Menjelang akhir tahun pertama pemerintahan di era presiden Joko Widodo, Rupiah seakan terus mengalami pelemahan terhadap US$. Tercatat bahwa terjadi pelemahan sebesar 14.9% dari Rp12.032/US$ menjadi Rp13.832/US$ sejak awal masa jabatan presiden Joko Widodo. Nilai tersebut merupakan nilai terendah Rupiah terhadap US$ dalam satu dekade terakhir. Akibatnya, banyak masyarakat khawatir terhadap potensi krisis yang ada, mengingat kurs rupiah saat ini mulai mendekati nilai kurs saat krisis 98. Namun, apakah pelemahan Rupiah memang merupakan tanda bahwa Indonesia akan berhadapan dengan krisis? Sebelum menyimpulkan hal tersebut, tentu kita harus menganalisis kondisi pada kedua era tersebut.
Ginandjar Kartasasmita pernah mengungkapkan bahwa ada 4 faktor penyebab krisis ekonomi tahun 1998. Salah satu dari keempat faktor tersebut adalah tingginya utang jangka pendek Indonesia. Pada saat itu, kondisi perekonomian negara di Asia relatif lebih menarik dibanding negara di kawasan lain – inflasi rendah, budget surplus, dll – . Dampaknya, arus modal mengalir ke kawasan Asia Pasifik dan menjadi utang bagi negara-negara di kawasan tersebut, termasuk Indonesia.
Akan tetapi, utang tersebut tidak disalurkan untuk sektor-sektor yang produktif, sehingga perekonomian tidak tumbuh sejalan dengan utang yang ada. Sebagai gambaran, di tahun 1998 terdapat utang yang akan jatuh tempo sebesar US$ 20 milyar, padahal cadangan devisa pada saat itu (per Maret 1998) hanya sebesar US$ 14,4 milyar. Selisih yang cukup besar antara cadangan devisa dengan utang jangka pendek mengakibatkan pemerintah harus menambah jumlah dollar untuk membayar utang yang akan jatuh tempo. Akibatnya, permintaan dollar meningkat dan menyebabkan dollar menguat secara drastis – dengan kata lain terjadi pelemahan nilai Rupiah.
Pelemahan nilai rupiah, secara teoritis, sebenarnya dapat memacu perekonomian sebuah negara melalui peningkatan ekspor. Akan tetapi, pembangunan infrastruktur di Indonesia pada saat itu sangat bergantung pada barang-barang impor. Ketika Rupiah melemah, biaya untuk mengimpor meningkat. Dampaknya adalah pembangunan infrastruktur terhambat, sehingga besarnya kenaikan ekspor tidak sebesar pelemahan nilai tukar Rupiah.
Lalu, bagaimanakah dengan perekonomian di era pemerintahan Joko Widodo? Jika dibandingkan dengan dengan tahun 1998, komposisi utang Indonesia saat ini dapat dikatakan menggambarkan kondisi perekonomian yang lebih baik.
Â
Tabel 1: Perbandingan Data Utang LN Indonesia dan Cadangan Devisa pada Tahun 2015 dan 1998
*Statistik Bank Indonesia
**http://www.seasite.niu.edu/indonesian/reformasi/krisis_ekonomi.htm
Â