Kini, sudah 2,5 tahun setelah penutupan pesta olahraga terbesar di Asia. Kemeriahan dan gegap gempita kota Jakarta saat menjadi tuan rumah 18th Asian Games kini tinggal kenangan. Yang tersisa hanya bangunan-bangunan peninggalan acara yang berlangsung selama 15 hari.Â
Persiapan panjang dan mahal untuk menjadi tuan rumah menimbulkan pertanyaan di tengah masyarakat.Terlebih lagi, penggunaan uang publik untuk acara sesaat ini menjadi akar polemik.Â
Apakah pembangunan aset olahraga tersebut hanya upaya penghambur-hamburan uang publik? Apakah menjadi tuan rumah pesta olahraga membawa untung atau sekadar buntung?
Angan-Angan Megaproyek Pusat Olahraga
Menjadi tuan rumah pesta olahraga seperti Olimpiade atau Asian Games merupakan mimpi bagi para kota di seluruh dunia. Mengapa tidak? Gegap gempita akan acara tersebut menjadikan siapa saja tuan rumahnya menjadi pusat perhatian dunia. Olimpiade juga identik dengan magnet bagi para turis sehingga menjadi tuan rumah akan meningkatkan ekonomi kota dari turis yang datang.Â
Tentu saja, yang paling bombastis adalah Multiplier-Effect yang didapatkan oleh tuan rumah. Ini digadang-gadang menjadi gong saat menjadi tuan rumah, karena Olimpiade bisa menurunkan level of short-term unemployment, meningkatkan ekonomi secara keseluruhan, dan meningkatkan investasi infrastruktur bagi negara. Maka, semua bangsa berlomba-lomba untuk menjadi tuan rumah Olimpiade.
Prospek yang ditawarkan membuat tuan rumah terpilih yakin untuk menggunakan uang publik dalam proses pembangunan berbagai infrastruktur penunjangnya. Pembangunan Infrastruktur penunjang Olimpiade seketika menjadi megaproyek pemerintah. Berbagai pembangunan ditujukan khusus untuk olimpiade dan dana digelontorkan besar-besaran.Â
Megaproyek Olimpiade juga menyasar berbagai aspek di kota tersebut. Bukan hanya membangun venue olahraga saja, tuan rumah juga harus mempersiapkan Olympic Village, Media Broadcasting Venue, transportasi, dan tata kota.Â
Contohnya, Yunani membangun bandara internasional baru dengan kapasitas 16 juta penumpang per tahunnya setelah Bandara Internasional Ellinikon berubah fungsi menjadi sport complex. Beijing juga memperluas kapasitas bandaranya untuk Olimpiade 2008. Hal ini pun terjadi di Indonesia. Pemerintah Indonesia membangun LRT di Palembang yang menyambungkan Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II ke Kompleks Olahraga Jakabaring untuk menyukseskan Asian Games 2018.
Kembali kepada aset olahraga sebagai fokus utama. Kota-kota menjadikan Olimpiade sebagai momentum mengubah wajah kota. Lahan yang belum terbangun atau di tempat yang dinilai tidak menarik di kota dibangun pusat penyelenggaraan Olimpiade.Â