Demi melepas penat di penghujung minggu, ada sepasang kekasih yang sedang makan di restoran sederhana. Dua piring nasi hangat, lauk pauk renyah, dan gelas minuman menyegarkan terasa begitu mewah. Sang lelaki mengisyaratkan kepada pelayan untuk mengeluarkan tagihan mereka, yang pada akhirnya berkisar Rp 250.000. Tanpa mereka sadari, uang yang mereka keluarkan untuk sekali makan, seharga dengan hasil jerih payah satu bulan sebagai seorang guru honorer.
Sistem pendidikan selalu menjadi perbincangan yang hangat pada setiap tahun perubahan politik. Hal tersebut rupanya terpampang nyata dalam sistem pendidikan kita dari segi pelaksanaannya, kebijakan yang diterapkan maupun hasil akhir. Berbicara tentang hasil akhir, Indonesia memiliki salah satu kemampuan kognitif paling rendah secara global (PISA, 2022). Skor Indonesia untuk kompetensi literasi, sains dan matematika lebih dari 100 poin di bawah rata rata OECD. Pelajaran vital seperti membaca, menulis dan menghitung berawal di ruang kelas, yang berarti kompetensi guru linear dengan prestasi sang anak. Untuk memajukan bangsa Indonesia, tidak hanya dimulai dari siswanya melainkan juga pengajarnya. Namun, jika pengajar sendiri tidak sejahtera, bagaimana ia bisa mensejahterakan siswanya?Â
Orang bilang tanah kita tanah surga, tapi bagaimana dengan guru?
Ketabahan hati para sosok berjasa ini seringkali diuji. Kenyataannya, seorang guru di NTT hanya mendapatkan gaji sebesar Rp 250.000 setiap bulannya---Ironi, bukan? Bagaimana ia bisa hidup dengan dana tersebut? Â Data survei IDEAS menunjukkan 74% guru honorer di Indonesia memiliki penghasilan di bawah 2 juta dan 20,5% di antara mereka berpenghasilan di bawah Rp 500.000.Â
Di negeri kita, kesejahteraan guru masih tidak sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan. Hal ini tercermin dari tingkat UMR yang berlaku di Sumba, NTT. Pada tahun 2023, tingkat UMR wilayah tersebut sampai Rp 2.123.994. Dengan upah dari kasus di atas, menjadi guru saja tak cukup. Agar kebutuhannya terpenuhi, guru melakukan pekerjaan sampingan seperti menjadi guru bimbingan belajar, berdagang, hingga menjadi kreator konten.Â
Tak hanya mencari pundi-pundi tambahan di ladang lain demi mencukupi hidup sehari-hari, guru juga harus menghadapi kenyataan pahit. Rupanya, 42% individu yang terjerat oleh pinjaman online memiliki profesi sebagai guru (OJK, 2021), hampir setengah dari sampel tersebut. Sejauh ini, Indonesia memiliki 3,39 juta guru pada tahun 2024 (BPS, 2024). Walaupun jumlah tenaga kerja pendidik dalam negeri  sudah terlihat cukup, nampaknya Indonesia masih kekurangan 1,3 juta guru di tahun 2024. Di tengah kekurangan guru yang mendesak, ribuan guru Indonesia jatuh ke dalam  perangkap utang. Beban ganda ini tidak hanya mengancam kesejahteraan guru, tetapi juga kualitas pendidikan anak bangsa.
Taman Ilmu yang Mulai LayuÂ
Guru sesungguhnya jantung dari pendidikan. Walaupun pemerintah berperan sebagai otak yang memberi arahan, apapun yang terjadi di lingkup  sekolah adalah karena peran  guru. Pastinya, menjalani pendidikan juga bukan hal yang mudah. Lalu, mengapa individu memilih untuk terus menuntut ilmu? Ternyata, satu tahun tambahan sekolah dapat meningkatkan pendapatan sekitar 5.7% (IFLS,2023), fakta ini  menggambarkan pentingnya pendidikan bagi seorang individu. Tentu saja, hal tersebut  menjadi tantangan bagi sang guru, karena keberlangsungan akademik siswa berpatok kepada guru yang mengajarkan komponen dasar pendidikan. Sayangnya, tugas mulia ini tidak disandingi dengan insentif sepadan.Â
Tidak hanya itu, guru dituntut untuk bisa mengupayakan segala hal yang ada di sekitarnya. Di wilayah terpencil Indonesia, dimana sarana untuk pembelajaran terbatas, guru dituntut  untuk kreatif mencari solusi. Tetapi kalau tidak ada sarana yang memadai, bagaimana guru juga dapat melakukan pengajaran secara maksimal? Ditambah lagi, sistem pendidikan sangat erat dengan kebijakan pendidikan yang diatur oleh pemerintah. Dengan adanya kabinet dan pengurus baru, tidak jarang sistem pendidikan dijadikan tanah liat yang bebas diubah bentuknya oleh para pembuat kebijakan.Â