Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tapera: Cita-Cita yang Terlukis di Langit atau Beban yang Menghimpit?

14 Juni 2024   20:15 Diperbarui: 14 Juni 2024   20:15 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beribu tahun, beranak pinak, tanpa terlelap, kami bertanya
di manakah tanah serta mata airnya? 

-Merdeka, Efek Rumah Kaca


Di manakah tanah serta mata airnya? Mimpi tentang rumah masih berpendar di langit malam, mana investasi untuk masa depan kita? Apa arti kemakmuran, jika hanya sebatas kata. Kebijakan demi kebijakan dilahirkan oleh para kuasa untuk mengurai simpul persoalan perumahan. Backlog adalah gambaran akumulasi tugas atau pekerjaan yang belum selesai atau belum diatasi dalam suatu proses atau sistem. Dalam konteks kepemilikan rumah, backlog menjelma menjadi bayang-bayang yang merayap dalam keheningan, menggerayangi kesejahteraan masyarakat Indonesia, menyelimuti harapan mereka dalam kabut ketidakpastian. Backlog kepemilikan rumah tercipta dari celah antara mereka yang menyediakan dan mereka yang mendambakan. Melimpahnya penawaran hunian rumah (oversupply housing), namun di sisi lain, langka rumah yang terjangkau bagi mereka yang memerlukan (undersupply affordable housing). Persoalan mendasar ini bagai dua sisi mata uang, menciptakan jurang yang tak terjembatani antara harapan dan kenyataan.

Tujuh puluh delapan tahun Indonesia merdeka, namun angka backlog perumahan nasional justru kian menggunung, mencapai 12,7 juta unit (LPEM FEB UI, 2024). Alih-alih menurun, masalah ini terus membayangi. Selain itu, jika kita berkaca pada hasil Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia pada triwulan I 2024, menunjukan bahwa perkembangan harga properti residensial di pasar primer meningkat sebesar 1,89%  (y-o-y), indeks harga ini meningkat dari triwulan sebelumnya sebesar 1,74% (y-o-y) (Bank Indonesia, 2024).

Data tersebut mengindikasikan kenaikan jumlah backlog perumahan dan peningkatan persentase harga properti memberikan realita mimpi akan hunian layak masih tetap menjadi bayang-bayang harapan masyarakat bangsa. Lantas, dimana andil pemerintah dalam mewujudkan kestabilan harga pasar rumah yang terjangkau, dan memberikan hunian layak bagi mereka yang memerlukan? Hunian layak masih menjadi mimpi yang jauh dari genggaman. Tantangan besar ini mengintai di balik setiap langkah, menggema dalam setiap upaya mewujudkan cita-cita pembangunan nasional.

Riuh Kebijakan TAPERA

Dengan kuasa, mereka membuat kebijakan guna menyelesaikan persoalan ini. Lahir sebuah produk hukum dan kebijakan yang dinamakan tabungan perumahan rakyat (TAPERA). RUU ini dirancang untuk menghadirkan harapan baru, sebuah skema tabungan perumahan yang menyinari mimpi masyarakat berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah sendiri. Dengan mengusung semangat "gotong royong", rancangan kebijakan ini iuran sebesar 3% disusun dengan skema cost-sharing: 2,5% dari pekerja dan 0,5% dari pemberi kerja, jika pekerja tersebut bekerja mandiri akan membayar seluruh iuran Tapera sebesar 3%. Berbeda dengan kebijakan pendahulunya, sasaran kebijakan ini diperluas yang sebelumnya hanya menyasar para pegawai negeri sipil (PNS), kebijakan ini sektor swasta dan pekerja luar negeri yang bekerja di Indonesia turut andil dalam pembayaran Tapera. Setelah satu tahun menabung melalui iuran ini, pekerja dapat mengajukan kepemilikan rumah dengan cicilan ringan hingga tiga dekade. Kebijakan ini, diformulasikan untuk memberikan secercah harapan berupa janji akan masa depan yang lebih cerah, tempat di mana mimpi akan rumah dapat terwujud.

Namun, kebijakan tersebut membuat riuh di antara dinding harapan dan kenyataan, membawa janji akan rumah yang diinginkan dalam bayang-bayang lara. Penolakan banyak terjadi, dari kalangan pekerja dan pemilik usaha yang mewarnai ruang publik. Dari sisi tenaga kerja, program kebijakan ini memberikan tambahan potongan pada pendapatan mereka, mengingat para pekerja selama ini sudah menanggung banyak iuran lainnya. Total iuran pungutan pekerja menjadi bertambah, dan mencapai sekitar 11,5% lebih dari anggaran upah, hal ini tentu akan berimbas pada penurunan daya beli masyarakat (LPEM FEB UI, 2024).

Porsi penduduk kelas menengah Indonesia di angka 20 persen dari total penduduk atau setara dengan 52 juta penduduk Indonesia berada pada kelas menengah, angka ini mengalami peningkatan luar biasa dalam dua dekade terakhir (World Bank, 2020). Tak melarat, namun jauh dari konglomerat, mereka menjalani hidup serba pas seperti jeans sekarang. Hal ini tercermin dari jumlah pendapatan bersih yang sedikit, akibat jumlah pengeluaran yang harus mereka tanggung cukup banyak, baik berupa iuran, kebutuhan pokok, dan kebutuhan lainnya.

Gambar 1. Pengeluaran per orang per bulan menurut kelas. Sumber: Kompas.id
Gambar 1. Pengeluaran per orang per bulan menurut kelas. Sumber: Kompas.id

Rata-rata pengeluaran kelompok kelas menengah berkisar antara Rp 1,2 juta hingga Rp 6 juta, pengeluaran tersebut mendekati dari pendapatan mereka, kebijakan ini terasa seperti "mengais di padang gersang", menambah beban pada sektor formal dan informal yang sudah terhimpit. Skema ini malah menjadi beban tambahan bagi mereka yang bukan termasuk masyarakat berpenghasilan rendah, terutama kelas menengah yang selama ini terabaikan dalam berbagai skema kebijakan publik. Sementara itu, kualitas regulasi dan institusi masih belum mendukung dalam transformasi pelebaran pada sektor informal. Kelas menengah baik dalam sektor informal dan formal, sebagai certified complainer akan bersuara mengenai ketidaksiapan kualitas institusi yang "menggerogoti" harapan dan harta mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun