Aurora Maria Sarah | Ilmu Ekonomi 2014 | Staff Divisi Kajian | 140676295
Indonesia baru saja menyongsong pemerintahan baru yang diharapkan akan membawa perubahan besar-besaran, terutama dalam bidang ekonomi. Banyak faktor terhadap ekonomi yang akhir-akhir ini tengah marak di sorot, misalnya nilai tukar yang melemah dan harga BBM yang naik turun. Namun, ada satu bagian dari perekonomian yang luput dari perhatian khalayak : jumlah populasi. Populasi tidak hanya krusial, namun juga berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan sangat cepat apabila bisa di atur dengan bijaksana.
Menurut para ahli, sekitar tahun 2028-2031 nanti akan terjadi transisi demografi. Komposisi penduduk Indonesia yang saat ini ‘besar di bawah’, dalam artian lebih banyak penduduk dibawah usia kerja, akan berubah. Generasi yang sekarang ini mengisi bagian piramida kependudukan paling bawah akan bertumbuh dan menjadi lapisan populasi usia produktif. Mereka yang optimis menyebutnya bonus demografi. Tapi, apakah benar fenomena ini merupakan sebuah ‘bonus’?
Saat ini 40% penduduk Indonesia berada di dalam lapisan bawah piramida penduduk yang akan naik ke lapisan usia produktif lima belas tahun mendatang. Manfaat dari jumlah orang sebesar ini bergantung dari dua faktor utama: produktivitas dan ketersediaan lapangan kerja.
Productivity growth adalah salah satu pengukuran efisiensi sebuah produksi. Dalam kasus ini, kita akan lebih fokus ke produktivitas tengaga kerja, atau pengukuran jumlah barang yang dihasilkan per satuan jam bekerja. Menurut laporan McKinsey Global Institute awal tahun ini, untuk sepenuhnya menikmati bonus dari transisi demografi ini, emerging economies seperti Indonesia harus meningkatkan productivity rate sebesar 57%, dari 2.8% menjadi 4.4%. Salah satu cara untuk meningkatkan pertumbuhan produktivitas adalah dengan konsentrasi aktivitas perekonomian dari industry agraris yang tergolong low-productivity ke sector manufaktur dan jasa.
Selain productivity growth, kualitas dari tenaga kerja pun perlu kita perhatikan. Salah satu faktor penting penentu kualitas tenaga kerja adalah kesehatan. Ternyata, 37% balita Indonesia mengalami stunting atau tubuh yang lebih pendek dari yang seharusnya. Hal ini bukan hanya buruk dalam segi estetika, namun juga kesehatan pada umumnya karena stunting adalah gejala kekurangan gizi. Sungguh keadaan yang mengkhawatirkan mengingat balita-balita inilah yang akan tumbuh dan mengisi lapisan populasi usia produktif yang diharapkan dapat mendongkrak perekonomian Indonesia.
Mungkin ada yang berpikir bahwa untuk meningkatkan gizi, kita harus lebih ’kaya’ agar bisa menyiapkan makanan yang lebih bergizi dan untuk itu pemerintah harus membantu rakyatnya yang kurang beruntung. Kenyataanya, tidak selamanya mereka yang lebih beruntung secara finansial lantas mengkonsumsi makanan yang lebih bergizi. Ternyata, dengan semakin banyak pendapatan, semakin tinggi juga kecenderungan untuk makan di luar rumah, terutama junk food. Maka dari itu, pemerintah harus segera membuat program untuk meningkatkan kesadaran gizi dalam berbagai lapisan masyarakat. Segera, karena kecukupan gizi adalah awal dari peningkatan kualitas sumber daya manusia yang kemudian mendatangkan pertumbuhan ekonomi yang baik. Bukan sebaliknya seperti menurut keyakinan pada umumnya. Mengejutkan memang, program seperti ini belum pernah terdengar sebelumnya padahal masalah ini cukup genting dan kita sudah mendapat target dari PBB untuk mengurangi stunting pada balita sebesar 50% pada 2025 nanti.
