Teriakan "all lives matter" atau "my body, my choice" telah bergema di jalan-jalan Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir, mencerminkan kecemasan, ketidaksetujuan, ataupun dukungan terhadap pembatasan aborsi. Polemik ini mengundang pandangan dari berbagai disiplin ilmu, baik eksakta maupun sosial. Ilmu ekonomi, dengan asumsi dasarnya bahwa setiap keputusan melibatkan trade-off, tidak luput dari percakapan terkait aborsi. Apa yang dianggap sebagai opportunity cost dalam sebuah keputusan aborsi? Bagaimana ekonomi mencoba menenun benang kompleksitas dari isu yang begitu manusiawi ini?
Supreme Court's 1973 Roe v. Wade
Roe v. Wade adalah keputusan Mahkamah Agung AS pada tahun 1973 yang menentukan hak aborsi di negara Paman Sam. Dalam kasus ini, Jane Roe, seorang wanita hamil lajang, menggugat undang-undang Texas yang hanya mengizinkan aborsi untuk menyelamatkan nyawa ibu. Roe berpendapat bahwa hukum tersebut melanggar hak privasi yang dilindungi oleh Konstitusi AS. Mahkamah Agung memutuskan bahwa hak privasi memang melindungi hak seseorang untuk memilih aborsi, tetapi hak ini tidak mutlak dan harus diimbangi dengan kepentingan negara dalam melindungi kesehatan dan kehidupan prenatal.Â
Keputusan ini membagi kehamilan menjadi tiga trimester: pada trimester pertama, negara tidak boleh mengatur aborsi selain memastikan prosedur dilakukan dengan aman; pada trimester kedua, negara boleh mengatur aborsi jika terkait kesehatan ibu; dan pada trimester ketiga, negara dapat melarang aborsi kecuali jika diperlukan untuk menyelamatkan nyawa atau kesehatan ibu.
Seiring waktu, terdapat beberapa kasus yang terjadi dan berupaya untuk melakukan revisi terhadap keputusan Roe v. Wade. Puncaknya terdapat pada kasus "Dobbs v. Jackson Women's Health" pada 2022 yang secara eksplisit meminta Mahkamah Agung untuk membatalkan Roe v. Wade.Â
Pada bulan Juni 2022, Mahkamah Agung memutuskan untuk membatalkan Roe v. Wade, yang kemudian memperketat akses terhadap aborsi di beberapa negara bagian. Setelah keputusan Roe v. Wade, aborsi tetap menjadi topik kontroversial dalam politik Amerika Serikat, para ekonom pun dengan keyakinan "rasionalnya" turut menyumbangkan pemikiran.
Beberapa ekonom berpendapat bahwa aborsi yang tidak dibatasi praktiknya dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi perempuan, bahkan masyarakat secara umum. Menteri Keuangan AS Janet Yellen menyatakan bahwa pembatasan akses terhadap aborsi "akan sangat merugikan ekonomi" karena berdampak negatif pada posisi perempuan di pasar tenaga kerja dan meningkatkan risiko mereka jatuh miskin.Â
Dalam amicus brief yang diajukan oleh 154 ekonom, terdapat kesimpulan bahwa legalisasi aborsi dapat meningkatkan upah, pencapaian pendidikan, partisipasi angkatan kerja, dan tingkat pernikahan wanita. Studi-studi ini umumnya menemukan bahwa peningkatan akses aborsi mengurangi jumlah kelahiran bayi, serta meningkatkan pencapaian pendidikan, partisipasi angkatan kerja, dan upah wanita.
Grafik 1. Status Aborsi di Negara Bagian dan Tingkat Upah
Danielle Sandler dan Nichole Szembrot memperkirakan bahwa ketika seorang perempuan menjadi ibu, pendapatan mereka akan turun sekitar $26.000 selama enam tahun setelah memiliki anak pertama. Jika setiap aborsi mencegah penurunan pendapatan seorang ibu, semua aborsi yang terjadi pada tahun 2019 di AS (sebanyak 630.000 jiwa) dapat meningkatkan pendapatan ibu sebesar $16,2 miliar dalam enam tahun tersebut. Oleh karena itu, diasumsikan bahwa terdapat dampak dari kelahiran bayi terhadap hasil ekonomi seorang ibu. Hal ini diklaim sebagai indikasi bahwa pembatasan aborsi mendorong wanita untuk memiliki bayi yang memberikan "motherhood penalty" terhadap penghasilan mereka.Â