1) Selamatkan semua orang yang butuh pertolongan -- yang menyebabkan sekoci kelebihan kapasitas dan menenggelamkan semua yang selamat. Hardin menyebutkan kondisi ini sebagai keadilan menyeluruh yang berujung pada musibah yang menyeluruh (complete justice, complete catastrophe).
2) Selamatkan 10 dari 100 orang ke dalam kapal -- yang mengakibatkan pengurangan sisa jatah penumpang sehingga safety factor berkurang, misalnya jatah berat tambahan untuk mengangkut makanan selama di kapal. Hardin juga mempertanyakan siapa 10 orang yang sebaiknya diselamatkan, apakah dipilih melalui skema siapa cepat dia dapat, hingga bagaimana justifikasi untuk disampaikan kepada 90 orang sisanya yang tidak diselamatkan.
3) Tidak selamatkan orang sama sekali -- untuk memastikan keselamatan mereka yang sudah berada di sekoci. Meskipun begitu, Hardin mengingatkan untuk selalu waspada terhadap pihak yang ingin naik ke sekoci tersebut.
Dari ketiga pilihan tersebut, Hardin melihat pilihan yang terakhir sudah jelas menjamin keselamatan semua. Akan tetapi, kebanyakan orang merasa punya "beban moral" yang ditanggung atau penyesalan dari mereka yang selamat di atas kematian dan penderitaan orang lain. Untuk mengatasi penyesalan ini, Hardin menjawab solusi sederhana, yaitu menukar jatah tempat mereka yang merasakan penyesalan ini dengan orang yang berada dibawah (Get out and yield your place to others).
Etika sekoci inilah yang kemudian digunakan oleh Hardin untuk mempertanyakan berbagai kebijakan dari negara maju, seperti bantuan luar negeri, imigrasi, dan bank makanan (food banks). Ia mengumpamakan Amerika Serikat dan negara maju lainnya tinggal di atas sekoci, sementara negara berkembang lainnya terombang-ambing di laut lepas. Secara empiris, dapat dilihat pada data PBB tahun 2015 (Grafik 1) bagaimana negara yang kurang maju (least developed countries) di wilayah Afrika punya angka fertilitas (rata-rata kelahiran per wanita) yang jauh lebih tinggi dibandingkan negara lain yang lebih maju. Perlu diingat kembali bagaimana besarnya kebutuhan hidup ditentukan oleh ukuran populasi, yang kemudian bergantung pada besarnya angka reproduksi. Hardin berargumen bahwa negara maju seharusnya menghitung secara matang sebesar apa biaya yang ditanggung untuk menopang kehidupan penduduk negara miskin yang bertumbuh secara besar-besaran. Bagaimana jika pada akhirnya penduduk dunia didominasi oleh populasi dari negara miskin akibat permasalahan Tragedy of the Commons untuk berkembang biak? Siapa yang bertanggung jawab jika pada akhirnya populasi yang tidak terkontrol ini menimbulkan bencana alam bagi semua negara, baik maju dan berkembang. Argumen proteksionisme inilah yang juga kemudian menjelaskan preferensi politik penduduk untuk memilih tokoh populis, misalnya slogan "America First" dari mantan Presiden AS Donald Trump.
Sudut Lain dari Overpopulasi dan Tragedy of The Commons: Apa Pelajaran yang dapat Kita Ambil?
Pada kenyataannya, kesimpulan untuk menyalahkan jumlah populasi sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan dianggap kurang tepat akibat cakupan analisis yang terlalu sederhana (oversimplified). Mengutip persamaan IPAT dari Ramaswami (2012),
Impact = Population x Affluence x Technology
atau
Dampak Lingkungan = Populasi x Kekayaan x Teknologi
Sejak tahun 2000, laporan PBB menunjukkan bahwa:
- Kekayaan (affluence)Â -- penggunaan sumber daya global didominasi efek dari peningkatan kemakmuran, bukan populasi. Hal ini dibuktikan dari bagaimana negara-negara berpenghasilan tinggi hingga menengah ke atas menyumbang 78 persen dari konsumsi materiil, meskipun memiliki tingkat pertumbuhan populasi yang lebih rendah dibandingkan negara lainnya yang lebih miskin.
- Populasi (population) -- di negara-negara berpenghasilan rendah, dengan proporsi dari populasi dunia yang meningkat hampir dua kali lipat sejak tahun 2000, permintaan terhadap sumber daya tetap konstan hanya sekitar 3 persen dari total permintaan global.
- Teknologi (technology) -- juga dinilai bergerak ke arah yang salah (Ramaswami, 2012). Tren global selama dua dekade terakhir adalah penggunaan lebih banyak sumber daya untuk membuat lebih sedikit barang, terutama karena globalisasi telah memindahkan produksi ke tempat di mana sistem energi dan mesin kurang efisien.
Selain itu, Elinor Ostrom juga menemukan bahwa pada kenyataannya manusia dapat menyelesaikan masalah tragedy of the commons melalui institusi lokal (local solution), meski tanpa adanya regulasi terpusat. Terobosan ini didasarkan dari penelitian lapangannya terhadap bagaimana orang di komunitas lokal yang kecil dapat berhasil mengatur sumber daya alam milik bersama, seperti lahan rumput di kedua desa Jepang, Hirano dan Nagaike; mekanisme irigasi huerta di Spanyol; dan hutan komunitas di wilayah Terai Nepal. Penemuan ini menjadi topik fundamental dalam bidang institutional economics dan kemudian menjadikan Ostrom sebagai peraih penghargaan Nobel Ekonomi tahun 2019, sekaligus menjadi wanita pertama peraih Nobel Ekonomi sepanjang sejarah.