Mohon tunggu...
Kanti W. Janis
Kanti W. Janis Mohon Tunggu... -

Seorang penulis cerita yang sering menyanyi, melukis, dan bermain alat musik, bisa juga menjadi konsultan hukum karena dulu sekolah hukum dan tercatat sebagai advokat PERADI. Hobi memasak dan jalan-jalan. Buku karya Kanti W. Janis:\r\n1. Saraswati - AKOER (2006)\r\n2. Frans dan Sang Balerina - GPU (2010)\r\n3. Amplop Merah Muda Untuk Pak Pos - Optimist Plus (2010)\r\n\r\ntwitter @kantiwjanis\r\nwebsite : kantiwjanis.com, civismofoundation.org, optimist-plus.com, rja-lawfirm.com

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Musim Dingin

24 April 2012   14:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:10 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku adalah peri Lilac, peri yang terlahir dari sekuntum bunga. Setiap hari aku bermain dengan seluruh penghuni hutan. Ada kupu-kupu, burung-burung beraneka warna, pepohonan, beraneka jenis satwa,  Angin selatan yang hangat, Danau dan juga Sungai. Hal yang sering kami lakukan adalah bernyanyi bersama, hingga terdengarlah simfoni alam yang paling merdu. Aku senang sekali hidup bersama teman-teman.

Seluruh hutan mengasihiku karena aku tidak punya ayah atau pun ibu. Setiap pagi, aku akan dibangunkan oleh bunyi kokokkan ayam. Gerombolan kupu-kupu yang cantik akan menyapaku dengan riang. Lalu aku akan minum air embun segar yang ditampung oleh dedaunan. Untuk sarapan, ratu lebah yang baik hati sudah menyiapkan madu untukku, agar tubuhku berenergi sepanjang hari. Berikutnya aku akan mandi di Sungai bersama kawan-kawan, seperti si Kelinci dan kawanan kijang.

Walau hari masih pagi, aku tidak takut kedinginan mandi di sungai, karena Mentari akan selalu menyinari kami. Setelah itu biasanya aku akan membantu berang-berang membangun bendungan, atau membantu para lebah mengumpulkan madu. Jika hari semakin siang aku akan membantu ibu kijang menidurkan anak-anaknya. Terakhir, melatih anak-anak burung bernyanyi.

Setelah itu bersantai sampai ketiduran di bawah lindungan pohon-pohon yang rindang. Tak jarang ketika kubangun, buah-buahan segar dari para pohon sudah menanti untuk kusantap.

Saat mentari hampir tenggelam, seluruh penghuni hutan akan berkumpul di depan danau, lalu aku akan memimpin mereka bernyanyi memuja muji keindahan alam, sebagai rasa syukur atas hari yang selalu indah bagi kami. Lalu malam pun tiba, burung hantu, kelelawar, dan kunang-kunang mulai bermunculan, saatnya bagiku untuk tidur di dalam tempurung kenari dan berselimutkan kelopak bunga.

“Lilac! Lilac bangunlah!” Angin Selatan membangunkanku dengan keras. Baru pertama kali ia begitu.

“Kenapa kamu bangunkan aku sekarang? Ayam bahkan belum berkokok!” kataku sedikit kesal.

“Pergi, cepat pergi, bersembunyilah! Dia sudah dekat! Aku harus pergi!” kata Angin Selatan dengan ketakutan sambil buru-buru pergi.

“Dia, dia siapa?!” tanyaku, tapi Angin Selatan sudah keburu pergi. Aku mencari gerombolan kupu-kupu yang biasa menyapaku, tapi mereka  tidak nampak. Aku mulai merasa ada yang tidak beres. Lalu aku turun dari tempurung kenariku untuk mencari tahu apa yang terjadi. Dedaunan dan bunga-bunga menguncup, tidak ada air embun untukku. Ketika kuajak mereka bicara, mereka tidak menjawab. Kuguncang-guncang, mereka berguguran. Kenapa ini? Aku mencari ratu lebah untuk bertanya, tapi dia beserta pengawalnya sudah tidak ada. Hanya ada satu pengawalnya yang berhasil kutemui, dia pun sedang berlari terburu-buru.

“Hei, ke mana orang-orang?” tanyaku kepadanya.

“Semua sudah bersembunyi Lilac, kamu juga bersembunyilah! Cepat! Dia sudah dekat!” teriaknya.

“Dia siapa?” lebah itu tidak menjawab, ia terbang dengan tergesa-gesa. Tak lama kemudian aku merasakan angin dingin bertiup, aku belum pernah bertemu dengan dia sebelumnya.

“Kamu siapa?” tanyaku.

“Aku anak Angin Utara, kenapa kamu masih di sini? Cepat pergi sebelum dia datang!” kata angin itu, dan dengan angkuh dia berlalu. Tubuhku mulai menggigil. Aku terus berjalan memeriksa keadaan seluruh hutan. Semua hewan yang kutemui sedang berlari terbirit-birit untuk bersembunyi, mereka semua bilang bahwa dia akan datang. Namun tidak ada yang menjawab siapa dia yang akan datang. Burung-burung terbang serentak ke arah selatan, mereka meneriaki aku supaya lekas bersembunyi.

“Peri Lilac, ayo ikut kami ke selatan!” teriak salah satu burung. Tapi aku menolak, aku ingin tahu siapa yang mereka hindari. Siapa dia yang membuat seluruh hutan panik ketakutan? Aku ingin menghadang dia, aku ingin marah kepadanya karena telah merusak hari-hari sempurna kami di sini.

