Dengan luas daerah perairan sebanyak 81% dari total area dan garis pantai sepanjang 95.181 km, ada sebab negara kepulauan ini bisa menjadi kekuatan maritim terbesar di setiap titik sejarah.Â
Moyang kita dari kerajaan besar mengingat laut, selat, dan sungai sebagai "halamannya"-- memusatkan peradaban mereka seputar poros yang mengalir. Demikianlah budi daya air merupakan tonggak kuat perekonomian--melewati rintangan waktu.
Dari banyaknya budi daya air yang sudah dijalani sebagai sumber pendapatan warga, budi daya udang (serta krustasea sejenis lainnya) menjadi salah satu tiang besar dalam industri ini.Â
Dengan pasar udang global yang memiliki nilai mencapai US$ 17.9 Miliar di tahun 2020 (OEC, 2020) dan merepresentasikan 0.11% dari perdagangan dunia, tidak heran pemerintah menitikberatkan fokus pada  rencana program menaikan ekspor udang hingga 250% pada 2024.Â
Posisi tanah air sendiri sebagai eksportir terbesar keempat di dunia di tahun 2020 juga memperlihatkan seberapa besar budi daya jenis krustasea ini menopang ekspor komoditas non migas.Â
Semua fakta sebelumnya terdengar cukup kontradiktif apabila mengetahui bahwa produktivitas tambak udang di Indonesia masih sangat rendah di angka 0,6 ton per hektare.Â
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, potensi lahan untuk perkembangan budidaya air payau (tambak) di Indonesia mencapai sekitar 2.964.331,24 hektar.Â
Namun, hingga tahun 2017, penggunaan lahan budidaya udang baru mencapai 20% dari total potensinya yaitu sekitar 605.908.818 hektar, masih sangat terbuka untuk dikembangkan lahan untuk ekstensifikasi budidaya udang.Â
Bagaimana bisa dengan produktivitas rendah, negara kepulauan ini menempati posisi eksportir udang terbesar keempat? Apakah mereka bisa merebut posisi sang juara pertama?Â
Dan bagaimana kita bisa meranjak ke posisi tersebut? Pada paragraf yang akan datang, kita akan mengulik bersama pertanyaan-pertanyaan sebelumnya.