Hidup mapan, berkecukupan, rezeki lancar, bukankah itu yang selalu kita inginkan. Bermigrasi dari desa, berjuang di kota, menaiki tangga sosioekonomi, dan menjadi orang berada selalu menjadi dambaan orang Indonesia. Bagi kami, itulah "Indonesian Dream" milik kebanyakan rakyat nusantara.
Mewujudkan "Indonesian Dream" tidaklah mudah. Seseorang harus bekerja dan belajar tanpa henti untuk dapat hidup mapan. Salah satu jalan yang biasa ditempuh adalah melalui jalur pendidikan. Pendidikan pasca SMA menjadi salah satu cara bagi individu untuk dapat mencapai kesuksesan finansial. Sudah tertanam secara kokoh dalam psikis setiap siswa SMA bahwa sudah menjadi kewajiban untuk memasuki universitas apik demi mendapatkan pekerjaan yang layak.Â
Namun, sama seperti mencari jarum di tumpukan jerami, lolos seleksi Perguruan Tinggi Nasional (PTN) sangatlah sulit. Bahkan, tingkat penerimaan tiga universitas terbaik di Indonesia dimana semuanya merupakan PTN rata-rata hanyalah 5% (Edurank, 2021). Sebenarnya hal ini sejalan dengan "Indonesian Dream" dimana meritokrasi sudah seharusnya menjadi pembuka jalan kemajuan masyarakat. Namun, prestasi siswa seringkali dihasilkan dari kondisi ekonomi yang mapan (Hart dan Risley, 1995).
Dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini, dimana kesenjangan masih sangat tinggi, hal ini berpotensi untuk memperparah ketimpangan ekonomi. Apakah ada hal yang salah dengan cara penerimaan PTN? Adakah solusi yang optimal?
Kesenjangan, Sang Penghambat Mobilitas Ekonomi
Dalam dua dekade terakhir, kesenjangan antara si kaya dan si miskin di Indonesia telah tumbuh lebih cepat daripada negara-negara lain di Asia Tenggara. Saat ini, Indonesia telah menjadi negara keenam dengan ketimpangan kekayaan terbesar di dunia. Bahkan, empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara lebih dari total kekayaan 100 juta orang termiskin (Oxfam, 2021).Â
Masalah ketimpangan ini diperparah dengan adanya tingkat segregasi lingkungan yang tinggi. Komunitas "berkekurangan" ini rata-rata memiliki ciri-ciri tingkat kemiskinan tinggi, sekolah berkualitas rendah, tingkat pengangguran dan kejahatan yang tinggi, dan peningkatan risiko lingkungan terhadap kesehatan. Berbagai kerugian ini berpengaruh besar pada taraf kehidupan anak.Â
Peluang menaiki tangga sosial ekonomi kecil bagi mereka yang berada di anak tangga terbawah. Menjadi miskin menghadirkan hambatan serius bagi masa depan anak dan tumbuh dalam komunitas miskin menghadirkan hambatan yang lebih serius untuk sukses.Â
Sementara itu, penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat segregasi lingkungan di sebuah kota, semakin rendah mobilitas ekonomi di kota tersebut (Sharkey, 2009). Oleh karena itu, yang lebih penting untuk mobilitas ekonomi bukanlah angka ketimpangan, tetapi seberapa kronis tingkat segregasi lingkungan (Chetty dan Hendren, 2010).
Sistem Penerimaan PTN, Melebarkan Kesenjangan