Amerika Serikat akan segera melaksanakan salah satu hal yang paling ditunggu-tunggu dalam beberapa waktu terakhir : Pemilihan Presiden Amerika Serikat yang ke-45. Disebut-sebut sebagai pemilihan umum yang seringkali menghebohkan publik dan dipenuhi dengan twists and turns, persaingan antara Donald Trump dan Hillary Clinton akan segera menemui babak akhir. Sementara itu, Indonesia akan segera melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak pada 2017 mendatang. Publik Indonesia kini mulai ramai dan dipanaskan dengan hal-hal seputar pilkada. Sudah merupakan hal yang biasa ketika suatu negara memasuki masa-masa pemilihan, perhatian masyarakat akan tertuju dengan berbagai hal seputar pemilihan. Namun, apakah pemilihan yang dilakukan oleh suatu negara memiliki dampak secara ekonomi?
Pemilihan umum erat kaitannya dengan janji-janji perubahan yang diberikan oleh para kandidat yang akan duduk di bangku kekuasaan. Sebagai langkah untuk meningkatkan elektabilitas diri, para kandidat akan menawarkan paket-paket janji & kebijakan untuk menyelesaikan isu-isu dan permasalahan yang dihadapi suatu negara. Situasi ini akan memberikan proyeksi di pikiran masyarakat mengenai situasi negara di masa mendatang.
Dalam pemilihan umum selalu akan ada kandidat yang menang dan kandidat yang kalah. Dalam perkembangannya menuju hari H pelaksanaan, kondisi politik akan berlalu dengan siklus dimana salah satu kandidat akan memiliki tingkat elektabilitas yang meningkat sedangkan kandidat lainnya menurun. Hal ini disebabkan Karena mengalirnya isu – isu yang mewarnai iklim persaingan antar kandidat. Kondisi ini menyebabkan publik diletakkan layaknya sebuah roller coaster, dimana persepsi masyarakat terhadap suatu kandidat diantar naik dan turun secara berulang-ulang.
Dalam sebuah survei Bank yang dilakukan baru-baru ini, 61% masyarakat Amerika mengatakan bahwa Pemilihan Umum Amerika Serikat 2016 merupakan ancaman terbesar bagi perekonomian dalam enam bulan kedepan.[1] Opini ini dapat diperkuat dengan argumentasi-argumentasi mengenai ketidakpastian masa depan yang terjadi terhadap suatu negara menjelang pemilihan umum.
Ketidakpastian & Pengaruhnya terhadap Perilaku Ekonomi
Suasana yang hadir menjelang pemilu dapat mempengaruhi tindakan – tindakan yang dilakukan oleh pelaku ekonomi. Hal ini disebabkan karena adanya signifikansi future policy dari kandidat – kandidat potensial yang bertarung dalam pemilu terhadap kondisi perekonomian. Pemilu tidak hanya berarti siapa yang akan terpilih, namun juga kebijakan apa yang akan diambil oleh ia yang terpilih. Kemenangan seorang dapat berarti sebuah kebijakan fiskal baru yang akan menarik para pengusaha untuk melakukan investasi – dan sebaliknya, ataupun potensi kenaikan harga bahan baku dan kebijakan perdagangan yang akan mempengaruhi iklim bisnis. Sebuah pemilihan umum dapat membuka jalan bagi perubahan – perubahan yang memiliki efek yang cukup signifikan bagi sebuah negara.
Ketidakpastian yang dihadapi oleh masyarakat dan para pelaku bisnis ini termanifestasi dalam pengambilan keputusan ekonomi. Dalam konteks bisnis & produsen, ketidakpastian yang terjadi dalam pemilu dapat mempengaruhi kebijakan perusahaan. Sebagai contoh, ketika outcome dari suatu pemilihan umum sulit untuk diprediksi. perusahaan akan menunda atau lebih berhati-hati dalam mengadopsi skema bisnis baru. Tingginya tingkat ketidakpastian dalam sebuah pemilu juga dapat mempengaruhi perusahaan dalam menjalankan rencana perekrutan tenaga kerja ataupun kenaikan upah & gaji karyawan. Berdasarkan polling yang dilakukan oleh National Association for Business Economics, 11 persen anggota lembaga tersebut melakukan penundaan pererkrutan tenaga kerja ataupun keputusan investasi hingga pemilu Amerika Serikat dilangsungkan pada bulan November.
Konteks lain yang dapat kita gunakan untuk melihat pengaruh ketidakpastian terhadap perekonomian adalah melalui kacamata konsumen. Ketidakpastian outcome suatu pemilihan umum dapat menyebabkan masyarakat memiliki kecenderungan untuk menunda pembelian untuk konsumsi rumah tangga, terutama apabila barang tersebut bersifat tahan lama & memiliki proporsi yang cukup besar terhadap pendapatan. Pada 25 Agustus 2016, CEO Signet, Mark Light, mengatakan bahwa pemilihan presiden Amerika Serikat pada tahun ini memiliki “keunikan” dan “karakteristik” yang dapat mempengaruhi konsumen kelas menengah Amerika. Pada 30 Agustus 2016, Richard Ausic, presiden retail Caleres Inc. mengatakan bahwa pemilihan presiden Amerika pada tahun ini memiliki dampak terhadap konsumen dikarenakan begitu intense dan terkesan negatif.[2]
Meskipun begitu diperlukan sebuah analisa yang lebih konkret mengenai dampak pemilu terhadap perekonomian. Pada 2 Juni 2016, Wells Fargo Securities menerbitkan sebuah laporan analisa yang dilakukan oleh Michael A. Brown dan Michael Pugliese. Analisa terseubut menguji hipotesis yang menyatakan bahwa aktivitas ekonomi akan menurun seiring dengan diadakannya pemilihan umum. Secara garis besar, hipotesis ini didasarkan pada dua alasan :
- Situasi yang terjadi menjelang pemilihan umum akan mempengaruhi pola perilaku konsumen dan para pelaku bisnis
- Dalam beberapa kasus tertentu, terdapat kemungkinan seorang incumbent yang maju dalam pemilihan umum selanjutnya merubah kebijakan ekonomi demi mendorong stimulus yang akan menaikkan elektabilitas diriinya
Analisa tersebut memanfaatkan beberapa indikator ekonomi yang dianggap merupakan indikator kunci dari perkembangan perkembangan ekonomi antara lain real GDP, real disposable income, employment, &industrial production. Sementara itu, real consumer spending serta business fixed investment digunakan untuk meneliti apakah konsumen dan perusahaan menjadi lebih hati-hati pada waktu-waktu menjelang pemilihan umum. Sementara itu, government spending & federal spending digunakan untuk melihat perilaku para politisi. Data-data dari indikator-indikator diatas dibandingkan anatara tahun pemilu dan non-pemilu per perempat tahun selama 60 tahun.