Aku berlari ke tempat pohon Willow yang bijak. Dia selalu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik otakku.

“Willow, Willow yang bijak!” panggilku. Oh, Tuhan, apa yang dia lakukan kepada Willow yang bijak? Daun-daunnya sudah berguguran, ranting-rantingnya mengering, dan dia sudah menutup matanya.

“Willow, kumohon jawablah aku, jangan mati juga!” kataku hampir menangis.

“Pergilah, pergilah, dia sudah sangat dekat,” jawab Willow tiba-tiba dengan suaranya yang sangat lemah.

“Dia, dia siapa? Tolong jawab aku, dia itu siapa? Kenapa semua pergi?!” Tapi Willow sudah kehabisan tenaganya, dia tidak menyahut lagi. Kuamati sekeliling kami, semua daun menguning dan berguguran di mana-mana. Langit tak bermentari, sangat kelabu. Anak angin utara bersama saudara-saudaranya yang lain asyik bermain, menyebarkan dingin. Mereka tertawa-tertawa kesenangan di antara kesunyian alam.

Hatiku sangat bersedih, teman-temanku menghilang. Jika sedih menerpaku, aku akan pergi ke Sungai, mendengarkan airnya mengalir untuk menenangkan hati. Lalu dengan langkah berat, aku berjalan menuju Sungai. Hei, apa-apaan ini?! Mengapa Sungai diam saja, tidak bergerak sedikit pun? Ia mengeras! Dan ketika kusentuh, tanganku terasa sangat dingin. Oh, jangan-jangan Danau juga mengeras. Bagaimana ini? Bagaimana kami dapat mandi dan minum? Aku berlari sekuat tenaga ke arah Danau. Aku berharap, aku belum terlambat sebelum Danau juga menjadi keras.

“Danau, Danau!” panggilku keras-keras.

“Lilac, kenapa kamu di sini? Lekas pergilah, lekas! Dia sudah hampir tiba!” syukurlah aku belum terlambat.

“Aku tidak takut kepada dia! Dia itu siapa?” tanyaku.

“Dia a..da..lah...” Danau belum sempat menyelesaikan kalimatnya, tapi dia sudah keburu mengeras.

“Danau!!!” teriakku pilu. Aku menangis, tapi airmataku berubah menjadi butiran-butiran kecil. Pasti ini juga perbuatan dia. Keterlaluan, dia bahkan tidak mengijinkanku untuk menangisi kepergian sahabat- sahabatku. Aku tidak bisa tinggal diam lagi, aku akan membuat perhitungan dengannya!

Aku terus berjalan, menyeberangi Danau yang sekarang bisa kupijaki. Aku akan mencari dia sampai dapat dan akan membuat perhitungan dengannya.

“Hei, Lilac! Kenapa kau masih di sini?” aku berpapasan lagi dengan anak angin utara yang tadi.

“Aku ingin membuat perhitungan dengan Dia!” kataku penuh emosi.

“Percuma, kamu tidak akan bisa membuat perhitungan dengannya. Lebih baik kamu sembunyi, sebelum saudara-saudara dan ayahku datang!” katanya lagi.

“Aku tidak takut kepada mereka!” teriakku.

“Ah, kamu terlambat mereka sudah di sini,” kata angin cilik itu. Sekarang di hadapanku adalah gerombolan angin utara, yang dipimpin ayah mereka.

“Cilik, peri sok tahu ini temanmu?” tanya salah seorang dari mereka.

“Kami baru berkenalan, “ jawab angin utara cilik.

“Heh, peri kecil, kenapa kamu masih ada di sini? Apa tidak ada yang memberi tahumu bahwa dia akan segera datang?” tanya ayah mereka.

“Aku tidak takut kepada dia, aku mau bertemu dengan dia!” kataku.

“Kamu yakin mau bertemu dengan dia?” tanya Angin Utara.

“Iya!” jawabku tegas.

“Baiklah jika kamu bersikeras. Tapi kami tidak akan berhenti melakukan tugas kami,” kata Angin Utara lagi.

“Silahkan,” kataku.

“Ayo anak-anak mari kita bekerja,” Angin Utara memberi aba-aba kepada anak-anaknya untuk bekerja. Lalu mereka mulai meniup. Makin lama semakin kencang dan dingin. Dinginnya sampai terasa ke tulang. Aku terus berjalan berusaha menembus mereka dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki. Oh, aku sudah tidak kuat lagi, kakiku sudah sangat berat untuk melangkah, aku jatuh lemas. Tak lama kemudian, butiran-butiran putih yang dingin jatuh dari langit. Rupanya dia yang dimaksud oleh mereka. Butiran-butiran putih itu beramai-ramai jatuh ke bumi, menyentuh tubuhku yang sudah mati rasa. Terus, dan terus mereka berjatuhan sampai menutupi seisi hutan menjadi putih. Mereka juga menutupi aku sampai semuanya menjadi gelap.

TAMAT-Perjalanan Garut-Jakarta 21 Agustus 2010, 8:27 PM

Cat: Kisah ini sudah dibuat audio book-nya dengan ilustrasi sederhana, yang bisa didengar di http://www.youtube.com/watch?v=FOiHuHt9CsQ (bagian I) dan http://www.youtube.com/watch?v=QxgTwHCOx5k&feature=relmfu (bagian ke-2)

[caption id="attachment_184051" align="alignnone" width="448" caption="Bertemu salju"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun