Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

"Berdikari", Slogan Pembeku Kaki Indonesia

18 Juni 2021   18:51 Diperbarui: 18 Juni 2021   19:49 1464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terlebih lagi, slogan berdikari mendorong beliau untuk menutup diri dari bantuan luar negeri (go to hell with your aid!). Maka, defisit APBN itu ditutupi dengan pencetakan uang dari Bank Indonesia. Ekspansi jumlah uang beredar yang ekstrem membuat inflasi naik sampai 636% di tahun 1966 (Monica dan Wihardja, 2015:45). Ketika dipadukan dengan penutupan ekonomi Indonesia dari dunia luar dan korupsi endemik, merasuklah sebuah ramuan menuju dependensi.

Kontradiksi tersebut tidak mengherankan. Kebijakan yang bertujuan untuk membuat Indonesia berdikari malah membuatnya semakin dependen kepada bantuan luar negeri. Ini terjadi sebab kebijakan-kebijakan berdikari malah memiskinkan rakyat. Sebagai gambaran, PDB per kapita Indonesia menurun dari US$711 di tahun 1961 menjadi US$665,9 pada tahun 1966. (tradingeconomics.com, 2021).

Hiperinflasi dan kekacauan politik di era realisasi slogan berdikari jelas memainkan peran penting. But the Great Leader is having none of it. “Bangsa yang besar harus terbiasa dengan angka-angka yang besar,” tandasnya kepada Profesor Jan Tinbergen soal hiperinflasi (Seda dalam Hanggoro, 2020). Kaki ekonomi Indonesia dibiarkan membeku, bahkan membusuk demi nation-building lewat ekonomi yang berdikari. Alias makan gaplek tetapi “merdeka”.

Menyadur Ebiet G. Ade, Bung Karno tengah mabuk kepayang dengan slogan berdikari. Langit pun dipahat dengan angan-angan. Malam pun diukir dengan bayang-bayang. Bekunya kaki ekonomi dianggap sebagai gangguan yang akan hilang seiring dengan nation-building. Padahal, pahatan dan ukiran kebijakan beliau sendiri yang membekukan kaki itu.

Melihat realitas historis tersebut, mestinya slogan berdikari sudah tersingkir dari narasi politik-ekonomi sejak 1966. Secara logika, luka akibat realisasi ekonomi yang berdikari telah tertoreh begitu dalam, hingga segenap konstituen politik enggan menerimanya lagi. Namun seperti Argentina, jagat politik Indonesia malah ikut masuk ke dalam pahatan langit dan ukiran malam sang Pemimpin Besar Revolusi. Slogan berdikari tetap mendominasi ruang narasi.

Pada fase kedua era Orde Baru misalnya (1973-1982). Selama masa ini, proteksionisme perdagangan internasional menguat drastis sebagai bagian dari inward-looking industrialization. Berbagai halangan tarif dan nontarif diberlakukan pada perdagangan internasional. 

Dengan cara tersebut, pemerintah berniat untuk memperdalam rantai nilai industri domestik. Apa daya, munculnya rent-seeking dan kurangnya skill tenaga kerja Indonesia membuat strategi tersebut gagal. Justru strategi ini berbuah BUMN raksasa yang inefisien dan korup seperti Pertamina di bawah Ibnu Sutowo (Monica dan Wihardja, 2015:45-46).

Jelmaan berdikari sebagai proteksionisme perdagangan inward-looking inilah yang bertahan sampai saat ini. Bahkan era Reformasi tidak berhasil merombak slogan ini. Sejak 1998, halangan tarif di Indonesia memang menurun. Akan tetapi, Non-Tariff Measures (NTMs) tumbuh bak cendawan sehabis hujan. Efeknya, tingkat keterbukaan perdagangan Indonesia secara de facto terus menurun (Panennungi dalam Indrawati et al, 2020:210-211).

Bahkan konstelasi politik 2024 juga diikat oleh slogan berdikari. Qodari (dalam JPNN.com, 2021) mengatakan bahwa ada kemungkinan kuat perkawinan PDIP-Gerindra. Salah satu alasannya? Kedekatan ideologi keduanya yang nasionalis-proteksionis. Keduanya ingin mewujudkan slogan berdikari di era sekarang lewat pelanggengan proteksionisme ekonomi.

Dengan adanya krisis ekonomi saat ini, slogan berdikari yang tidak berubah sejak 1973 membuat kaki Indonesia semakin beku. Akibat dari pemaknaan tersebut terbukti detrimental terhadap masyarakat miskin karena menaikkan harga kebutuhan dasar seperti beras dan bahan bakar (Patunru, 2018). Kalau terus dibiarkan, maka jutaan orang yang jatuh ke dalam kemiskinan (the new poor) akan semakin sulit untuk mengeluarkan dirinya melampaui garis tersebut.

Tentu kita semua tidak mau itu terjadi. Maka dari itu, slogan berdikari yang merasuk bak Peronismo di Argentina harus mulai ditengking. Perubahan orientasi politik-ekonomi tersebut diperlukan jika kita mau men-defrost kaki ekonomi Indonesia setelah pagebluk berakhir. Jangan sampai tetangga-tetangga kita sudah berlari, namun Indonesia masih berjalan tertatih-tatih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun