Berleha-leha di kasur selagi lanjut menonton kelakuan jenaka Jay Pritchett di salah satu episode Modern Family---sebuah kenikmatan yang rasanya sulit untuk ditolak,apalagi jika opsi kegiatan lainnya adalah mengerjakan tugas kuliah yang tenggat waktunya masih minggu depan.Â
Bagi seorang procrastinator, proses pengambilan keputusan dalam otak sudah bersifat auto-pilot. Jika amygdala dari seorang procrastinator dapat berbicara, pasti bagian sistem limbik itu akan berkata, "Urusan tugas masih perkara nanti. Yang penting sekarang kita happy!".Â
Penundaan pekerjaan mungkin tidak begitu terasa dampaknya apabila hanya dilakukan sesekali. Namun, apabila sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging, si pelaku mungkin akan sering merasakan berbagai kerugian dari aksinya.Â
Bagi seorang mahasiswa, contoh klasik adalah menunda persiapan ujian. Tak jarang keputusan untuk menunda akhirnya berbuah penyesalan karena hasil dari sistem kebut semalam ternyata tidak memuaskan.Â
Namun, setelah mengetahui kerugian dari menunda pekerjaan, seorang procrastinator tak jarang mengulangi aksinya. Apakah ini sebuah keputusan yang rasional? Lantas, apa kata ilmu ekonomi tentang menunda pekerjaan?Â
Menimbang Berbagai PilihanÂ
Sebagai ilmu pembuatan keputusan, ilmu ekonomi dapat menjelaskan procrastination menggunakan konsep opportunity cost. Menurut teori mikroekonomi ini, biaya dari suatu keputusan adalah hilangnya utilitas yang mungkin diperoleh oleh seorang individu dari alternatif pilihan terbaik ketika individu tersebut memilih pilihan tertentu. Sebagai homo economicus yang memiliki motivasi untuk memaksimalkan utilitas dan meminimalisasi kerugian, keputusan yang rasional untuk dibuat adalah keputusan dengan opportunity cost terendah.Â
Dalam konteks penundaan pekerjaan, keputusan untuk menunda akan dibuat ketika individu menilai bahwa kenikmatan dari penggunaan sumber daya waktu untuk berleha-leha lebih besar dari ekspektasi hasil yang akan dia dapatkan dari penggunaan waktu untuk bekerja saat itu juga. Oleh karena itu, faktor yang mempengaruhi pandangan seorang individu akan manfaat procrastination dan opportunity cost inilah yang menentukan pilihannya.Â
Kereta logika ini menandakan bahwa sebenarnya pilihan untuk menunda pekerjaan tetaplah rasional karena didasarkan pada analisis biaya-manfaat si pembuat keputusan.Â
Setelah menelaah bagaimana suatu keputusan untuk procrastinate dibuat, kita beralih ke faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dari sudut pandang ekonomi, konsep-konsep behavioral economics seperti hyperbolic discounting, insentif, dan loss aversion mampu menjelaskan mengapa seseorang (termasuk penulis dan mungkin juga pembaca) menunda pekerjaan.Â
Menunggu itu Memang BeratÂ
Riset ekonom behavioral George Akerlof (1991) menemukan bahwa meski menunda pekerjaan adalah suatu pilihan yang rasional, pilihan ini tidak terlepas dari bias kognitif. Ia menemukan bahwa opportunity cost yang dirasakan saat ini lebih jelas bagi seorang individu daripada opportunity cost yang baru dirasakan di masa depan. Fenomena ini dikenal dengan hyperbolic discounting.Â
Individu memiliki tendensi alamiah untuk mendiskon suatu manfaat yang terjadi di masa depan (future value) secara berlebihan sehingga individu memilih smaller-sooner reward dibanding larger-later reward. Karenanya, mengorbankan kenikmatan instan untuk keberhasilan yang sifatnya masih jauh di masa depan terasa berat.Â
Richard Thaler (2015), bapak behavioral economics, menemukan bahwa hyperbolic discounting terlihat jelas pada kasus tabungan pensiun. Kebanyakan orang memilih untuk menghamburkan uang untuk kesenangan sesaat daripada menabung untuk tabungan pensiun. Ini mengindikasikan bahwa orang-orang memang memiliki tendensi untuk procrastinate dalam membuat keputusan yang baru memberikan kesejahteraan di masa depan.Â
Tidak Untung, Tidak Rugi, Tidak KerjaÂ
Alasan selanjutnya seorang procrastinator menunda pekerjaannya berkaitan dengan motivasi untuk bekerja. Rendahnya motivasi untuk bekerja dipengaruhi oleh dua impuls. Impuls pertama yang meningkatkan kemungkinan procrastination adalah kecilnya insentif untuk segera bekerja. Sebagai individu rasional yang aksinya didorong oleh insentif, individu akan enggan mengorbankan waktu bersantainya apabila ia merasa bahwa pekerjaan yang ia kerjakan tidak memiliki manfaat besar.Â
Impuls kedua adalah tidak adanya kerugian yang diderita oleh si penunda pekerjaan apabila ia tidak segera bekerja. Tendensi ini berkaitan dengan konsep loss aversion yang menyatakan bahwa seorang individu selalu mendahulukan situasi dimana ia dapat kehilangan sesuatu dibandingkan situasi dimana ia mendapat sesuatu (Fleishcner, 2017). Sederhananya, kehilangan atau kekalahan merupakan suatu biaya yang dirprioritaskan.Â
The Million-Dollar Question: bagaimana cara berhenti menunda pekerjaan? Keputusan untuk menunda pekerjaan sebenarnya merupakan keputusan yang sangat subjektif. Keputusan dapat diubah apabila terdapat perubahan pada arsitektur pilihan individu yang dapat dipengaruhi oleh cara pandangnya mengenai kombinasi beban serta utilitas yang dihadapi dari pilihan bekerja atau bersantai.Â
Berdasarkan penemuan ini, cara untuk berhenti menunda pekerjaan adalah dengan mengoreksi adanya bias kognitif dalam menilai manfaat atau biaya dari pilihan masa kini kita.Â
Namun, tentu saja, dalam dunia nyata, manusia tidak sepenuhnya rasional. Kita semua dipengaruhi oleh emosi dan berbagai variabel acak. Terlepas dari upaya kita untuk menyadarkan diri akan buruknya menunda pekerjaan, terkadang memang sulit bagi kita untuk berfokus pada tugas-tugas yang perlu dikerjakan. Tidak dapat dipungkiri bahwa cara pandang kita memiliki pengaruh besar terhadap keputusan yang kita ambil.Â
Kemampuan mengubah cara pandang berarti bahwa kita sebenarnya memiliki kontrol atas keputusan untuk menunda pekerjaan atau tidak. Baiklah, esai ini akhirnya selesai. Sekarang saya akan lanjut menonton episode Modern Family.Â
ReferensiÂ
Akerlof, G. A. (1991). Procrastination and obedience. American Economic Review, 81(2), 1-19.Â
Fleishcner, L. (2017). Utilizing Behavioral Economics to Understand Procrastination: Why It Is Difficult for People to Make Choices for Their Future Selves, Stony Brook University, 9-10.Â
Thaler, R. H. (2015). Misbehaving: The making of behavioral economics.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H