Faktor kedua yang tidak kalah penting adalah pendidikan. Indonesia sudah mencanangkan program wajib belajar 9 tahun, namun hal ini belum cukup. Di era kompetisi global, pengusaha domestik dan asing tentu akan mempekerjakan pekerja dengan kemampuan tinggi. Sayangnya, kurang dari 10% penduduk Indonesia berhasil duduk di bangku perguruan tinggi. Ini tentu harus menjadi fokus perhatian pemerintah untuk menjadikan transisi demografi Indonesia sebuah bonus.
Hal berikutnya yang harus menjadi perhatian adalah lapangan kerja. Pemerintah nampaknya sudah mengantisipasi hal ini dan berusaha untuk memperluas lapangan pekerjaan dengan menarik investor asing besar-besaran. Terbukti dari kunjugan Jokowi beberapa hari yang lalu ke Jepang dan Cina dalam upaya menarik investor asing untuk menanaman modalnya di Indonesia. Sekilas, menarik investor tampak sangat mudah. Indonesia memiliki kelimpahan sumber daya manusia dan alam, tapi selama ini investor tidak tampak begitu bersemangat membangun bisnis di Indonesia. Menurut Credit Suisse Jakarta tiga minggu yang lalu, Indonesia masih tertutup akan investor. Hal ini dicerminkan dari kebijakan investasi asing di Indonesia yang izinnya mencapai 3 tahun sementara di negara tetangga Singapura, izin investasi bisa terbit dalam tiga hari saja. Belum lagi, kebijakan Jokowi dalam rangka menghadapi pasar bebas MEA mengharuskan ekspatriat untuk menguasai Bahasa Indoensia. Tentu saja pihak asing makin ciut. Memang, niat yang mendasarinya baik, untuk melindungi tenaga kerja kita dari banjir tenaga kerja asing saat MEA. Tapi, hal ini berarti kebijakan investasi yang lain harus lebih dipermudah agar kita tidak menghalangi investor untuk masuk ke Indonesia.
Hal-hal yang sudah ditentukan tadi penting untuk memastikan bonus demografi benar-benar akan terjadi pada kita. Namun, apa yang akan terjadi apabila kita tidak memanfaatkan transisi demografi ini? Ada beberapa kemungkinan yang menurut saya akan terjadi.
Pertama, akan terjadi banjir pengangguran akibat tenaga kerja yang tidak memiliki kualitas yang diminta pasar dan akhirnya tidak dikaryakan. Peristiwa ini akan meningkatkan dependency ratio dan akan mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ini tentu saja kejadian yang paling ekstrim namun masih mungkin terjadi.
Kejadian kedua adalah meningkatnya ketimpangan finansial yang ada. Seperti yang bisa dilihat, kota-kota besar di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, sudah maju dan memiliki populasi yang besar dan berkualitas cukup baik. Dalam masa transisi demografi nanti, kota-kota semacam ini akan merasakan bonus demografi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan kota tersebut. Sayangnya, daerah-daerah yang belum maju, terutama Indonesia bagian timur akan menghadapi lebih banyak kesulitan. Mereka harus menghidupi lebih banyak orang sementara kekayaan alam mereka lebih banyak diambil untuk memenuhi kebutuhan di Jawa. Tidak diambil pun, infrastruktur di luar Jawa masih dalam keadaan kurang memadai.
Masyarakat Ekonomi ASEAN sudah menanti di ambang pintu. Generasi muda Indonesia yang besar populasinya saat ini tengah tumbuh . Kita tidak bisa hanya diam dan berharap akan bonus demografi. Bonus demografi harus kita perjuangkan karena jika tidak, kita akan menghadapi bencana kependudukan yang pasti akan sulit diselesaikan. Jadi, banyak orang belum tentu banyak rezeki. Banyaknya populasi Indonesia harus dijadikan rezeki. Kita tidak punya pilihan lain.
Sumber:
McKinsey Global Institution Global Growth Report January 2015
http://foreignpolicy.com/2012/06/28/demographic-dividend-or-a-ticking-time-bomb/
http://www.thejakartapost.com/news/2015/02/24/who-benefits-demographic-dividend.html
http://www.reuters.com/article/2014/01/30/us-indonesia-population-idUSBREA0T0GK20140130
http://www.thejakartapost.com/news/2015/02/10/invest-nutrition-now-demographic-dividend.html
http://www.cnbc.com/id/102506619
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI