Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

REDD+, Ketika Alam Dikonversi Menjadi Harga

17 November 2023   18:03 Diperbarui: 17 November 2023   18:03 885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Dalam suatu kelas dengan Chatib Basri, saya berkesempatan untuk bertanya mengenai carbon trade dan implikasi dari REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) di Indonesia. Jawaban yang diberikannya cukup lugas dan jelas. Mengenai carbon trade, secara garis besar bahwa dalam konteks global masih sulit untuk dijalankan karena nilai ekonomi karbon dari setiap negara berbeda-beda. Di skala nasional, pemerintah sedang melakukan konstruksi kebijakan terkait NEK (Nilai Ekonomi Karbon), mekanisme perdagangan, serta pajak karbon. Namun, yang menarik perhatian saya adalah jawaban mengenai REDD+, "tidak jalan" ucap mantan menteri tersebut dengan tegas.

REDD+ 101

23 tahun sejak Pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Konvensi Kerangka Kerja tentang Perubahan Iklim pada tahun 1992, dan 18 tahun telah berlalu sejak sebagian besar negara industri menandatangani Protokol Kyoto pada tahun 1997. Namun, emisi yang disebabkan oleh konsumsi bahan bakar fosil masih terus meningkat, termasuk di negara-negara industri yang seharusnya memiliki tanggung jawab utama atas peningkatan emisi di atmosfer sejak menggerakkan 'revolusi industri'. Oleh karena itu, dikeluarkan berbagai mekanisme terkait dengan perdagangan karbon. 

Secara umum, terdapat 2 mekanisme utama yang digunakan, yaitu cap-and-trade dan offset. Melalui sistem cap-and-trade terdapat kesepakatan batas atas (cap) bagi perusahaan dalam menghasilkan emisi karbon, apabila perusahaan menghasilkan karbon lebih dari batas yang sudah ditetapkan tersebut, maka perusahaan harus melakukan pembelian karbon dari perusahaan lain yang memiliki kuota karbon lebih. 

Namun, offset merupakan sistem di bawah skema Clean Development Mechanism (CDM), yang menyatakan apabila perusahaan menghasilkan karbon lebih dari yang seharusnya, maka perusahaan tersebut wajib membuat proyek yang mendukung pembangunan ekosistem berkelanjutan yang ramah lingkungan khususnya di negara berkembang, misalnya membangun pembangkit listrik tenaga surya di India.

Bulan Desember 2015 di Paris, Prancis, pada pertemuan tahunan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang iklim, pemerintah diharapkan untuk mengadopsi perjanjian iklim internasional yang memiliki dampak lebih signifikan. Peran hutan dalam perjanjian ini telah menjadi topik kontroversial sejak adanya usulan mengenai REDD+. 

REDD disertai  tanda plus (+) melambangkan kegiatan tambahan terkait hutan yang melindungi iklim, yaitu pengelolaan hutan berkelanjutan dan konservasi serta peningkatan saham karbon. REDD+ pertama kali dibahas dalam pertemuan iklim PBB tahun 2007 di Bali, Indonesia dan implementasinya berjalan dibawah UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change). Pada dasarnya, REDD+ merupakan suatu skema yang dibuat bagi korporasi untuk menginvestasikan dana bagi kepentingan konservasi hutan. Nantinya 'produk' yang dihasilkan oleh proyek-proyek ini berupa kredit karbon yang akan dijual kepada industri penghasil emisi karbon. 

UNFCCC menetapkan 3 tahapan dalam menjalankan REDD+. Diawal, dilakukan pengembangan strategi nasional untuk mempersiapkan infrastruktur proyek. Selanjutnya, pemerintah bersama pihak pelaksana melakukan  pembangunan dan transfer teknologi, serta proyek demonstrasi. Terakhir, setiap tindakan yang sudah dilakukan diukur, dilaporkan, dan diverifikasi untuk memperoleh kredit karbon.

Ratusan juta euro telah digelontorkan sejak tahun 2007 bersamaan dengan berjalannya perbincangan PBB mengenai REDD+. Dampak dari proyek-proyek REDD+ di seluruh dunia dan banyak pro-kontra yang dituai dan mempengaruhi ribuan orang. Bagi yang menolak, suara mereka konon diredam oleh para elit yang tegas meyakini bahwa REDD+ tidak hanya akan melindungi hutan-hutan yang tersisa dan mengurangi dampak perubahan iklim, tetapi juga akan menjadi peluang bisnis yang menguntungkan. 

Keyakinan ini berakar pada struktur dan kepentingan yang sama, yaitu memungkinkan "pencemar" untuk menghindari tindakan nyata dalam mengurangi emisi dan menghasilkan privatisasi gas rumah kaca melalui perdagangan karbon. Secara singkat REDD+ dapat menjadi sarana "cuci dosa" para pemangku kepentingan industri. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi di lapangan? 

Realita REDD+ di Indonesia: Gagal Total?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun