bisa berlaga di bursa politik. Coba lihat berapa kasus korupsi raksasa yang berhasil diselesaikan? Berapa banyak kasus HAM di masa Orde Baru yang diungkap?

Masih ada kesempatan untuk Jakarta, untuk bangsa ini agar menjadi besar, tetap bersatu dengan nilai-nilai ke Indonesiaan kita. Tentukan masa depan Jakarta besok, gunakan hak pilih kita, kali ini nilainya lebih dari sekedar memilih gubernur.    

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun