"Lihat kami sebagai rakyat. Ini udah betul-betul 70 persen, sama dengan mati!"
Ungkap seorang demonstran pada aksi protes PHK massal pada bulan Juli lalu. Seruan tersebut menyoroti tergerusnya utilisasi Industri Kecil Menengah (IKM) tekstil dan produk tekstil (TPT) Jawa Barat yang turun sebesar 70 persen.
Ribuan kepala menggaungkan pesan serupa. Tuntutan demi tuntutan dilayangkan kepada pemangku kuasa. Dengan harap yang menggantung di ujung nasib, mereka memohon agar industri yang selama ini menjadi nadi kehidupan dipertahankan dari tepi kehancuran. Pada bulan yang sama, Kementerian Perindustrian menyatakan bahwa sejumlah 11.000 pekerja tekstil terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pasca terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 Tentang Kebijakan Impor. Gempuran produk asing telah merambah cepat ke dalam negeri, memberikan hantaman bertubi-tubi hingga industri TPT terpaksa bertekuk lutut. Ditambah dengan ketidakmampuan untuk mengimbangi perekonomian yang tengah lesu, puluhan pabrik tekstil raksasa pun terpaksa gulung tikar. Lantas, bagaimanakah industri yang telah lama menjadi salah satu primadona neraca perdagangan Indonesia kini dapat terpuruk di ambang krisis? Akankah kejatuhan industri kolosal terjadi, ataukah ini hanya sebuah pesimisme tak berarti?
PHK Massal: Riak di Permukaan
Dewasa ini, narasi industri TPT menjadi sebuah sunset industry mulai bermunculan. Narasi ini tumbuh akibat dari lesunya industri TPT akhir-akhir ini yang ditandai dengan masifnya tindakan PHK yang dilaksanakan oleh banyak perusahaan. Sebagai salah satu industri padat karya, daya serap tenaga kerja dari industri TPT memang sangat signifikan. Namun, naasnya gelombang PHK di pabrik TPT nasional dilaporkan masih terus berlanjut sejak tahun 2022 lalu bahkan hingga saat ini (CNBC, 2024). Tercatat per Februari 2024, serapan tenaga kerja di sektor TPT menurun menjadi 3,87 juta dari 3,98 juta pada tahun sebelumnya (Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, 2024). Terhitung sejak awal tahun 2024 hingga bulan Juni, Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) melaporkan bahwa sebanyak 13.800 pekerja di industri tekstil telah terkena PHK. Besarnya jumlah tenaga kerja yang berjatuhan secara bertubi-tubi ini memberikan sinyal bahwa ini bukan semata-mata tindakan efisiensi operasional biasa, tetapi merupakan pertanda bahwa industri sedang tidak baik-baik saja. PHK massal ini menjadi pertanda  respon dari rendahnya permintaan yang diterima oleh perusahaan, baik itu dari pasar dalam negeri maupun pasar global.
Era Sukar menjadi Seorang Produsen
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) memang menyinggung bahwa industri tekstil lokal pada tahun 2023--2024 berada dalam kondisi terburuknya dalam sembilan tahun terakhir (CNN, 2024). Menurunnya permintaan global tercermin dari ekspor industri tekstil Indonesia yang terus mengalami penurunan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor TPT pada Mei 2024 berada di angka US$963,7 juta atau turun 6,80% year-on-year (y-on-y) dibandingkan Mei 2023 yang bernilai US$1,03 miliar. Dari sisi volume, ekspor TPT juga turun dari 173,7 juta kg pada Mei tahun lalu menjadi 167,03 juta kg di tahun ini. Deputi Bidang Statistik Produksi BPS---Habibullah---mengungkapkan bahwa secara kumulatif, ekspor tekstil telah mengalami penurunan sebesar 0,80 persen pada Januari--Mei 2024 dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Fenomena lesunya ekspor ini tidak hanya terjadi pada Indonesia. Seperti yang terlihat pada Gambar 1, secara global penurunan permintaan akan produk tekstil oleh negara konsumen impor utama sudah terlihat pada tahun 2023. Tingginya inflasi di negara-negara konsumen yang didukung oleh tensi geopolitik dan disrupsi rantai pasok mengakibatkan daya beli masyarakat dunia melemah dan permintaan global terhadap produk pakaian berkurang.
Ketidakstabilan ekonomi global juga menghantam hulu industri TPT. Terdepresiasinya rupiah terhadap dolar AS mengakibatkan bahan baku impor untuk produk tekstil menjadi lebih mahal (CNBC, 2024). Indonesia yang masih bergantung pada impor bahan baku tekstil, seperti sutra, serat tekstil, serat stapel, benang filamen, benang tenun, kapas, serta benang dan kain lainnya harus menghadapi meningkatnya biaya untuk berproduksi. Tak terelakkan, pabrik-pabrik domestik yang tertekan harus melakukan efisiensi, tercermin dengan gelombang PHK yang semakin menjadi.